Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEKALI, setelah itu mati. Cukup sudah. Dua tahun lalu, Rudi Hartono bersama beberapa nelayan di Brebes coba-coba menebar benih ikan nila hitam di tambak milik mereka. Hasilnya, separuh bibit yang ditebar mati.
”Mungkin karena saat itu musim kemaraunya agak panjang,” Pelaksana Tugas Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia Kabupaten Brebes itu menganalisis kemungkinan penyebab matinya nila di tambak. Tanpa hujan dan dipanggang terik matahari, air di tambak menjadi lebih asin. Nila yang habitat sebenarnya di air tawar tentu tak tahan dengan air kelewat asin.
Setahun kemudian, para nelayan di pantai utara Jawa Tengah itu kembali membiakkan ikan bandeng. Sekarang, mendengar kabar ada penelitian soal ikan nila yang bisa hidup di air payau tambak, Rudi sangat tertarik. ”Kapan mulai dijual? Tentu saja kami ingin mencoba,” katanya pekan lalu.
Pusat Teknologi Produksi Pertanian di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi sedang berusaha membenihkan ikan nila yang bisa dipelihara di air payau. Menurut M. Husni Amarullah, chief engineer proyek penelitian ini, nila salin itu bisa tahan hidup di air dengan tingkat keasinan di atas 20 parts per thousand.
NILA sebenarnya bukanlah ikan asli sungai-sungai di Indonesia. Nila (Oreochromis niloticus) merupakan anggota keluarga besar tilapia. Leluhur nila hidup di sungai-sungai Mesir dan sebagian Israel hingga perairan air tawar negara-negara di Afrika Tengah. Di Negeri Piramida, nila sudah dibudidayakan sejak 4.000 tahun silam. Di Daftar Gardiner, yakni kumpulan lambang huruf (hieroglyph) Mesir kuno, tilapia menempati urutan pertama dalam daftar tanda ikan.
Keluarga tilapia ini terdiri atas tiga genus besar, yakni Oreochromis, Sarotherodon, dan Tilapia. Dalam genus Oreochromis sendiri ada lebih dari 30 spesies. Dua anggota Oreochromis yang sangat populer di Indonesia adalah nila dan mujair atau Oreochromis mozambicus.
Tak diketahui persis kapan ikan tilapia masuk ke sungai-sungai di Indonesia dan negara lain di Asia. Nila didatangkan ke Indonesia dari Taiwan pada akhir 1960-an. Ikan pemakan segala ini sangat populer di Taiwan. Benih wu kuo, panggilan nila di Taiwan, datang dari Singapura pada 1946.
Sekarang, menurut Husni, peneliti senior di Pusat Teknologi Produksi Pertanian, tilapia, terutama nila, sudah menjadi salah satu jenis ikan budi daya paling penting—setelah ikan karper dan salmonid. Berdasarkan data Badan Pangan Dunia (FAO), total produksi tilapia dunia tahun lalu 3,7 juta ton. Indonesia berada di urutan kelima pemasok nila. ”Nomor satunya Cina,” kata Husni. Mesir menyusul di tempat kedua, lalu Thailand dan Filipina. Padahal bibit nila baru diperkenalkan di Cina pada 1978.
Dari tahun ke tahun, produksi dan permintaan daging nila di dunia semakin tinggi. Pada 2009, Amerika Serikat mengimpor 183.400 ton tilapia. Indonesia mengirim 8.800 ton nila ke Amerika Serikat. Produksi nila terus melesat karena ikan ini memang gampang dibudidayakan. ”Kemampuan berkembang biaknya tinggi dan bandel,” ujar Husni. Hidup di air agak keruh pun tak terlalu jadi soal. Soal makanan, nila juga tak pilih-pilih. Apa pun diganyang.
Karena nila doyan melahap apa pun, ongkos membiakkannya relatif murah. ”Maka nila juga sering disebut aquatic chicken, ayam potong yang hidup di air,” kata Husni. Masalahnya, urusan benih nila belum digarap serius. ”Baru mulai awal 2000-an.” Dalam soal benih nila, sekali lagi, kita sepertinya perlu belajar hingga ke Cina, Filipina, dan Thailand. Kita pernah mendatangkan benih nila Chitralada dari Thailand, nila GIFT hasil rekayasa International Center for Living Aquatic Resources Management di Filipina, dan nila JICA dari Jepang.
Pada 2006, Pusat Teknologi Produksi Pertanian bekerja sama dengan Balai Besar Pengembangan Budi Daya Air Tawar dan Institut Pertanian Bogor berhasil menelurkan benih unggul nila GESIT (genetically supermale Indonesian tilapia).
Dengan teknik rekayasa kromosom, nila jantan GESIT mempunyai struktur YY. Nila jantan normal mempunyai struktur kromosom XY. Nila superjantan ini, Husni memaparkan, apabila dikawinkan dengan nila betina normal, lebih dari 90 persen keturunannya akan berkelamin jantan. Budi daya nila jantan lebih menguntungkan karena dia tumbuh lebih cepat ketimbang sang betina. ”Empat bulan sudah bisa panen,” ujarnya. Biasanya nila layak panen setelah enam bulan di kolam.
Secara alamiah, nila dan keluarga tilapia mempunyai ketahanan hidup di air payau lebih tinggi dibanding ikan lain. Masalahnya: apakah dia bisa berkembang dengan baik di air payau? Nila biasanya berkembang optimum di air hangat pada temperatur 25-37 derajat Celsius, walaupun ada beberapa ikan tilapia yang bisa bertahan di lingkungan lebih ekstrem. Misalnya Tilapia mariae, yang hidup di muara sungai berair payau di Afrika Barat. Ada pula ikan tilapia biru atau Oreochromis aureus, yang sanggup bertahan di air dingin hingga suhu tujuh derajat Celsius.
Untuk mendapatkan nila yang sanggup hidup di tambak, Husni dan kawan-kawannya mengawinkan (filial cross) delapan strain nila yang paling tahan air asin. Delapan nila ini sudah melewati uji tantang di air payau. Dari ”perkawinan” nila paling tahan asin ini didapatkan benih-benih ”jagoan”. Benih inilah yang sekarang sedang diuji coba dibiakkan di pantai Karawang, Jawa Barat.
Pada tahap pertama, benih-benih ”jagoan” ini ditebar di kolam dengan tingkat keasinan 10 parts per thousand. Benih-benih yang bisa berkembang dengan baik akan dipilih dan diuji coba di air payau dengan keasinan 20 parts per thousand. Baru setelah itu, mereka dicoba di pelbagai lokasi. Mereka yang bisa melewati semua seleksi akan menjadi bibit nila salin. ”Semoga awal tahun depan sudah bisa dirilis,” kata Husni.
Beberapa waktu lalu, Ketut Sugama, Direktur Jenderal Perikanan Budi Daya, mengatakan Kementerian Kelautan dan Perikanan menargetkan produksi ikan nila tahun ini 639.300 ton. Itu berarti naik 36,26 persen dari produksi tahun lalu, 469.173 ton. Angka itu bisa digenjot antara lain lewat program minapolitan dan minapadi, bercocok tanam padi sambil memelihara nila.
Sapto Pradityo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo