Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
UKURAN radar itu tak besar-besar amat. Tingginya tak melebihi tubuh orang dewasa, lebarnya hampir sama dengan bentang dua tangan. Tapi radar yang dari jauh terlihat mirip layar proyektor dengan empat kaki itu dikerubuti pengunjung ketika dipajang di Balai Besar Pengembangan Teknologi Tepat Guna Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia di Subang, Jawa Barat, 20 Agustus lalu, bertepatan dengan hari ulang tahun ke-42 lembaga tersebut.
Radar itu adalah Indonesian Sea Radar (Isra), radar pantai pertama buatan ilmuwan Tanah Air. Riset dan perancangannya memakan waktu tiga tahun lebih. Dua puluh peneliti LIPI terlibat dalam proyek pembuatan Isra.
Isra memiliki jangkauan deteksi hingga 64 kilometer atau setara dengan radar buatan Amerika Serikat dan Jepang yang dipasang di Selat Malaka akhir tahun lalu. ”Ini bukti bahwa tenaga dalam negeri mampu membuat peralatan yang sarat dengan aplikasi teknologi tinggi,” kata Kepala LIPI Umar Anggara Jenie. Ia mengatakan radar ini akan mendukung kemandirian dalam negeri untuk teknologi yang berfungsi strategis. ”Apalagi harga radar dari luar negeri sangat mahal dan prosedur pembeliannya sangat rumit.”
Proyek Isra berawal dari kerja sama LIPI dengan lembaga penelitian IRCTR TU Delft, Belanda. Lembaga itu memberi bimbingan teknis dan ikut merancang pengembangan teknologi radar. Sebelum mengajak LIPI, TU Delft sudah mengembangkan radar bersama perusahaan swasta nasional, RCS, untuk pengembangan radar navigasi kapal. Proyek itu disebut INDRA 1, yang kemudian berganti nama sejak April 2009 menjadi Indera.
Tim peneliti memilih pengembangan radar yang dipasang di pinggir pantai untuk mengawasi lalu lintas kapal. Awalnya proyek radar LIPI ini disebut INDRA 2. Nama itu sendiri kemudian sengaja diganti pada April 2009 menjadi Isra. Alasannya, INDRA sudah menjadi merek dagang produk yang nyaris sama di Spanyol. ”Kami takut jadi masalah, perebutan merek,” kata Mashury Wahab, Kepala Bidang Telekomunikasi di Pusat Penelitian Elektronika dan Telekomunikasi LIPI.
Prototipe Isra menggunakan kombinasi teknologi frequency modulation dan radar Continuous Wave atau disebut FM-CW. Isra memiliki dua antena, satu antena mengirim denyut gelombang terus-menerus, sedangkan antena lainnya berfungsi hanya menangkap gelombang sinyal dari obyek pantauan.
Teknologi radar Isra berbeda dengan sitem radar pulsa, yang digunakan di Indonesia saat ini. Radar CW mengirim gelombang terus-menerus, sedangkan radar pulsa melontarkan sinyal dalam jarak waktu tertentu. Saat antena radar tidak mengirimkan sinyal, fungsinya berubah menjadi penangkap sinyal yang terpantul dari obyek pantauan. Dari pantulan gelombang itu informasi dari obyek diperoleh. Data yang dihasilkan radar pulsa terhitung sederhana sehingga tidak memerlukan pengolahan sinyal untuk menampilkan informasi langsung di layar.
Menurut Mashury, pengembangan radar dengan sistem gelombang kontinu seperti Isra memang sulit dilakukan. Sebab, pengolahan data gelombang kontinu hasil pantulan obyek dari sistem radar ini sangat rumit. Data yang dihasilkan radar CW membutuhkan pemrosesan yang kompleks sehingga mengharuskan adanya peranti lunak dan perangkat komputer yang dapat mengolah data secara cepat. Apalagi radar CW punya kelemahan, yakni sulit membedakan dua obyek yang berdekatan. Sejumlah kelemahan itu yang jadi tantangan pengembangan teknologi FM-CW oleh para peneliti LIPI. Mashury mengatakan teknologi kombinasi yang disebut FM-CW ini mengeliminasi kekurangan itu.
Aplikasi teknologi radar FM-CW pada Isra bergantung pada peranti lunak pengolahan data. Peranti lunak inilah yang membedakan kemampuan satu jenis radar dengan radar lainnya. Berkat software tersebut, radar mampu mengenali mulai kapal laut (radar pengawas lalu litas laut), pesawat tempur yang melaju hingga 2.000 kilometer per jam (radar pengawas udara), hingga butiran air di udara (radar cuaca). ”Sebagian besar pekerjaan radar pulsa dilakukan oleh radar itu sendiri sehingga tinggal ditampilkan di komputer. Kalau menggunakan FM-CW itu kira-kira 50 persen atau separuh pekerjaan dikerjakan komputer,” kata Mashury.
Kelebihan teknologi FM-CW antara lain ukurannya yang relatif kecil. Dalam rencana aplikasi ke depan bahkan bisa dikembangkan versi mobile yang diusung truk, plus konsumsi listriknya relatif irit. Radar ini bahkan bisa beroperasi dengan listrik yang dihasilkan oleh sel surya. Dan yang terpenting, harganya jauh lebih murah. Keunggulan lain radar ini adalah relatif tidak terdeteksi dan sulit diacak (jamming). Sebaliknya, radar pulsa mudah diacak.
Radar pulsa biasanya memiliki ukuran relatif besar. Konsumsi listriknya pun boros. Mashury mengilustrasikan, radar pulsa untuk fungsi pertahanan udara dengan jangkauan pengawasan sampai radius 300 kilometer membutuhkan listrik sampai 10 megawatt. Dalam salah satu seminar soal radar yang digelar LIPI, Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara mengungkapkan bahwa untuk mengoperasikan 16 radar pertahanan udaranya (dari 22 yang direncanakan), ongkos bahan bakar untuk genset menghabiskan hingga Rp 550 miliar setahun. Padahal idealnya Indonesia memiliki 100 radar untuk menjangkau pulau-pulau terluar.
Dana itu belum termasuk biaya suku cadang. Misalnya salah satu komponen vital radar pulsa itu, Magnetron, yang berfungsi sebagai penguat sinyal agar jangkauannya jauh. Selain mahal harganya, membelinya tidak bisa sembarang. Komponen yang diperjualbelikan untuk keperluan militer itu hanya dijual oleh negara-negara tertentu dan banyak prosedur yang harus dilalui.
Nah, konsumsi listrik untuk pengoperasian Isra, di luar listrik untuk penggunaan komputer, hanya 200 watt. Mashury mengatakan, untuk mengembangkan radar dengan jangkauan sampai sepuluh kali lipatnya, hanya perlu mengganti penguat dayanya menjadi maksimum 200 watt.
Meski dibuat di Tanah Air, sebagian besar suku cadang Isra masih impor, terutama modul-modul elektroniknya. Sisanya, dari konstruksi mekanis sampai peranti lunaknya, bikinan sendiri. Tapi modul yang digunakan mudah didapat karena diperjualbelikan bebas. Total harga suku cadang impor itu hanya Rp 600 juta. Jauh di bawah biaya pengembangan Isra yang menghabiskan Rp 3 miliar. Bandingkan dengan radar sejenis buatan Amerika yang harganya berkisar Rp 20 miliar.
Hanya, Isra masih membutuhkan sedikit modifikasi untuk memenuhi kebutuhan fungsi radar militer. Selain harus dapat beroperasi dalam jangka waktu lama, lebih dari 10 tahun, ia harus ditambah Automatic Identification System untuk mengindentifikasi obyek yang dipantau.
Adek Media, Nanang Sutisna (Subang), Ahmad Fikri (Bandung)
Features Radar Pengawas Pantai Isra:
Variasi Aplikasi Isra
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo