Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KESAKSIAN Para Pohon terasa bagaikan puisi liris yang menyakitkan, atau sebuah rekuiem untuk yang telah tiada. Kesaksian itu terdiri dari enam lukisan akrilik pada kain linen, sejumlah mangkuk tempurung berisi bunga-bunga kertas putih, sejumlah tunggul bambu yang ditancapi bunga-bunga kertas putih pula, sepohon kayu berujung botak yang juga dihiasi putih-putih. Semuanya saja berjudul sama: Serial Pohon.
Itulah pameran tunggal Dadang Christanto—orang Tegal yang tinggal di Darwin, Australia, sejak 1999—di Galeri CP Artspace, Jakarta, hingga pertengahan November nanti. Dadang mulai tercatat ketika ia ambil bagian dalam pameran sejumlah perupa muda Yogya—pameran yang diberi tajuk ”Binal”, parodi untuk Bienal Yogya 1992 yang kala itu sedang berlangsung. Sejak itu ia mengembangkan keseniannya dalam bahasa seni masa kini yang menjebol batasan-batasan konvensional, sesekali ia berangkat dari ”seni tradisi”, bentuk wayang kulit, misalnya. (Pada Bola Golf, karya Dadang yang dikoleksi sebuah museum di Jepang, bola itu bermetamorfosis menjadi raksasa wayang kulit.) Ia menggores dan menyapukan garis dan warna untuk menciptakan lukisan; melumuri tubuhnya dengan zat warna lalu melakukan seni rupa pertunjukan; meremas-remas tanah liat untuk membentuk patung terakota; memasang-masang berbagai materi untuk menghadirkan karya instalasi.
Serial Pohon memang berpokok karya berkaitan dengan pohon. Lukisan pada kain linen kecokelatan itu, misalnya, menggambarkan bentuk ”U” terbalik sebagai pohon, lalu rimbun daun-daun melingkupi bagian atas bentuk ”U” tadi. Gambar-gambar ini terbentuk terutama oleh goresan liris garis tipis dan barik-barik dari olesan-olesan pendek. Berbagai warna karya dua dimensi ini mengingatkan saya pada lukisan etnis Aborigin: didominasi warna kecokelatan, putih, hitam. Pada karya Dadang, ada tambahan warna yang tak biasa digunakan oleh pelukis Aborigin: merah.
Salah satu lukisan, yang bentuk bagian atas pohonnya bagaikan trisula tumpul, terasa paling kuat keaboriginannya. Bertengger menaungi ”trisula” bak mahkota adalah garis-garis menyulur cokelat. Di sepanjang garis-garis menyulur itu noktah-noktah putih. Ini sebuah puisi untuk mereka yang tak lagi berada di dunia. Tiba-tiba saja noktah putih itu mengingatkan saya pada ”pakaian” berkabung atau ”pakaian” jenazah kaum Aborigin. Atau mengingatkan pada boneka Aborigin yang tubuhnya dihiasi noktah-noktah putih: boneka untuk upacara membebaskan roh yang tersesat di bumi karena kematian yang tak wajar.
Berkenaan dengan ”kematian yang liris” itulah agaknya pada karya Dadang hampir selalu ada sesuatu yang mengiris, sesuatu yang menyakitkan, luka. Entah datang dari olesan-olesan putih, atau torehan-torehan merah bak cabai kecil-kecil, atau dari garis-garis menyulur cokelat yang pada ”suatu jarak” semua unsur rupa ini sangatlah artistik.
Dan sesungguhnya kematian bukan hanya ada dalam karya Dadang Christanto, melainkan menjadi napas karya. Tahun 1996, pantai di kawasan Taman Impian Jaya Ancol, Jakarta, dihiasi puluhan patung terakota sebesar ukuran manusia. Inilah 1001 Manusia Tanah, lelaki maupun perempuan, karya seni rupa publik Dadang. Tiap saat komposisi dan posisi patung-patung itu berubah karena ombak. Sejumlah patung bergeser tempatnya, beberapa yang lain jatuh miring dan retak atau patah, ada pula yang tenggelam. Saya lupa berapa lama pameran ini berlangsung, dan berapa patung yang bertahan. Yang saya ingat, 1001 Manusia Tanah itu seolah tubuh-tubuh tak bernyawa, yang terbuang atau dibuang. Bentuk figur menyarankan sesuatu telah terjadi pada tubuh-tubuh itu: kekerasan.
Lalu, tahun 2002, di Bentara Budaya Jakarta, tubuh-tubuh terakota kembali hadir, dengan ukuran lebih besar daripada manusia, telanjang, membawa sajian seonggok kain merah darah. Mereka, manusia terakota itu, seperti membawa pulang pakaian mereka yang berdarah-darah. Namun, patung-patung yang ”mengadu bahwa kekerasan telah terjadi” ini, setelah sempat dijajarkan sebentar di halaman Bentara Budaya, kemudian digudangkan karena penduduk sekitar menganggapnya porno.
Pameran Dadang di Bentara yang dikuratori oleh Hendro Wiyanto tiga tahun lalu itu bertajuk ”Kengerian Tak Terucapkan”. Patung-patung terakota itu memang membisu, namun seonggok merah darah di tangannya telah bercerita dengan sendirinya. Semua karya pada pameran ini bernapaskan kematian dengan kekerasan. Hujan Merah, misalnya, seni instalasi dibentuk oleh puluhan benang merah yang menjulur dari atas ke bawah hingga benang-benang itu keseluruhannya membentuk kubus besar, dan di atap kubus potret-potret ditempel. Cara Dadang memasang dan mengaitkan berbagai bahan yang digunakannya sangat cermat, membuat benang-benang itu menjelma garis-garis liris yang tak hanya artistik dipandang tapi juga terasa menggetarkan, menimbulkan empati. Serasa kita kuyup dengan hujan darah, serasa kita dengarkan sebuah rekuiem yang menusuk ke ”dunia dalam”.
Rekuiem itu juga yang ”terdengar” dalam lukisan-lukisan pada linen tanpa bingkai itu. Namun, rekuiem dari enam linen itu bagaikan hanya dari seruling tunggal: lebih sepi dibandingkan dengan Hujan Merah. Salah satu lukisan, yang pohonnya tegak bak tonggak tumpul bermahkotakan ”benang ruwet” warna kelam dan merah, berbeda dengan yang lain dalam menyajikan ruang imajiner. Pada yang satu ini Dadang seolah mengundang penonton untuk masuk menyelami misteri yang diisyaratkan oleh ”mahkota kelam” itu. Garis yang membentuk ”U” terbalik terasa tak masif, justru menciptakan pintu imajiner ke dalam ”rongga” lukisan.
Secara teknis, ”pintu” terbentuk oleh bersinggungannya garis pohon dengan mahkota kelam itu. Kesan subyektif saya, pada lukisan ini Dadang ”menyembunyikan” kepedihan itu jauh di dalam. Dalam ingatan saya, lukisan satu ini bertolak belakang dengan Hujan Merah: antara ”mendialogkan” dan ”menyembunyikan” kepedihan. Mungkin Dadang, setelah sejumlah karya ”eksplisit”, mengalami semacam katarsis, dan menemukan kedamaian. Ia simpan sesuatu itu—kepedihan, luka, darah dan semacamnya—jauh di lubuk lukisannya. Saya tak tahu, tapi mungkin saja ia telah memaafkan sang takdir.
Yang kemudian ia lakukan cukuplah kini dengan sesaji: mangkuk-mangkuk tempurung yang dipenuhi bunga-bunga kertas putih yang terkesan bagaikan bunga kamboja itu. Atau, pada tunggul-tunggul bambu, ia tancapkan ”takdir” itu dalam ujud bunga kertas putih. Semuanya persembahan untuk sang bapak, yang hilang setelah peristiwa 30 September 1965. Dadang tak hendak melupakan hilangnya sang bapak, tapi juga tak hendak ditaklukkan oleh duka tanpa ujung-pangkal. Ia berangkat dari ”dalam”. Ini yang saya kira membuat ia tak bermasalah dengan bentuk: apakah itu hanya lukisan, seni rupa pertunjukan, atau seni instalasi. Saya teringat Günther Uecker, perupa Jerman itu, yang dengan ”mudah”nya menggunakan beberapa media: cat air, grafis, instalasi, untuk mendialogkan penderitaan manusia. Dadang melakukannya, dengan pilihan medianya sendiri, dan mungkin lebih intens, mungkin karena penderitaan itu miliknya sendiri. Dan ”kepedihan pun makin akrab”.
Bambang Bujono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo