Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Patung seorang ibu yang tengah memangku dua jenazah anak laki-lakinya yang berlumuran darah langsung menyita perhatian begitu memasuki Monumen Rawagede, Karawang, Jawa Barat, pertengahan September lalu. Patung perunggu itu mengingatkan pada patung Pieta karya Michelangelo yang berada di Basilika Santo Petrus, Roma, Italia. Sebuah patung marmer Bunda Maria yang memangku jenazah Yesus yang telah wafat di kayu salib. Sepintas, patung itu mirip, sama-sama menggambarkan seorang ibu yang memangku jenazah anak laki-lakinya. Menggambarkan kedukaan dan kepasrahan seorang ibu yang telah ditinggalkan anak yang dikasihinya.
Di sebuah tembok di belakang patung itu terpahat sepenggal sajak Karawang Bekasi karya Chairil Anwar. "...Kami cuma tulang-tulang berserakÂan. Tapi adalah kepunyaanmu, Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan. Ataukah jiwa kami melayang untuk kemerdekaan, kemenangan dan harapan atau tidak untuk apa-apa. Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata. Kaulah sekarang yang berkata...."
Menurut Ketua Yayasan Rawagede, Sukarman, patung yang dibuat oleh dosen dan mahasiswa seni rupa sebuah perguruan tinggi di Yogyakarta itu didedikasikan kepada janda-janda korban pembantaian Rawagede. Patung itu menceritakan kesedihan seorang ibu yang kehilangan kedua anaknya (Atung, 15 tahun, dan Adul, 18 tahun) dalam peristiwa pembantaian Rawagede pada 7 Desember 1947. "Patung itu untuk menggambarkan betapa sedihnya wanita pada saat itu," katanya.
Korban pembantaian Rawagede oleh tentara Belanda tercatat 431 orang. Semuanya laki-laki, dewasa dan remaja. Sebanyak 181 korban di antaranya kini dimakamkan di kompleks pemakaman Sampurna Raga, yang terletak di bagian belakang monumen. Di bawah naungan empat pohon asam dan satu pohon jati yang rindang, 181 batu Ânisan putih yang merupakan makam para korban tampak berjejer rapi. Di ujung kiri sisi kanan terdapat nama Siot. Ada pula nama Bitol, Sukri, Seceng, Sebel, Rohim, dan Adul.Â
Lasmi, salah satu janda korban, menuturkan bahwa peristiwa pembantaian itu masih terus membekas di hatinya. Saat itu Lasmi, yang tengah menikÂmati manisnya pernikahan, harus rela kehilangan suaminya, Sukri, yang diberondong peluru tentara Belanda. "Saya melihat suami saya didereded Belanda. Lehernya ditembus peluru, badan saya langsung lemas," ujar wanita yang kini berusia 83 tahun itu.
Tak hanya ditinggal suami, Lasmi juga harus kehilangan bayi yang dikandungnya. Janin berusia tujuh bulan dan telah dipersiapkan dengan nama Darwi itu tak bisa diselamatkan. Lasmi keguguran karena syok berat mendengar rentetan senjata dan menyaksikan langsung suaminya meregang nyawa. "Perut saya langsung sakit sekali," tuturnya.
Cawi, 84 tahun, janda korban pembantaian lainnya, mengalami nasib serupa. Di usianya yang ke-20, Cawi terpaksa menjadi janda. Bitol, pria yang baru menikahinya dua tahun, menjadi korban pembantaian pasukan Belanda. Tak senahas Lasmi yang harus melihat dengan mata kepala sendiri saat sang suami diberondong peluru, Cawi tak sempat melihat langsung peristiwa tragis itu. "Saya sembunyi di dalam rumah dengan teteh (kakak perempuan) dan bapak. Saya tidak melihat apa-apa, hanya mendengar suara tor-tor-tor. Derededan," katanya.
Sekitar 12 jam Cawi sembunyi di dalam rumah. Baru sore pukul 17.00 Cawi berani keluar dari rumah. Bersama para wanita lainnya, Cawi mencari para suami di sekitar rumah dan jalanan. Mayat lelaki bergelimpangan di jalanan dengan luka tembakan di tubuh dan kepala, bahkan ada tubuh dan kepala yang terpisah. "Kampung Rawagede penuh mayat, ibu-ibu menangis sambil mencari suami dan anak laki-lakinya," ujarnya.
Cawi sendiri baru menemukan suaminya ketika seorang anak memberi tahunya ada mayat di selokan yang tak jauh dari rumahnya. Dan benar, satu dari tumpukan mayat itu adalah Bitol. Jelas terlihat bekas peluru yang melubangi kepala suaminya. "Ya Allah, nasib dia kena bedil," katanya.
Sepanjang tiga hari setelah peristiwa pembantaian, para ibu Rawagede mencari suami dan anak laki-laki mereka. Karena tak ada laki-laki, para wanita itu bahu-membahu menggotong dan mengubur jenazah. Dengan alat seadanya—cangkul, golok, dan sendok semen—ibu-ibu itu menggali lubang sedalam sekitar satu meter untuk mengubur jenazah di pekarangan rumah masing-masing.
Tragedi yang terjadi pada Selasa pagi itu telah membuat Rawagede bersimbah darah. "Kali Rawagede merah oleh darah. Mayat bergelimpangan," tutur Kadun, 76 tahun, saksi hidup, kepada Tempo. Kadun salah satu yang juga menyaksikan langsung pembantaian oleh tentara Belanda. Kadun adalah putra Siot, petani Rawagede yang ditangkap oleh tentara Belanda.
Kadun, saat itu berusia 10 tahun, menyaksikan ayahnya yang bersembunyi di kali Rawagede tertangkap oleh Belanda. Tadinya, ayah Kadun cukup aman dalam persembunyiannya. Tapi tentara Belanda kemudian membawa anjing pelacak untuk menyisir kali Rawagede. "Anjing menggonggong terus. Akhirnya tumpukan sampah itu disogokin pake bayonet oleh Belanda," ujarnya.
Ayah Kadun, yang akhirnya muncul dari tumpukan sampah, kemudian ditangkap Belanda. Sebelum dibawa Belanda, ayahnya sempat dibawa ke rumah. "Sampai sekarang saya tak tahu di mana ayah saya."
Tragedi Rawagede yang terjadi pada Selasa pagi, 9 Desember 1947, adalah peristiwa pembantaian massal oleh pasukan Belanda terhadap warga Desa Rawagede, Karawang, Jawa Barat. Nama Rawagede kini telah berubah menjadi Balongsari. Desa ini terletak di Kecamatan Rawamerta, Kabupaten Karawang, sekitar 15 kilometer ke arah timur laut dari ibu kota kabupaten.
Sejak subuh, sekitar pukul 04.00, pasukan Belanda mengepung Desa Rawagede untuk mencari pejuang Republik, Kapten Lukas Kustario. Di bawah pimpinan Alphons Wijman, sekitar 300 tentara Belanda menggeledah rumah warga. Penduduk laki-laki dikumpulkan di tanah lapang untuk ditanya mengenai keberadaan Lukas.
Karena tak ada satu pun penduduk yang memberitahukan keberadaan Lukas, pemimpin tentara Belanda memerintahkan menembak mati semua penduduk laki-laki dari usia remaja hingga dewasa. Sebanyak 431 penduduk tewas akibat berondongan peluru dan tusukan bayonet pasukan Belanda.
Kepada Tempo, Letnan Dua (Purnawirawan) Soepangat, rekan gerilyawan Lukas, mengatakan Lukas adalah gerilyawan yang paling dicari militer Belanda. Pasalnya, Lukas sering menyerang konvoi militer dan markas pertahanan Belanda di daerah perbatasan Jakarta-Jawa Barat. Kehebatan bertempur jarak dekat menjadi salah satu keistimewaan Lukas, yang juga membuat Lukas dicap sebagai musuh nomor satu Belanda di daerah perbatasan Jakarta-Jawa Barat. Militer Belanda pun menawarkan hadiah 10 ribu gulden bagi siapa yang bisa menangkap Lukas, dalam keadaan hidup atau mati.
Menurut Soepangat, Rawagede merupakan daerah yang kerap menjadi perlintasan pejuang revolusi kemerdekaan. Tak mengherankan jika tentara Belanda mencari Lukas di sana. "Ada informasi pasukan Lukas berada di Rawagede. Karena Belanda mencari Lukas tidak ketemu, desa itu yang jadi sasaran," kata pria 80-an tahun ini.
 Mantan ajudan Lukas ketika menumpas gerakan Republik Maluku Selatan pada 1950-an ini menambahkan, Lukas sendiri tak mengetahui peristiwa pembantaian tersebut. Saat itu Lukas keluar dari Rawagede sehari sebelum terjadinya pembantaian.
Bagi Lukas, tutur Soepangat, ada istilah seperti ini: sekali menyerang, dua kali tembak, lalu hilang. "Kalau dia menembak tentara Belanda itu dari dekat. Dan dia selalu berdiri di barisan paling depan," katanya. "Taktik gerilya yang juga sering digunakan Lukas adalah menyamar."
Di mata anak-anaknya, Lukas adalah sosok ayah yang tegas dan disiplin. "Bapak itu tentara koboi, mirip-mirip Rambo atau Robin Hood," ujar Lusiati Kushenrini Purnomowati, 64 tahun, anak pertama Lukas. Selain itu, Lusi menambahkan, ayahnya tidak gila tanda jasa. Buat ayahnya, tanda jasa itu tidak penting. "Saya tidak perlu tanda jasa. Saya berjuang untuk negara," kata Lusi menirukan kalimat sang ayah.
Hal itu diamini oleh Sukarman. Ketua Yayasan Rawagede ini bahkan menyaksikan langsung bagaimana Lukas memperlakukan piagam-piagam yang dimilikinya. Lukas mempergunakan piagam itu untuk mengelap sepatunya. "Apa ini? Apa pentingnya ini?" kata Lukas sembari mengelap sepatu dengan piagam dan kemudian membuangnya," ujar Sukarman.
Mata Kadun, 76 tahun, nanar melihat sejumlah orang kulit putih tengah berjemur di halaman Istana Kerajaan Belanda di Den Haag pertengahan Juni lalu. Ingatannya langsung melayang pada kejadian pembantaian Rawagede 64 tahun silam. "Kalau dulu di Rawagede yang berbaring di jalanan itu mayat-mayat. Di Belanda ternyata mereka berjemur," ujarnya polos.
Sejatinya kedatangan Kadun ke Belanda untuk menjadi saksi dalam sidang lanjutan gugatan peristiwa Rawagede di pengadilan sipil Den Haag. Namun ia masih menyimpan harapan bertemu dengan sang ayah, yang diyakininya masih hidup dan tinggal di Belanda.
Dibantu oleh seorang warga, Kadun yang buta huruf menjalani proses pembuatan paspor yang berbelit, dari pembuatan KTP hingga tes kesehatan yang harus kembali dua kali. "Kemarin ikut ke Belanda berharap bisa bertemu dengan Bapak. Mungkin waktu itu Bapak dibawa ke Belanda," katanya.
Meski belum bisa bertemu dengan sang ayah yang diyakininya masih hidup, Kadun paling tidak bisa mencecap sedikit kebahagiaan. Pengadilan sipil Den Haag akhirnya memenangkan gugatan pada 14 September 2011, menyatakan pemerintah Belanda bersalah dan harus bertanggung jawab. Pengadilan memerintahkan pemerintah Belanda memberikan ganti rugi kepada para janda korban pembantaian massal Rawagede dan seorang pria yang menderita luka tembak pada 1947.
"Kalau ditanya seneng apa tidak, ya seneng karena sudah menang. Tapi, kalau ingat kejadian itu, saya masih suka nangis. Masih ingin ketemu Bapak," ujar Kadun lirih. Demikian pula dengan apa yang dirasakan Lasmi. "Di sini (hati) masih sakit kalau ingat. Tidak bakalan lupa. Kenapa ya bisa terjadi seperti itu," katanya.
Meski masih menyimpan luka di hati, para keluarga korban ini ternyata tak memendam dendam. Bahkan mereka merasa bersyukur jika orang Belanda mau berkunjung ke Rawagede. "Saya mah bersyukur, terima kasih kalau mereka (Belanda) mau menengok kami. Kami tidak dendam, yang sudah ya sudah," tutur Lasmi.
Sejarawan Bonnie Triyana menyatakan kemenangan gugatan korban Rawagede itu menjadi sejarah penting bagi Indonesia. Itu juga membuktikan bahwa kejahatan perang tidak ada kedaluwarsanya serta tidak bisa ditutupi, termasuk oleh bangsa sendiri. "Ini kemenangan politik bagi Indonesia atas Belanda yang sampai saat ini tidak mengakui kemerdekaan RI 17 Agustus 1945," katanya.
Kemenangan gugatan Rawagede ini, Bonnie menambahkan, diharapkan menjadi tonggak untuk memulai proyek penulisan sejarah yang berimbang. Kasus Rawagede menjadi salah satu contoh masih kurang maksimalnya pengetahuan sejarah di Tanah Air yang belum terkuak. "Kasus Rawagede ini hanya satu fragmen dari sejarah. Masih banyak tragedi lain yang perlu diungkap, seperti kasus Westerling," ujarnya.
Suryani Ika Sari, Kalim
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo