Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Zakat penghasilan atau zakat profesi merupakan istilah yang relatif baru dalam wacana keislaman. Zakat penghasilan muncul setelah disampaikan oleh ulama Mesir Yusuf Al-Qaradhawi yang menulis kitab berjudul Fiqhus Zakah yang terbit pertama kali pada tahun 1969.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sementara, di dalam fikih Islam, penghasilan tidak dimasukkan dalam lima jenis objek wajib zakat seperti emas, perak dan uang simpanan, barang yang diperdagangkan, hasil bumi, hasil peternakan, hasil tambang. Imam Mazhab yang empat juga tidak memberi bahasan khusus terkait zakat ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Zakat penghasilan atau dikenal juga dengan nama zakat profesi merupakansebuah ijtihad baru di kalangan umat Islam. Meski secara praktek, zakat penghasilan ini sudah secara eksplisit ditunaikan di zaman Rasulullah SAW.
Saat itu, zakat penghasilan diwujudkan melalui penarikan zakat untuk perdagangan, rikaz (harta karun), binatang ternak, zakat emas dan perak. Meski memamg, Al-Quran dan Sunnah tidak memuat aturan hukum yang tegas mengenai zakat jenis ini.
Mengutip dari laman muhammadiyah.or.id, disebutkan di dalam buku Himpunan Putusan Tarjih, zakat penghasilan dilatarbelakangi bermunculannya pekerja profesional yang dapat menghasilkan uang dalam jumlah banyak dalam waktu yang singkat.
Zakat Penghasilan kemudian dinilai layak untuk diwajibkan mengingat para petani yang bekerja keras dengan penghasilan rendah selama ini telah menjadi objek zakat (Zakat Pertanian). Jika Zakat Penghasilan tidak dimunculkan, dikhawatirkan justru akan muncul kesenjangan dan ketidakadilan sosial.
Dalam menetapkan hukum, Majelis Tarjih menggunakan metode istinbath melalui ijtihad bayani (dalil) untuk mendapatkan hukumnya. Majelis Tarjih pun mengambil keumuman perintah infak dalam Surat Al-Baqarah ayat 267 yang artinya adalah, “Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu..”
Kata ‘nafkahkanlah’ (anfiiquu) oleh Tarjih dimaknai zakat, sama seperti dalam surat Al-Baqarah ayat 3 dan surat At-Taubah ayat 34. Istilah ‘anfiiquu’ ini kemudian dipertemukan dengan kaidah usul fikih ‘al ashlu fil amri lil wujuub’ atau yang artinya adalah “pada asalnya perintah itu memfaedahkan kewajiban hukum”.
Selanjutnya, Tarjih mengambil kata ‘hasil usahamu’ (maa kasabtum) untuk ditakhsiskan (disandingkan) dengan hadis Nabi. Tetapi karena keumuman dan kekhususan makna ini sama, maka hukum wajib ditetapkan untuk Zakat Penghasilan sesuai dua kaidah ushul berikut: “Dzikru ba’du afraadil-‘aammi al muwaafiqi lahu fil-hukmi laa yaqtadi-takhsiisa” atau Menyebutkan sebagian satuan dari lafaz ‘aam (umum) yang sesuai dengan hukumnya tidak mengandung ketentuan takhshish.
Dan Kaidah yang berbunyi “al-aammu ba’da-takhsiisi hujjatun fiil-baaqii” yang artinya lafaz ‘aam yang telah ditakhsish tetap dapat dijadikan hujjah pada makna yang masih tertinggal.
Lebih lanjut, Tarjih memandang bahwa mengambil keumuman lafaz dari ayat 267 Surat Al-Baqarah di atas lebih tepat daripada mempertahankan kekhususan sababun nuzul sesuai kaidah yang berbunyi “al-‘ibratu bi-‘umuumi-lafzi laa bi-khusuusis-sababi” (pelajaran) atau hukum dari suatu ayat Al-Quran diambil dari redaksi teksnya yang bersifat umum, bukan dari sebab turunnya yang bersifat khusus).
Terakhir, Tarjih memandang bahwa Zakat Penghasilan adalah perkara ibadah ijtima’iyah (ibadah sosial) dan bukan ibadah mahdah. Pemberlakuan Zakat Penghasilan dilakukan untuk mempersempit kesenjangan antara yang kaya dan yang miskin.
Pemutusan kewajiban Zakat Penghasilan diperkuat dengan ayat 103 Surat At-Taubah dan ayat 7 Surat Al-Hasyr.