Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sains

1 dari 5 Pasien Koma Bisa Jadi Masih Sadar tapi 'Terkunci'

Satu dari lima orang yang mengalami koma mungkin kesadarannya berada dalam kondisi seperti 'terkunci'.

24 Agustus 2024 | 09.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Satu dari lima orang yang mengalami koma mungkin kesadarannya berada dalam kondisi seperti 'terkunci'. Artinya, mereka masih menyadari situasi sekelilingnya tapi tak mampu mengkomunikasikannya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Fenomena itu tak bisa lagi dianggap sebatas fenomena yang langka. Sebabnya, sebuah studi yang melibatkan sejumlah besar partisipan menemukan kalau beberapa orang dengan kerusakan parah pada otaknya memang masih dapat melakukan tugas mental yang kompleks ketika diinstruksikan, meski dia tak dapat bergerak atau berbicara.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Hasil studi terbaru membuat kita tak dapat lagi mengabaikan fenomena ini," kata Nicholas Schiff, Profesor Neurologi juga pakar tentang kelainan kesadaran dari Weill Cornell Medical College, New York, AS. 

Orang-orang yang disebut mengalami kelainan kesadaran bisa berada dalam kondisi koma ataupun mati batang otak. Mereka tak bisa merasakan lagi keadaan lingkungan sekitarnya, atau memiliki kesadaran yang sangat minim seperti bisa membuka mata tapi tak memberi reaksi. 

Pada 2019, Schiff dan timnya menemukan kalau 1 dari 10 dari orang-orang yang tak sadar permanen karena trauma di otak sebenarnya masih sadar. Mereka seperti sedang terkunci saja. Dasarnya adalah hasil pindai otak yang mengungkap adanya aktivitas yang berbeda-beda.

Untuk mencari tahu apakah para dokter telah selama ini keliru menyimpulkan kematian pasien yang sebenarnya masih sadar itu, Schiff dan timnya menggelar tes perilaku dan brain imaging pada 353 orang yang mengalami kerusakan parah pada otaknya selama lebih dari delapan tahun di enam pusat kesehatan internasional. 

Para partisipan itu diminta memikirkan sedang mengerjakan beragam aktivitas--seperti bermain tenis, berenang, mengepalkan tinju, atau berjalan di sekitar rumah--selama 15-30 detik. Setiap instruksi diulan-ulang tujuh dalam periode lima menit.  

Dalam kelompok orang yang tak mengalami kelainan kesadaran, pemikiran-pemikiran mengikuti instruksi yang diberikan tersebut menghasilkan aktivitas otak yang teridentifikasi pada pemindaian MRI atau electroencephalograms (EEG). Di antara 353 orang dengan kerusakan otak, 241 menunjukkan tak ada respons terhadap instruksi verbal tersebut. 

Tapi, dari 241 itu, sebanyak 25 persen menunjukkan aktivitas otak yang sama dengan kelompok orang yang tak memliki kerusakan otak. Untuk mereka yang dalam kondisi koma atau mati batang otak, hasil penelitian yang telah dipublikasi di New England Journal of Medicine menyebut angkanya 20 persen (1 dari setiiap 5 pasien). 

"Instruksi yang diberikan sangat menyita perhatian, waktu, dan energi. Kami tidak tahu apa tepatnya yang mereka alami tapi fakta bahwa otak mereka bekerja berarti ada sebuah peluang yang sangat baik kalau mereka punya kesadaran," tutur Schiff.

Diduga ada 300-400 ribu orang dengan kelainan kesadaran yang berkepanjangan di dunia saat ini. Artinya, menurut Schiff, ada sampai 100 ribu yang mungkin kesadarannya sebatas sedang terkunci.

Raanan Gillon, profesor emeritus bidang etika medis di Imperial College London, mengatakan kalau hasil studi ini mungkin menyebabkan lebih banyak orang ingin tetap bertahan dalam sokongan kerja mesin dan alat medis. "Sejumlah isu etika, termasuk menghormati otonomi dan hak orang-orang seluruhnya menjadi membutuhkan re-evaluasi," katanya.

Menurut Erin Paquette dari Northwestern University, Illinois, AS, hasil studi ini juga memunculkan pertanyaan pada kesetaraan kemampuan mengakses MRI dan EEG. Jika sebuah pusat kesehatan tak memiliki akses ke dua teknologi itu, para pasiennya mungkin tak memiliki kesempatan yang sama seperti yang ada di lokasi lain untuk bisa bertahan hidup. 

Teknologi brain-computer interfaces (BCI) dapat menyediakan sebuah cara komunikasi dua arah orang-orang dengan kelainan kesadaran, tapi tidak umum digunakan. Schiff menambahkan, studi yang baru dilakukan menunjukkan kalau hanya butuh 30 menit untuk melatih BCI mentransformasi aktivitas otak yang berasosiasi dengan upaya komunikasi verbal ke dalam teks di layar. 

"Kenapa tidak berikan teknologi itu kepada mereka yang alami kelainan kesadaran untuk melihat apakah mereka dapat menggunakannya untuk berkomunikasi?" kata Schiff. "Kemungkinan terburuknya Anda mendapat data selama dua minggu, kemungkinan terbaiknya Anda akan membebaskan mereka untuk bisa berkomunikasi kembali."

NEW SCIENTIST, NEJM

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus