Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bola mata Brigadir Jenderal Purnawirawan Lukas Kustario yang bulat itu berkaca-kaca tatkala saya pada 1992 meminta dia menjelaskan posisi dirinya dalam peristiwa pembantaian terhadap 431 penduduk oleh tentara Belanda di Rawagede, Karawang, pada 9 Desember 1947.
Lelaki gempal yang pada saat tragedi tak berperikemanusiaan itu menjabat Komandan Kompi I Batalion I Divisi Siliwangi di Karawang itu langsung menengadahkan wajahnya ke langit-langit rumahnya yang sederhana di Jalan Gadog I, Cipanas, Cianjur, Jawa Barat.
Saya tahu, Lukas, yang usianya sudah mencapai 72 tahun saat itu, mencoba membendung air matanya, supaya dianggap tetap tabah, tidak mau dianggap cengeng di mata anak muda.
Namun lama-kelamaan air matanya semakin banyak, sehingga kelopak matanya tak mampu lagi membendung. Air mata itu pun tumpah. Saat wajahnya ditundukkan, dia lepaskan tangis itu, sesenggukan bagai bocah.
"Maaf, sudah lama saya tidak menangis," kata Lukas sambil mengusap air mata menggunakan ujung lengan panjang kemejanya. "Saat peristiwa pembantaian, saya sedang tidak di Rawagede, tapi di kampung lain di sekitar Karawang. Saya baru tahu pembantaian itu keesokan harinya," ujar Lukas.
Lukas mengaku tidak tahu persis alasan Belanda membantai penduduk tak berdosa itu. Namun dia yakin peristiwa amat dahsyat itu disebabkan oleh rasa frustrasi tentara Belanda yang tidak mampu menangkap pasukan pejuang.
"Kadang saya menyesal, mereka menjadi korban pembantaian demi melindungi para pejuang, termasuk saya dan KH Noer Alie," kata Lukas. Kebetulan, kata Lukas, saat itu daerah sepanjang rel kereta api yang membentang dari Karawang, Rawagede, hingga Rengasdengklok menjadi basis pertahanan pejuang.
Setelah Agresi Militer Belanda I pada 21 Juli 1947, Kapten Lukas Kustario dan Noer Alie sama-sama menempatkan pasukannya di Karawang dan sekitarnya. Namun, secara alami, mereka berbagi wilayah operasi gerilya.
Lukas memegang wilayah dari Rengasdengklok, Rawagede, Karawang, ke selatan hingga hutan Kamojing. Adapun Noer Alie (Pimpinan Umum Markas Pusat Hizbullah-Sabilillah Jakarta Raya) dari Karawang ke utara, membujur dari Rawagede, Rengasdengklok, Batujaya, hingga Pakis.
"Semua pejuang berpakaian seperti rakyat. Tak ada yang berani menggunakan pakaian dan uniform TNI, karena Karawang-Bekasi sudah dikuasai Belanda sejak Agresi Militer Belanda I," kata Lukas.
Anak pertama Lukas, Lusiati Kushendrini Purnomowati, ingat ia pernah mendengar cerita tentang kejelian dan kelicinan ayahnya itu dari neneknya, Darsih. Ketika itu, kata Lusi, beberapa pekan menjelang peristiwa Rawagede, Lukas tengah berada di rumahnya di Cikampek bersama istrinya, Sri Soesetien, serta mertuanya Soekirno dan Darsih.
Tiba-tiba di depan rumah sudah berdiri sepasukan tentara Belanda. "Hati-hati, Belanda," kata Darsih Âmembisiki Lukas. Lukas yang masih mengenakan celana kolor, kaus singlet, dan kepala dililit handuk, tenang saja.
"Di mana Lukas?" kata seorang tentara Belanda kepada Lukas. Lukas pun menjawab santai, "Oo, enggak tahu, barangkali di sana." Begitu Belanda menjauh, Lukas segera berganti pakaian. "Langsung berangkat," katanya. Lukas bertemu dengan keluarganya kembali menjelang hijrah ke Yogyakarta pada Februari 1948.
 Anak buah Lukas, Letnan Dua (Purnawirawan) TNI Soepangat, mengungkapkan, Komandan Batalion I Mayor Sudarsono sengaja menempatkan pasukan Lukas di Karawang yang "panas" karena cocok dengan karakter Lukas yang pemberani dan cekatan.Â
Saat bertempur, Lukas selalu berada di posisi depan anak buahnya. Di sampingnya ada dua anak buah. Satu orang memegang bren, satu orang lagi memegang peluru. Saat berhadapan dengan musuh, kata dia, Lukas melakukan penembakan menggunakan bren yang telah tersedia di sisinya. Saking sulitnya Belanda menangkap Lukas, pihak Republik Indonesia menjulukinya sebagai tentara "kelotokan", sedangkan Belanda menjulukinya sebagai "begundal" Karawang-Bekasi.
Perjalanan karier Lukas di ketentaraan bermula dari Madiun, Jawa Timur, pada masa pendudukan militer Jepang 1942-1945. Lelaki kelahiran Magetan pada 20 Oktober 1920 itu menjabat chudancho (komandan seksi) heiho di Madiun. Setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, Lukas dan rekan-rekannya mendatangi markas tentara Jepang untuk meminta senjata.
Mereka dipanggil Presiden Sukarno ke Jakarta untuk menjaga keamanan. Sekitar 120 tentara dari Madiun diberangkatkan menggunakan kereta api pada 26 September dan tiba di Jakarta pada 29 September.
Bentrokan antara pejuang dan tentara Sekutu-Inggris tak terelakkan. Terjadilah pertempuran sporadis, terutama di daerah Senen, Kramat, dan Klender, Jakarta. Sebagian besar pasukan Madiun ditarik ke Surabaya setelah peristiwa 10 November 1945.
Yang tersisa di Jakarta tinggal sekitar 20 orang, yakni Seksi I Lukas Kustario di bawah Komandan Kompi I Banu Mahdi. Selanjutnya Kompi I ditempatkan di bawah komando Resimen VI/Cikampek.
Pada 13 Desember 1945, kota dan kampung-kampung di Bekasi dibom dan dibakar tentara Sekutu-Inggris. Penyebabnya, 26 tentara Sekutu-Inggris yang pesawatnya melakukan pendaratan darurat di Rawagatel, Cakung, pada 23 November, dibunuh oleh para pemuda Bekasi pada awal Desember.
Lukas, yang marah atas tindakan biadab tentara Sekutu-Inggris tersebut, membawa pasukannya dibantu pemuda pejuang Bekasi untuk menyerbu markas Sekutu-Inggris di Cililitan, Jakarta Timur. "Kita bisa menekan moral pasukan Sekutu-Inggris dan Belanda, sehingga mereka tidak bisa keluar dari Cililitan, dan menimbulkan kekalutan mereka," kata Lukas dalam wawancara saya pada 1992 itu.
Dari Bekasi, Lukas dan pasukannya diberi tugas ke Karawang. Di sana Lukas menikah dengan Sri Soesetien, anak Kepala Stasiun Cikampek, Soekirno, pada 15 Oktober 1946. "Kedua orang tua bapak (Lukas), DjojodiharÂdjo dan Prapti Ningsih, beragama nasrani. Saat menikah dengan ibu saya, beliau (Lukas) sudah muslim," kata Lusiati.
Ketangguhan Lukas kembali diuji ketika pasukan Laskar Rakyat Jakarta Raya menyerang TRI di Tambun pada April 1947. Saat perundingan dengan Laskar Rakyat Jakarta Raya mengalami jalan buntu, Batalion I yang dipimpin Lukas bergerak ke Tambun. Lukas berhasil memukul mundur Laskar Rakyat Jakarta Raya.
Sebagian pemimpin Laskar Rakyat bergabung dengan tentara Belanda di Jakarta. Lukas merasa kecewa tatkala tentara di bawah kepemimpinan Perdana Menteri Amir Sjarifuddin memerintahkan batalionnya bersama batalion Supriyatna dan batalion Sumantri agar pindah ke Tasikmalaya.
Sebagai gantinya, ditempatkan Batalion Beruang Merah dari Tasikmalaya. Namun pertahanan Beruang Merah di Tambun amat lemah, sehingga sangat mudah ditaklukkan Belanda saat Agresi Militer pada 21 Juli 1947. Pertahanan Republik pun beset hingga Karawang dan Cirebon.
Untuk merebut pertahanan yang sudah dikuasai pasukan Belanda, Divisi Siliwangi melakukan konsolidasi. Lukas dan kawan-kawannya pun dikembalikan ke Karawang-Bekasi.
Selain melakukan perang gerilya, mereka membentuk pemerintahan sipil, untuk menandingi pemerintahan bentukan Belanda. Dampaknya, moral pasukan dan penduduk kembali bangkit.
Watak agresif dan berani pula yang membuat Lukas kerap berhasil melumpuhkan lawan. Sebagai contoh, kata Soepangat, sebelum kembali ke Karawang-Bekasi pada Oktober-November 1947, Batalion I melumpuhkan pasukan Belanda dalam perjalanan dari Tasikmalaya, Sumedang, Subang, Purwakarta, hingga Cikampek.
"Nah, yang bisa menghancurkan panser Belanda itu, ya, kompi Lukas. Itu sebabnya, Belanda amat mengenalnya," ujar Soepangat. Makanya, begitu Lukas ditempatkan di Karawang, komandan "begundal" ini membikin gerah tentara Belanda.
Buktinya, ujar Soepangat, Belanda banyak kehilangan senjata dan pasukan dalam aksi-aksi gerilya yang dipimpin Lukas. Perang gerilya yang diajarkannya adalah, "Sekali serang, dua kali tembak, tiga kali hilang," katanya. "Umpamanya saya pegang pistol, ketemu Belanda. Setelah kita tembak, kita ambil senjatanya, lantas kita menghilang. Itu tiap hari kejadiannya. Ini yang membuat nama Lukas kesohor," Soepangat menambahkan.
Berbagai cara dilakukan Belanda untuk memburu Lukas, tapi lelaki dengan tinggi badan 160 sentimeter itu bermata dan berotak jeli bagai elang dan licin bagai belut. Dia selalu lolos dalam setiap penyergapan.
Selain pandai mengecoh lawan, Lukas dikenal mampu menjalin hubungan erat dengan semua komponen pro-Republik Indonesia. Dalam menjalankan aksi gerilyanya, Lukas selalu berkoordinasi dengan rekan-rekannya, seperti Kapten Mursjid sebagai Komandan Kompi II bergerak di Gunung Sanggabuana dan Kapten Kharis Suhud, Komandan Kompi III di Kedung Gede hingga Cibarusah.
Lukas mengakui perjuangannya yang cenderung mulus juga berkat hubungan yang erat antara dirinya dan gerilyawan lain dari badan-badan perjuangan, jawara, bandit, rampok, hingga rakyat jelata.
"Saya menyatukan (semua komponen), jangan sampai perang saudara. Sebagian besar tidak menolak, karena tujuannya melawan Belanda," kata Lukas kepada saya. "Pasukan KH Noer Alie membantu. Mereka kasih makan, penunjuk jalan. Kalau saya mau mundur ke mana, semua diatur Pak Kiai," tambahnya.
Pada saat Divisi Siliwangi hijrah dari Jawa Barat ke Yogyakarta dan Jawa Tengah sejak Februari 1948, Lukas yang naik pangkat menjadi mayor dan naik jabatan sebagai Komandan Batalion 4 Tajimalela, kembali menunjukkan kebolehannya.
Selain memberantas pemberontakan PKI di Madiun, Lukas kerap memukul mundur pasukan Belanda. Ketika itu, pada Desember 1948, tentara Belanda dari Batalion 3-11 RI Brigade W/Divisi B yang bergerak dari Banyumas hendak merebut Banjarnegara, tapi dihentikan dan dipukul mundur oleh Lukas.
Sekembali di Jawa Barat pada 1949, Lukas yang cinta Negara Kesatuan Republik Indonesia "memerangi" para kolaborator Belanda yang bergabung dalam Negara Pasundan dan Federal Jakarta.
Salah satu caranya, dia bersama KH Noer Alie menggelar apel akbar di Alun-alun Bekasi pada 17 Januari 1950. Hasilnya, Bekasi memisahkan diri dari Jakarta, untuk selanjutnya bergabung ke dalam NKRI. Langkah ini diikuti Tangerang dan Bogor.
Saat memperkuat pemerintahan sipil di Jakarta dan sekitarnya, pada November 1950, Mayor Lukas ditugaskan ke Maluku untuk memberantas pemberontakan Republik Maluku Selatan yang dipimpin mantan Jaksa Agung Negara Indonesia Timur, Dr C.R.S. Soumokil.
Lukas kembali tersohor berkat kesuksesannya merebut Benteng Victoria dan menduduki sebagian besar Ambon pada 3 November. Lukas mengamuk bagai Rambo begitu mendengar Komandan Operasi Maluku Selatan, Letnan Kolonel Ign Slamet Rijadi, gugur. "Bakar semuanya!" ujar Soepangat, mengenang perintah Lukas. Kota Ambon menjadi api unggun raksasa dalam waktu singkat. RMS pun takluk.
Setelah kembali ke Jakarta pada awal 1951, Lukas menjadi Komandan Batalion "K" Brigade 20. Kali ini dia bertugas memberantas gerombolan liar yang kerap merampok dan membakar rumah penduduk di Bekasi, Cileungsi, dan Cibarusah.
Tentu saja Lukas tidak kesulitan, karena para gerombolan yang terdiri dari bekas pejuang dan perampok adalah orang-orang yang dia kenal baik pada masa perang kemerdekaan. Hasilnya, seperti dikutip koran Pemandangan, 24 Februari 1951, "Sekitar dua seksi pasukan gerombolan berhasil dipengaÂruhi tentara."
Ketika asyik di ketentaraan, Lukas diajak oleh mantan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Kolonel A.H. Nasution mendirikan organisasi politik Ikatan Pendukung Kemerdekaan Â(ÂIPÂ-KI). Organisasi yang didirikan para tentara pada 20 Mei 1954, itu meraih empat kursi di parlemen dalam pemilihan umum 1955.
Lukas pun menjadi anggota DPR dari Fraksi IP-KI, bersama-sama Letnan Kolonel Daeng, Mayor Katamsi, dan Kolonel Gatot Soebroto. Sejak saat itulah Lukas menetap di Cipanas, Cianjur.
Gatot Soebroto, yang kemudian menjadi Wakil KSAD, digantikan Kolopaking, sedangkan Nasution terpilih untuk anggota Konstituante di Jawa Tengah. Belakangan, Nasution diminta kembali oleh Presiden Sukarno untuk menjabat KSAD.
Lukas dan tentara yang duduk di IP-KI kecewa dengan sepak terjang Nasution. Pasalnya, Nasution bukan hanya meninggalkan IP-KI, tapi juga memusuhi sejumlah tentara pendiri IP-KI. "Rupanya, mendirikan IP-KI untuk menyelamatkan dirinya sendiri," kata Lukas.
Itu sebabnya, Lukas mengaku kapok bila diajak mendirikan organisasi apa pun oleh Nasution. "Saya langsung menolak ketika Nasution mengajak bergabung di Petisi 50," katanya.
Ketika tak lagi berpolitik, Lukas kembali mengabdi sebagai tentara. Kali ini, pada awal 1960-an, sebagai Komandan Seksi Teritorial di Markas Divisi Siliwangi. Pada masa Orde Baru, Lukas dan para jenderal Siliwangi yang kritis terhadap pemerintahan Soeharto dipinggirkan.
Sementara sebagian rekannya bergelimang harta dan jabatan, pada hari tuanya, Lukas, yang berpangkat brigadir jenderal purnawirawan, lebih banyak mencurahkan waktunya untuk menyambangi orang-orang yang pernah bersinggungan dengan dirinya sejak masa perang kemerdekaan, dan berbaur dengan warga sekitar Cipanas.
Untuk mengenang peristiwa Rawagede, hampir setiap tahun Lukas bersama rekan-rekannya menjenguk serta menyantuni para keluarga korban pembantaian di Rawagede. "Kami juga membikin monumen di Rawagede, agar sejarahnya tidak dilupakan generasi muda," ujar Lukas pada 1992 itu.
Tak aneh kalau pada era 1980 hingga 1990 rumahnya selalu didatangi para veteran, mantan jawara, mantan perampok, aktivis pemuda, peneliti, hingga mahasiswa yang sedang menulis skripsi. "Bapak rajin ke Bekasi, Karawang, Cikampek, termasuk ke Rawagede dan Batalion 202/Tajimalela di Bekasi," kata putra kedua Lukas, Bambang Rilaksana Susetia.
Jenderal "kelotokan" dan "begundal" Karawang-Bekasi itu wafat di Cipanas, Cianjur, pada usia 77 tahun, 8 Januari 1997. Ribuan orang dari berbagai kelompok dan kelas yang melayat, menangisinya. Warga Cipanas, yang mengenalnya sebagai jenderal yang ramah dan bersahaja, mengikhlaskan jalan-jalan utama mereka macet total. Para pedagang rela menutup tokonya seharian.
Saking mengagumi dan menghormati keteguhan Lukas, sampai-sampai mereka menyiapkan tiga liang lahat, yakni di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta; Gunung Kasur, Cianjur; dan Taman Makam Pahlawan Kusuma Bangsa Cianjur di Cipanas.
Akhirnya, keluarga memutuskan memakamkannya di Taman Makam Pahlawan Kusuma Bangsa yang terletak di belakang Istana Negara Cipanas. Sehari setelah mendengar kabar Pengadilan Den Haag, Belanda, memenangkan para janda korban pembantaian Rawagede, keluarga berziarah ke makam Lukas. "Pak, berhasil sudah perjuangan Bapak," ujar Lusiati.
Ali Anwar
Balada Janda Rawagede
Suara tembakan dan jerit kesakitan masih menggema keras dalam ingatan Nek Cawi, Nek Lasmi, Nek Wanti, Nek Tijeng, serta para janda korban pembantaian lain. Rentang waktu 64 tahun tak mampu menghapus peristiwa pilu yang telah merenggut nyawa keluarga mereka itu.
Pada pertengahan September 2011, melalui Komite Utang Kehormatan Belanda dan Yayasan Rawagede, tuntutan mereka beserta janda lainnya dimenangkan pengadilan sipil Den Haag. Pemerintah Belanda dinyatakan bersalah dan wajib membayar kompensasi.
Apakah kompensasi itu bakal mereka terima secepatnya? Nek Cawi dan janda-janda tragedi Rawagede sangat berharap uang itu bisa mengalir hingga ke anak-cucu. Harapan mereka, pemerintah Indonesia bisa menjaga agar dana tersebut berjalan lancar dan diberikan kepada mereka secara utuh.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo