Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
CIN(T)A
(Sembilan Matahari Film, 2009)
Sutradara: Sammaria Simanjuntak
Penulis naskah: Sally Anom Sari, Sammaria Simanjuntak
Pemain: Sunny Soon, Saira Jihan
CINA adalah sebuah nama. Lelaki berusia 18 tahun asal Medan itu baru lulus sekolah menengah di Singapura. Ia kini terdaftar sebagai mahasiswa Arsitektur di Bandung. Cina (Sunny Soon) memang keturunan Tionghoa. ”Sudah tahu Cina, kok, dikasih nama Cina,” kata seorang teman. Ia menjawab santai, ”Yang salah petugas kelurahan. Bapakku bilang aku akan diberi nama Cina, eh, malah ditulis begitu.”
Menampik beasiswa menggiurkan dari Negeri Singa, mahasiswa brilian itu bertekad menjadi ”putra-putri terbaik bangsa”—tulisan dalam spanduk di depan kampusnya. Ia juga tak tergerak memburu mahasiswi-mahasiswi jelita. Alasannya: kecantikan berbanding terbalik dengan kepintaran.
Hingga suatu hari, ia bertemu dengan seniornya, Annisa (Saira Jihan). Dara cantik itu artis sinetron yang sudah redup. Popularitasnya kini cuma di tayangan gosip televisi: pernah jadi simpanan si anu, ibunya doyan kawin-cerai, dan seterusnya.
Beberapa kejadian tak disengaja mengakrabkan keduanya. Lambat-laun hubungan mereka makin erat, dibarengi kesadaran akan perbedaan: Cina pemeluk agama Kristen dan Annisa beragama Islam. Dari titik ini, bergulirlah serangkaian dialog mereka tentang Tuhan—dalam bahasa sehari-hari dan sangat sederhana.
”Kenapa kamu enggak pindah ke agamaku saja, sih,” kata Cina suatu hari. Annisa menjawab, ”Kalau Tuhanku saja berani aku khianati, bagaimana dengan kamu?”
Pertanyaan demi pertanyaan yang dilontarkan Cina dan Annisa itu adalah pertanyaan yang sebetulnya selalu mewakili mereka yang mencari diri dalam agama. Hal yang wajar, yang memang butuh jawaban.
Melalui dialog sepasang kekasih ini kita disuguhi berbagai ”pencerahan”. Tanpa berusaha berceramah, tokoh Cina dan Annisa sukses mendiskusikan agama dengan sikap santai.
Satu hal yang patut dicatat adalah pemain dalam film ini hanya dua orang: tokoh Annisa dan Cina. Dialog-dialog hanya terjadi di antara mereka berdua. Latar belakang lokasi juga sebenarnya monoton. Namun, toh film ini tetap enak dinikmati karena dialog di antara dua karakter ini relatif kuat. Di sela-sela cinta, cemburu, benci, mereka mendiskusikan Tuhan dan tidak tendensius.
Film ini berakhir menyenangkan dan tidak menyenangkan—tergantung dari sisi mana Anda melihat. Namun Cin(t)a mampu menjadi film yang mewakili keberagaman di Indonesia yang tak melulu penuh kebencian dan prasangka. Meski dialog dalam film ini penuh dengan pertanyaan yang mendalam, tak terasa film ini merupakan forum diskusi perbandingan agama yang berat. Semua dibalut dalam kisah cinta biasa antara dua remaja.
Ada satu adegan yang menyentuh dengan latar belakang hari raya Natal hanya berselang satu hari dengan Idul Fitri 2002. Orang bermaafan di masjid diiringi tabuhan beduk. Perlahan-lahan, suara bertalu-talu itu menyambung dengan lagu Gloria dan adegan berpindah ke gereja. Musik latarnya: lagu Gloria dengan iringan beduk bertalu-talu. Penggarapan artistik yang luar biasa.
Film ini membuktikan bahwa perbedaan agama tak selalu identik dengan pertikaian. Sesuatu yang pantas disampaikan kepada dunia. Sangatlah pantas jika film independen garapan sutradara Sammaria Simanjuntak ini diputar juga di belasan kampus di Australia dan Inggris.
Andari Karina Anom
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo