Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Surat Pembaca

Surat Pembaca

10 Mei 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tanggapan Soal Surabaya Post

MAJALAH TEMPO edisi 19-25 April 2004 memuat tulisan berjudul Buntut Setelah Prosesi Terakhir. Isi tulisan itu tidak lengkap, ada kesan sengaja dipenggal, sehingga mengaburkan substansi permasalahan. Akibatnya, bisa menimbulkan persepsi beda sehingga sangat merugikan saya selaku salah seorang yang diwawancarai wartawan TEMPO

Tulisan itu mengingatkan kembali sejumlah mantan karyawan/wartawan Surabaya Post tentang janji-janji yang dilontarkan Ibu Glady Idriyani Haryono (Bu Didy), yang menjadi juru bicara atas nama Prof. Dr. Iwan Jaya Aziz dan Idra Jaya Aziz saat mengumumkan likuidasi 21 Juni 2002 lalu.

Sayang, hasil wawancara wartawan TEMPO di Surabaya (Sdr. Sunudyantoro) dengan saya (Saifuddin H.S.) sama sekali tidak memunculkan substansi masalah yang menjadi sorotan atau ganjalan eks karyawan Surabaya Post.

Setelah tulisan itu dimuat, sejumlah rekan notaris dan pengacara menghubungi saya sambil memberi tahu soal berita itu. Kesan tulisan di TEMPO, saya dan mantan karyawan Surabaya Post tidak tahu diri dan suka mencari-cari masalah, sudah diberi pesangon masih minta lagi dan lain sebagainya. Padahal bukan itu substansi permasalahan yang menjadi tuntutan eks karyawan.

Kepada TEMPO saya mengatakan, saat mengumumkan likuidasi PT Surabaya Post dan PT Surabaya Post Printing pada 21 Juni 2002 lalu, Ibu Didy di hadapan sejumlah wartawan, di antaranya dari Kompas, Jawa Pos, Surya, Radar Surabaya, Duta Masyarakat dan lainnya, menyatakan tiga bersaudara, Ibu Didy, Pak Indra, dan Prof Dr. Iwan Jaya Aziz, berjanji akan memberi pesangon yang layak bagi karyawan. Menyadari kecilnya gaji karyawan (sebagai gambaran, wartawan yang sudah bekerja 15 tahun gajinya tidak sampai Rp 1 juta), pesangon yang akan diberikan terdiri dari tiga komponen.

Pertama, sesuai dengan peraturan pemerintah. Kedua sesuai dengan peraturan perusahaan. Dan ketiga, golden handshake (ini yang sama sekali tidak disinggung dalam TEMPO).

Sambil menangis, pernyataan Bu Didy itu diulangi lagi dalam pertemuan dengan seluruh karyawan di Balai Surabaya Post pada 28 Juni 2002. Saat itu Bu Didy didampingi likuidator Trimoelja D. Soerjadi, S.H. Bahkan Pak Tri juga berjanji, bila merek Surabaya Post merupakan aset PT, akan diberikan ke karyawan. (Terakhir, janji Pak Tri itu juga diingkari.)

Jadi, saat TEMPO meminta tanggapan soal Surabaya Post yang sudah resmi bubar, saya nyatakan bersyukur karena Surabaya Post betul-betul sudah dapat dikubur. Kewajiban Surabaya Post kepada karyawan sudah dipenuhi, walau disertai tekanan dan ancaman. Di antaranya, tekanan dan ancaman yang dilontarkan pendekar hak asasi manusia yang menerima Yap Thiam Hien Award, Trimoelja D. Soerjadi: bila karyawan tidak mau menerima pesangon yang ditetapkan sepihak, akan diserahkan ke Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat (P4P). Bila diserahkan ke P4P, bisa jadi nantinya karyawan tidak menerima pesangon, karena PT tidak punya aset apa pun. Karena sebagian besar karyawan sudah sangat lapar, penetapan pesangon sepihak itu akhirnya dengan sangat terpaksa diterima.

Kemudian, kepada TEMPO saya mengingatkan soal golden handshake yang dijanjikan Bu Didy. Sungguh, janji itu sampai saat ini masih ditunggu-tunggu eks karyawan Surabaya Post. Setiap ada pemuatan iklan tentang penjualan aset hasil keringat dan darah karyawan, kami selalu berharap hasil penjualan itu akan diberikan, melunasi janji Bu Didy dan dua adiknya.

Kantor Surabaya Post di Jalan Agus Salim, Menteng, Jakarta, sudah dijual. Kantor di Malang juga sudah dijual menyusul dijualnya Balai Surabaya Post di Jalan Panglima Sudirman, Surabaya. Terakhir, Bu Didy mengiklankan penjualan rumah di Jalan Porong 1, Surabaya, dan dua vila di Tretes. Saat itu sejumlah teman menghubungi saya agar bertanya ke Bu Didy apakah hasil penjualan itu untuk melunasi janjinya. Sejumlah eks karyawan lainnya akan memberi surat kuasa kepada saya untuk mengajukan gugatan ke pengadilan agar Bu Didy mengingat kembali janji manisnya yang dilontarkan sambil menangis mengiba di depan karyawan.

SAIFUDDIN, S.H., M.H.
Eks Koordinator Tim Negosiator Pesangon Karyawan Surabaya Post


Penjelasan Hersri Setiawan

BEBERAPA waktu lalu, saya menerima kiriman kopi resensi Amarzan Loebis atas buku saya, Memoar Pulau Buru (2004), yang dimuat dalam Majalah TEMPO edisi 19-25 April 2004. Pengirim kopi teks resensi itu ialah Saudara Amir S. Dewana di Jakarta. Terima kasih atasan kiriman itu. Terima kasih juga untuk Sdr. Amarzan Loebis.

Saya merasa perlu memberi catatan balik kepada Sdr. Amarzan Loebis, sekadar sebagai penjelasan untuk para pembaca Memoar Pulau Buru. Mudah-mudahan pembaca TEMPO membaca juga keterangan saya ini.

  1. Tentang jumlah tahanan politik di Pulau Buru. Tentu saja Anda betul, dan saya pun tahu benar bahwa tidak sampai sebanyak 120 ribu, tapi hanya 12 ribu saja. Jika angka 12.000 tercetak menjadi 120.000, ini tentu kesalahan ketika mengeset. Kelak, kalau cetak ulang, akan kami betulkan.

  2. "Indrakarya". Inilah yang betul. Jika di sana-sini keliru menjadi "Indragiri", ini kesalahan saya pertama-tama, karena ketidaktelitian ketika koreksi akhir.

  3. Tentang jabatan dua perwira Kamp Salemba dan Tangerang, Mardjuki dan Sanigonjo, saya akui saya tidak tahu dengan tepat. Pengetahuan saya tentang mereka pun hanya saya peroleh dari mendengar kata sesama kawan tahanan politik, yang tidak merasa punya keperluan untuk mengetahui ketepatan jabatan mereka. Bahwa mereka penguasa kamp, itulah cukup! Maka, tentang kenaikan pangkat mereka yang belakangan menjadi kapten dan mayor pun tidak perlu saya sebut-sebut.

  4. "C" pada "CGMI" tentu saja kependekan dari Consentrasi, bukan Corps. Jika masih terjadi kekeliruan, saya kira terjadi dalam pengesetan. Saya tahu betul nama ormas mahasiswa ini, karena ketika rapat peleburan tiga ormas mahasiswa Jakarta, GMD (Gerakan Mahasiswa Djakarta), CMB (Consentrasi Mahasiswa Bandung), dan CMJ (Consentrasi Mahasiswa Jogyakarta), saya termasuk salah seorang yang diundang. Rapat fusi menjadi CGMI itu kami langsungkan di aula STM (Sekolah Teknik Menengah) di Jalan Jetis, Yogyakarta.

  5. Penyanyi Gembala Sapi yang suaranya nyaring dan "seronok" ditirukan anak-anak kampung itu, saya yakin benar, Paulina Robot. Melalui Paulina Robot inilah juga Gembala Sapi dibawa ke Belanda oleh "The Blue Diamonds". Baru kemudian muncul Norma Sanger. Mudah-mudahan museum RRI Yogyakarta masih bisa menunjukkan kesahihan data saya ini.

  6. Batu Merah Lembah Merapi yang difilmkan oleh Tan Sing Hwat itu ialah lakon panggung ludruk, Ludruk Marhaen, yang laris ditonton orang di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Seingatku juga pernah dibawa ke Jakarta dan dipertunjukkan di Gedung SBKA Manggarai. Sayang sekali, baik Bung Tan Sing Hwat maupun Bung Samsuddin (pimpinan Ludruk Marhaen) kedua-duanya telah meninggal. Jadi, bukan (sekali lagi: bukan!) "Batu Merah" drama karangan alm. Bung Bachtiar Siagian. Para pemainnya pun ialah para pemain rombongan "Marhaen" itu. Filmnya juga pernah dipertunjukkan di gedung bioskop umum di Yogya dan Semarang.

HERSRI SETIAWAN,
Penulis Memoar Pulau Buru


Prihatin terhadap Korban Malpraktek

DALAM Majalah TEMPO Edisi 22-28 Maret 2004, dimuat tulisan berjudul Diagnosis yang Melumpuhkan, yang antara lain mengisahkan Irwanto sebagai korban malpraktek. Saya pribadi menyatakan empati dan prihatin terhadap keadaan yang dialami korban. Sebagai seorang awam, saya sependapat dan sangat setuju bahwa pembelajaran publik atau masyarakat sangatlah penting, sehingga saya tergerak untuk ikut memberikan sekadar opini. Ada intisari yang saya peroleh dari kasus tersebut:

Sebagai orang awam, kita perlu mengenali kondisi kesehatan diri kita sendiri dan tahu kapan kita memerlukan bantuan medis karena kondisi sudah tidak bisa kita atasi sendiri. Seberapa kritisnya kondisi tersebut hanyalah diri kita yang mengetahuinya.

Keputusan dokter untuk melakukan tindakan pertolongan adalah sepenuhnya atas pertimbangan dan kompetensi dokter yang bersangkutan berdasarkan hasil pemeriksaan secara medis. Bagi orang awam yang tidak mengerti secara medis, harus ada kepercayaan kepada dokter untuk melakukan tindakan-tindakan pertolongan. Satu hal yang perlu kita ingat, dokter juga manusia biasa. Seluruh sejarah penyakit dan hal lainnya yang pernah kita alami perlu kita kemukakan secara jujur dan jelas karena semuanya merupakan mata rantai yang berkaitan. Kalau sekiranya kita tidak setuju atau ragu dengan diagnosis tersebut, kita berhak mempertanyakannya.

Mencari opini kedua adalah tindakan yang tepat karena akan menolong kita mengambil keputusan penting, misalnya untuk menjalani operasi. Kalau kita memperoleh opini yang tidak sama, logika dan analisis dalam kapasitas awam boleh dipakai sebagai penuntun untuk mencari sejauh mana relevansi diagnosis yang satu dengan yang lainnya.

Kalau terjadi hal-hal yang tidak kita inginkan, kita perlu meninjau kembali duduk perkara yang sebenarnya sebelum melimpahkan kesalahan tersebut kepada pihak tertentu. Kalau kita sudah yakin bahwa dokter atau rumah sakit memang melakukan tindakan malpraktek, segeralah melaporkannya kepada pihak yang berwenang sehingga kasus ini bisa diangkat sesuai dengan porsinya di pengadilan.

Harijanto S.
Jalan Suryasumantri,
Sentrasari Mall B1/7, Bandung


SBKRI Jangan Sekadar Retorika

PERSOALAN yang menimpa Susi Susanti dan Alan Budikusuma mencuatkan kembali isu diskriminasi seputar surat bukti kewarganegaraan RI (SBKRI). Presiden Megawati tak ketinggalan buka suara. "Tak perlu lagi ada pembedaan pribumi dan non-pribumi," katanya. Karena itu, SBKRI pun tak lagi dibutuhkan, cukup KTP sebagai tanda pengenal.

Pernyataan itu tentu saja melegakan. Tapi, yang jadi persoalan, sering kali pernyataan terhenti pada retorika politik belaka—apalagi kini menjelang pemilu. Kenyataan di lapangan selama ini juga berbicara lain, kendati persoalan ini sudah diusung sejak zaman Presiden Abdurrahman Wahid.

Pengalaman saya beberapa waktu lalu membuktikan hal ini ketika saya harus mengurus perpanjangan paspor di Kantor Imigrasi Bogor. Saat itu, saya terpaksa harus bolak-balik karena saat pengurusan di hari pertama saya tidak membawa semua dokumen asli kewarganegaraan orang tua dan akta kelahiran saya.

Salah seorang calo yang menghampiri saya sudah mewanti-wanti bahwa permohonan saya tidak akan diluluskan oleh imigrasi. Sebab, semua dokumen asli dibutuhkan untuk screening ulang kewarganegaraan saya.

Mendengar ini, saya terkaget-kaget. Tapi saya bilang, SBKRI kan sekarang sudah tidak lagi dibutuhkan. Bahkan pakar hukum tata negara Albert Hasibuan mengatakan, jika masih ada aparat yang menanyakan SBKRI, warga yang merasa didiskriminasi bisa mengajukan judicial review ke Mahkamah Agung.

Pasalnya, kata Albert, sudah ada surat dari sekretaris wakil presiden tertanggal 15 Maret 2004 untuk mengawasi dan menertibkan aparat yang melanggar Keputusan Presiden No. 56 Tahun 1996 tentang SBKRI dan Instruksi Presiden No. 4 Tahun 1999 tentang Kewarganegaraan (Koran Tempo, 26 Maret).

Si calo hanya terkekeh mendengar argumen saya. "Coba saja kalau enggak percaya," katanya. "Paling-paling dibilang, kalau mau protes, masukin koran saja." Ternyata benar juga pendapatnya. Petugas imigrasi, yang sesungguhnya berusaha melayani saya sebaik mungkin, menyatakan tidak bisa memproses permohonan saya.

Saya sadar tak bisa menyalahkan aparat di level bawah, karena yang sering kali mereka ungkapkan: petunjuk pelaksanaan (juklak) dari keppres dan inpres itu belum ada. Mau tak mau, saya pun harus pasrah balik lagi mengambil semua dokumen itu. Padahal saya hanya punya waktu sehari untuk mendapatkan paspor baru agar bisa melakukan tugas jurnalistik ke Singapura.

Namun saya tak habis pikir, sebagai orang yang terlahir dan konon sudah sembilan generasi (lebih dari 400 tahun) hidup di Indonesia, kenapa masih juga harus di-screening. Anehnya lagi, saya pun sebelumnya sudah mengantongi paspor yang tentunya sudah lewat screening. Sampai kapan screening ini harus saya jalani?

METTA DHARMASAPUTRA
Sawangan, Depok


Polisi Vs. Mahasiswa (1)

BRUTAL berbalas brutal. Itulah kesan yang muncul tatkala menyaksikan tayangan TV yang menyiarkan bentrokan antara mahasiswa Universitas Muslim Indonesia (UMI) dan Kepolisian Makassar belum lama ini.

Aksi kekerasan mulanya terjadi ketika demonstran mahasiswa UMI memprotes penahanan 26 rekan mereka yang ditangkap dalam aksi unjuk rasa di depan kantor Komisi Pemilihan Umum Daerah. Saat itu mereka menentang kembalinya militer ke panggung politik. Seperti biasa, aksi bakar-bakar yang seolah sudah menjadi menu wajib demo mahasiswa akhirnya menyulut emosi kedua belah pihak. Kedua-duanya mulai mempertontonkan aksi brutalisme dan premanisme. Kedua-duanya sudah tidak bisa lagi menahan diri.

Brutalisme polisi menunjukkan bahwa mayoritas personelnya tidak profesional. Ini merupakan input dari rekrutmen yang bermasalah, penuh KKN, dan sogokan. Mereka dididik dalam lembaga pendidikan yang komersial, korup, dan penuh dengan tradisi kekerasan. Sementara itu, setelah keluar dari lembaga pendidikan, mereka (kader muda Polri) bergabung dalam komunitas profesi yang buruk dalam pembinaan, yang mentradisikan kekerasan dan juga mengkomersialkan jabatan. Polri, yang sudah mandiri, terlepas dari militer, tidak menjadi lebih baik. Mereka semakin sok kuasa.

Bagaimana dengan kalangan mahasiswa, yang katanya kader intelektual bangsa? Kondisinya sama buruknya, bahkan mungkin lebih parah dari polisi. Jika kita lihat aksi-aksi demo mereka, tampak jelas sering kali tidak ada dasar dan jejak intelektualitas dan moralnya. Demo sekadar demo, lepas dari dasar filosofis, akademis, idealisme, dan normatif. Aksi menghujat, membakar-bakar, dan melempar batu, bahkan bom molotov, yang mengganggu ketertiban sudah biasa.

Polisi dan mahasiswa sudah saatnya lebih mawas diri, berkaca pada peran dan fungsinya masing-masing. Belajarlah pada anak taman kanak-kanak, yang dengan senang hati berseragam polisi, berperan sebagai polisi yang simpatik, polos dan lugu, dengan semangat belajar penuh riang gembira.

Murthada Sa'ali
Jalan Harmoni 33, Medan


Polisi Vs. Mahasiswa (2)

Mengerikan menonton tayangan polisi yang mengobrak-abrik kampus Universitas Muslim Indonesia (UMI). Lagaknya seperti koboi jagoan yang sedang membasmi para pecundang, para polisi menembak, menerjang, menghajar mahasiswa tanpa ampun. Bahkan sang lawan yang telah menyerahpun tetap dipukul bertubi-tubi hingga darah bercucuran di sekujur tubuh.

Inikah wajah kepolisian kita? Ternyata masih sangat jauh dari profesional. Kualitasnya baru taraf sok jagoan!

Ade SURADE
Ciemas, Sukabumi


Penolakan Hasil Pemilu

SEJUMLAH pentolan partai politik peserta pemilu beberapa waktu lalu berkumpul di salah satu hotel di Jakarta. Mereka menyuarakan keprihatinan akan kondisi bangsa ini dan memutuskan untuk menolak hasil pemungutan suara yang dinilai telah dimanipulasi oleh Komisi Pemilihan Umum.

Upaya penolakan hasil pemilu bisa menciptakan kepanikan dan merusak sendi-sendi demokrasi. Pernyataan para tokoh politik tersebut sama sekali tidak memberikan solusi atas pelaksanaan pemilu. Ini justru dapat melahirkan masalah yang lebih besar. Penolakan itu pelecehan terhadap proses demokrasi. Apakah hal itu tidak akan membingungkan masyarakat, yang sesungguhnya sudah mulai tipis kepercayaannya kepada elite politik?

Konsekuensi penolakan itu adalah pemilu batal dan harus diulang. Adakah kita punya cukup energi dan dana untuk menggelar pemilu ulang? Dengan sistem pemilu terumit di dunia ini, apakah ada jaminan pemilu ulang bisa lebih baik? Penolakan hasil pemilu yang terburu-buru pasti akan menimbulkan ketidakpercayaan luar negeri. Pasar juga pasti akan bereaksi. Sebab, ekonomi kita memang masih rentan terhadap isu-isu politik dan keamanan.

Kita menyadari betapa pemilu kali ini memang memunculkan banyak persoalan, termasuk kecurangan di beberapa tempat pemungutan suara pada masa penghitungan. Jika benar, ini memang praktek-praktek busuk yang harus diperangi. Pelakunya harus diproses lewat jalur hukum dan bukan dengan cara menolak pemilu.

Erwin Gunawan
Villa Kebun Raya Bogor Kav. 3/2
Ciomas, Bogor

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus