Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Puasa di bulan Ramadan tidak hanya menahan lapar dan dahaga dari sebelum terbitnya fajar (Imsak atau Subuh) hingga terbenamnya matahari (Magrib). Tapi umat Islam yang berpuasa juga harus mampu mengendalikan diri dari perbuatan tercela yang dibenci Allah, seperti berbohong.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Nabi Muhammad pernah bersabda yang artinya, “Betapa banyak orang yang berpuasa, tetapi tidak memperoleh sesuatu dari puasanya, melainkan rasa lapar dan dahaga.” (HR. An-Nasa’i).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lalu, apakah berbohong membatalkan puasa? Berikut ini penjelasan lengkap beserta dalilnya.
Apakah Berbohong Membatalkan Puasa?
Melansir laman Nahdlatul Ulama (NU), Habib Zain bin Smith dalam al-Fawaidul Mukhtarah li Saliki Tariqil Akhirah menafsirkan hadis yang diriwayatkan An-Nasa’i terkait kerugian orang yang berpuasa tetapi tidak mendapatkan sesuatu dari puasanya itu.
Dia berpendapat bahwa orang berpuasa yang kehilangan pahala puasanya diakibatkan oleh perbuatan-perbuatan buruk. Perbuatan yang dimaksud, misalnya menggunjing orang lain, berbohong, dan mengadu domba.
Alasan tersebut sebagaimana yang disampaikan Rasulullah dalam sebuah hadis yang artinya, “Lima hal yang dapat membatalkan pahala orang berpuasa, yaitu membicarakan orang lain, mengadu domba, berdusta, melihat dengan nafsu (syahwat), dan berikrar, berjanji, atau sumpah palsu.” (HR. Ad-Dailami).
Senada dengan hal itu, Syekh Said Muhammad Ba’asyin dalam Busyrol Karim mengatakan, “Hal itu dikuatkan baginya, yaitu bagi orang yang berpuasa. Dan demi dirinya sendiri, ia perlu meninggalkan kebohongan dan ghibah, meskipun hal itu dibolehkan demi rujuk atau keluh kesah. Hal itu berlaku sunah untuk meninggalkannya. Berbeda dengan dua hal yang wajib, seperti berbohong untuk menyelamatkan orang yang tertindas dan menyebutkan kesalahan orang yang melamar, dan untuk melindungi anggota tubuhnya dari segala sesuatu yang diharamkan darinya.”
Syekh Said berkaca pada riwayat Al-Bukhari yang artinya, “Barangsiapa tidak meninggalkan ucapan dan perbuatan dusta, Allah tidak perlu meninggalkan makanan dan minumannya.” Sehingga, kegiatan bergunjing dan berdusta untuk kepentingan diri-sendiri harus ditinggalkan, termasuk saat berpuasa.
Dengan demikian, berbohong dan membicarakan orang lain tidak membatalkan puasa, tetapi menghilangkan pahalanya. Sekalipun kedua perbuatan itu diperbolehkan untuk kepentingan mendamaikan pihak yang bertikai, maka orang yang berpuasa sebaiknya menghindarinya.
Hal-hal yang Dapat Menghilangkan Pahala Puasa
Selain berbohong, Habib Zain bin Smith juga menyebut orang yang berpuasa karena ingin dipuji orang lain (riya) atau merasa dirinya lebih baik juga dapat menghilangkan pahala puasa.
Untuk poin tersebut, Habib Zain menyampaikan suatu kisah bahwa ada seseorang yang menghadiri majelis Syekh Abdul Qadir al-Jailani, kemudian dihidangkan makanan.
Syekh Abdul Qadir al-Jailani berkata, “Makanlah.”
Namun, orang tersebut menjawab, “Saya puasa.”
Syekh Abdul lalu meminta kembali orang tersebut untuk makan hingga tiga kali dan menjamin pahalanya. Akan tetapi, sikap orang itu tidak kunjung berubah, sehingga Syekh Abdul berkata, “Tinggalkanlah, engkau telah hina di hadapan Allah”, dan orang itu menjadi Nasrani mati dalam keadaan kafir.
Kisah itu berlaku dalam konteks puasa sunah, tidak dalam puasa wajib seperti di bulan Ramadan. Pasalnya, saat puasa fardu, seseorang tidak boleh berbuka sepanjang tidak ada alasan yang dibenarkan. Membatalkan puasa wajib hanya karena menjadi tamu tidak diperkenankan.
Kemudian, pahala puasa juga bisa hilang lantaran seseorang berbuka dengan sesuatu yang haram. Mengonsumsi makanan haram jugra bisa membuat seseorang merasa berat untuk melakukan suatu ibadah.
MELYNDA DWI PUSPITA