Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KEMARAHAN itu belum juga reda. Sekitar lima ratus orang turun ke jalan di Bunderan Gladag, Solo, Jumat pekan silam. Mereka mengusung boneka pocong dibalut bendera Amerika Serikat bertuliskan "Da'i Bachtiar". Lalu, para demonstran itu?mengaku dari organisasi Ummat Islam Surakarta (UIS)?berteriak garang menuntut Presiden Megawati segera mencopot Kepala Kepolisian Republik Indonesia, Jenderal Polisi Da'i Bachtiar. "Dia telah gagal memimpin," ujar Umar Kasim, koordinator aksi. Sekejap kemudian, boneka Da'i hangus dibakar massa.
Pekan lalu, kecaman seperti itu terdengar hampir setiap hari di sekujur negeri. Apa boleh buat. Bintang Jenderal Da'i mendadak redup sinarnya setelah polisi dengan brutal menyerbu mahasiswa di kampus Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar, Sabtu dua pekan lalu. Dengan kalap, polisi melantak mahasiswa dengan popor senjata dan pentungan. Peluru tajam berseliweran. Darah berceceran di mana-mana. Hasilnya, 65 mahasiswa tergeletak di Rumah Sakit Bhayangkara milik Polda Sulawesi Selatan. Satu orang mahasiswa, Saifullah, luka berat. Paha kanannya ditembus peluru.
Meski tak ada korban jiwa, aksi polisi itu sempat menebar ketakutan?dan juga kemarahan mahasiswa sampai berhari-hari kemudian. Hampir semua kampus di kota itu bergolak dan memprotes aksi brutal tersebut. Mahasiswa memblokir jalan dan membakar ban, hingga langit Makassar pekat oleh asap hitam. Kota itu pun menjadi lumpuh, Selasa pekan silam.
Ibarat senjata makan tuan, peristiwa itu juga memukul karier sejumlah perwira polisi setempat. Kepala Polda Sulawesi Selatan, Inspektur Jenderal Jusuf Manggabarani, kontan mencopot Komisaris Besar Polisi Yose Rizal dari jabatannya sebagai Kepala Kepolisian Wilayah Kota Besar Makassar. "Surat keputusan ini langsung dari Kapolri," ujar Jusuf tegas.
Selain itu, dua perwira bawahan Yose juga terpaksa lengser: Kepala Polisi Makassar Timur Ajun Komisaris Besar Eko Sukrianto dan Kepala Polsek Panakkukang Ajun Komisaris Polisi Parambungan. Puluhan perwira polisi diperiksa dan 13 orang perwira diproses dalam sidang profesi dan disiplin. Empat polisi kena hukuman kurungan, satu di antaranya ditunda kenaikan pangkatnya.
Tak kurang, Jusuf pun akhirnya bernasib sama. Dua hari setelah insiden itu, dari Jakarta, Kapolri mengumumkan Jusuf ditarik dari jabatannya sebagai Kapolda Sulawesi Selatan. Dia diminta bertugas kembali di Mabes Polri. Posisinya lalu digantikan Inspektur Jenderal Polisi Saleh Saaf. Makassar lalu menjadi pil pahit bagi para penegak hukum itu.
Petaka itu bermula dari aksi mahasiswa di kampus UMI, Jalan Urip Sumoharjo, Makassar. Waktu itu para mahasiswa UMI berdemo menuntut pembebasan Ustad Abu Bakar Ba'asyir, Amir Majelis Mujahidin Indonesia, yang ditahan Mabes Polri. Di Jakarta, sang ustad sedang dijegal dengan tuduhan terorisme. Mahasiswa menuding Polri menjadi antek kepentingan Amerika Serikat. Soalnya, Ba'asyir pernah dijerat tuduhan serupa tapi tak terbukti di pengadilan (lihat Da'i dan Titah Abang Sam).
Sementara itu, dengan isu yang berbeda, puluhan mahasiswa dari berbagai kampus berdemo di depan kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU) Sulawesi Selatan. Sialnya, aksi itu berujung bentrok dengan aparat keamanan. Sebanyak 26 mahasiswa ditahan di Kantor Polresta Makassar Timur.
Mendengar rekannya ditahan, mahasiswa UMI yang lagi asyik berdemo di depan kampusnya itu lalu menyekap Brigadir Polisi Satu Sudirman. Polisi berbadan ceking itu kebetulan melintas di depan kampus. Sejumlah mahasiswa mencegatnya, lalu entah dari mana ide itu muncul: Sudirman ditahan untuk ditukar dengan 26 mahasiswa tadi. Sejam kemudian, mahasiswa UMI berhasil menjaring dua polisi lain yang lewat di depan kampus mereka.
Lantaran situasi makin gawat, Kepala Polsekta Panakkukang Ajun Komisaris Polisi Parambungan turun ke lokasi. Dia mau bermufakat dengan mahasiswa dan Pembantu Rektor UMI. Namun, dari arah kampus, batu terus beterbangan. Situasi malah tambah runyam setelah polisi melepaskan tembakan peringatan. Karena sulit mengendalikan massa, Parambungan pun lempar handuk. Dia minta bantuan ke Polresta Makassar Timur. Dua jam kemudian, Inspektur Satu Irwanto dan satu regu Satuan Perintis Makassar Timur tiba di UMI. Tembakan senjata lagi-lagi terdengar.
Dialog akhirnya buntu. Entah karena tak sabar, polisi kembali melepaskan tembakan peringatan dan langsung mengejar para mahasiswa. Inspektur Satu Irwanto, yang ternyata bekas mahasiswa di UMI, kontan merangsek masuk. Tujuannya, mencari rekannya yang disandera mahasiswa. Saat itulah polisi lain menyerbu dan aksi brutal pun tak terelakkan.
Lalu yang terjadi adalah kisah brutal dari para hamba hukum itu. Polisi seperti gelap mata menyikat siapa saja yang berada di kampus. Menurut seorang korban, Rahmat, saat polisi menyerbu masuk, ia dan temannya sedang mengikuti kuliah. Tiba-tiba terdengar suara tembakan di samping kelasnya. Akibatnya, kelas mahasiswa fakultas hukum itu pun bubar. Mahasiswa plus dosen tiarap mencari tempat aman di ruang dekan.
Namun puluhan aparat telanjur dibakar amarah. Mereka terus melabrak tiap kelas, mencari mahasiswa. Ruangan dekan itu pun didobrak-abrik. Isinya diaduk-aduk. Bersama teman sekelasnya, Rahmat pun menjadi bulan-bulanan polisi. Mereka dipaksa berjalan jongkok menuju pintu II kampus UMI. Tubuhnya terus dihujani pentungan dan tendangan. Satu hantaman kuat popor senapan membuat batok kepalanya sobek. Darah muncrat. Di kampus itu, amarah rupanya telah mengalahkan akal sehat.
Televisi menayangkan peristiwa itu secara nasional (lihat Di Balik Rekaman Berdarah Itu). Reaksi pun bermunculan. Bahkan pencopotan Kepala Polda Sulawesi Selatan dan dua perwira lainnya belum cukup membuat mahasiswa Makassar tenang. Aksi solidaritas lantas merembet sampai ke Pulau Jawa.
Di Jakarta, Kepala Polri dipanggil Komisi Hukum dan Pertahanan DPR RI, Kamis pekan silam. Dalam acara dengar pendapat itu, kecaman atas aksi brutal datang beruntun dari anggota Dewan. Bahkan Wahid Bisri, anggota komisi dari Fraksi Kebangkitan Bangsa (FKB), menyodok Da'i dengan pertanyaan, "Apakah ada niat Kapolri untuk mundur?" Pertanyaan serupa dilontarkan anggota lainnya seperti Effendi Choirie (FKB), Djoko Susilo (Fraksi Reformasi), dan Ahmad Sumargono (Fraksi Bulan Bintang).
Kecaman itu memerahkan telinga Da'i. Dengan suara bergetar ia menjawab bersedia mundur seandainya Presiden Megawati Soekarnoputri meminta dia mundur. Sebelum ada permintaan dari Presiden, dia mengaku tidak akan pernah mengundurkan diri. "Saya bertanggung jawab kepada Allah SWT," ujarnya di parlemen.
Apalagi Da'i merasa tak semua kesalahan bawahan harus ditanggung atasan. Untunglah, pengakuan Jusuf Manggabarani, yang juga hadir mendampingi Da'i di DPR, mendukung posisi Kapolri. Kata Jusuf, kerusuhan terjadi karena ada anggota polisi kurang disiplin. Misalnya, anggota Polresta Makassar Timur Inspektur Satu Irwanto, tak mempercayai keterangan dari Rektor III UMI bahwa tak seorang polisi pun disandera di kampus itu. "Irwanto sebagai pemimpin pasukan meminta mencari sendiri (sandera itu)," kata Jusuf.
Rupanya, kata Jusuf, Irwanto berani nyelonong ke dalam kampus karena dia bekas mahasiswa dan dosen di UMI. Irwanto dituduh melanggar prosedur pengamanan. Buntut tindakannya justru mencoreng korps baju cokelat.
Peristiwa itu tentu saja membuat kalangan internal polisi turut gerah. Padahal Polri sempat dipuji banyak kalangan karena sukses menggasak pelaku aksi terorisme, terutama membongkar jaringan pelaku bom Bali. "Peristiwa UMI itu memang pahit dan menunjukkan kebrutalan polisi," ujar Inspektur Jenderal Polisi Ansyaad Mbai, Kepala Desk Antiteror Kementerian Politik dan Keamanan.
Ansyaad mau mengatakan bahwa menghadapi aksi terorisme jelas berbeda dengan demonstrasi. Artinya, polisi harus punya takaran bertindak yang pas. "Ya, proporsionallah," kata Ansyaad. Dan, itu bukan perkara gampang. Dia mencontohkan peristiwa kerusuhan Mei 1998. Kala itu polisi malah dituduh lambat bergerak. Sedangkan dalam menghadapi mahasiswa UMI, polisi justru bertindak kelewat batas. Dia mengakui profesionalisme polisi masih belum efektif. "Perlu pelatihan mengubah sikap polisi," ujarnya.
Dalam kasus UMI, Gubernur Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian, Inspektur Jenderal Farouk Muhammad, tak begitu sepakat jika pendidikan polisi jadi kambing hitam. Menurut dia, data Mabes Polri menunjukkan polisi yang menjadi tersangka kasus UMI rata-rata lulus sekolah polisi tiga tahun lalu. "Mereka memang belum terjamah kurikulum baru," ujar Farouk.
Menurut dia, Polri kini sedang menata sistem pendidikan yang baru. Salah satunya, membuang aspek militeristis dalam pelatihan. Dulu, misalnya, banyak latihan halang rintang dan baris-berbaris. Bahkan juga dwifungsi ABRI plus disiplin yang kaku. Model pendidikan itu lebih mengutamakan segi fisik dan menonjolkan pengetahuan kemiliteran. Sekarang, polisi diberi wawasan berpikir plus ilmu sosial seperti sosiologi. "Penggunaan senjata adalah jalan terakhir," ujar doktor ilmu kepolisian lulusan Florida State University, Amerika Serikat itu.
Ansyaad Mbai mencatat, kendati sudah lepas dari TNI, Polri tampaknya masih terbawa masa lalu, "Ciri polisi kita selalu ofensif," kata Ansyaad.
Di Narita, Jepang, cerita Ansyaad, satu batalion polisi yang dilatih khusus antihuru hara direkrut dari polisi terpilih. Soal fisik dan kecerdasan semua di atas rata-rata. Setiap hari kerjanya hanya latihan menangani kerusuhan. Tapi, kata Ansyaad, polisi di Negeri Sakura itu lebih defensif. Mereka tak dilatih menyerang. "Tamengnya saja dari aluminium, berat dan besar," ujarnya. Dia membedakan dengan tameng milik Polri. Lebih kecil dan ringan. Mungkin, biar mudah mengejar demonstran.
Lalu, jika terjadi kesalahan seperti di UMI, apakah Kapolri harus mundur? Bagi Djoko Susilo, anggota Komisi Pertahanan dan Keamanan DPR dari Partai Amanat Nasional, mengganti Kapolri pun tak menyelesaikan masalah. "Persoalan Polri lebih struktural," ujar Djoko. Lembaga kepolisian kita, kata Djoko, kini seperti single fighter. Misalkan dalam hal tanggung jawab. Selama ini laporan Polri langsung ke meja Presiden. Belum lagi soal perencanaan program dan anggaran sekitar 300 ribu personel. Untuk tahun ini, anggaran belanja Polri sekitar Rp 8 triliun. Semua urusan itu diatur langsung oleh Mabes Polri. "Dari policy maker sampai pelaksana," ujar Djoko.
Menurut Djoko, agar tak sendirian bergerak, DPR punya ide menaruh Polri di bawah Departemen Dalam Negeri. Lagi pula, selama ini pengawasan lembaga publik polisi pun masih lemah. Padahal, dalam aturan Undang-Undang Kepolisian Negara RI Nomor 2 Tahun 2002, ada amanat membentuk Komisi Kepolisian Nasional. "Komisi itu penting agar polisi tak lepas kendali," ujar Djoko lagi.
Namun, sampai sekarang, tak jelas kabar wadah penerima keluhan dan saran terhadap polisi itu. Kapolri Da'i Bachtiar mengaku sudah membahasnya dengan lembaga yang terkait, misalnya Kementerian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Badan Kepegawaian Negara. "Sekarang konsepnya masih di Sekretariat Negara," ujar Da'i singkat.
Nezar Patria, Hanibal W.Y.W., Anas Syahirul (Solo) Irmawati (Makassar)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo