BANYAK yang terkesima, tatkala sebuah prototip mesin gasifikasi diperagakan di tengah peserta Konperensi Gasifikasi Internasional ke-2, yang ditutup di Jakarta, 23 Maret lalu. "Penemuan yang menarik," ujar Dr. Bjorn Kjellstrom, sekretaris eksekutif komite penghasil gas (TPGRT), yang bermarkas di Institut Beijer, Akademi llmu Pengetahuan Kerajaan Swedia, Stockholm. Konperensi itu sendiri, yang berlangsung di Bandung dan dihadiri 90 ahli gasifikasi dari 39 negara, merupakan kerja sama ITB dan TPGRT. Mesin gasifikasi berskala kecil ini menggunakan bahan baku sekam padi, material yang masih dipandang kontroversial oleh sebagian ahli gasifikasi. Bahkan A. Kaupp, ahli gasifikasi AS, dalam disertasinya pada 1983 menyatakan, sekam padi mustahil dipakai dalam konsep mesin gasifikasi unggun bergerak berskala kecil. Kaupp merinci sifat khas sekam padi, yang menimbulkan faktor penghambat. Antara lain kecilnya ukuran partikel sekam padi, yang mengakibatkan tldak meratanya distribusi oksigen. Kemudian lambatnya aliran unggun karena kerapatan yang rendah. Lalu, terjadinya pelelehan abu, juga oleh buruknya distribusi oksigen. Dan terakhir, pembakaran yang terjadi secara terbatas, serta sulitnya perancangan sistem pengambilan abu yang bekerja secara kontinu. Faktor hambatan tadi ternyata bisa diatasi Robert Manurung, 30, perancang mesin gasifikasi berskala kecil, dengan kapasitas reaktor 10 kg-25 kg sekam per jam itu. Robert, lulusan teknologi kimia ITB, 1978, itu memulai penelitian nya dua tahun lalu, sem6ari menyiapkan disertasi untuk Sekolah Tinggi Teknik Twente, Enschede, Negeri Belanda. Mengapa memilih sekam padi? "Penelitian saya bertujuan mendapatkan mesin gasifikasi yang murah, mudah dioperasikan, terutama di pedesaan, dengan penggilingan padi yang umumnya berkapasitas satu ton beras per jam," kata Robert kepada Farid Gaban dari TEMPO. Menurut sebuah penelitian di Indonesia tersebar lebih dari 20 ribu penggilingan padi. Tahun lalu, limbah sekam mencapai 10,16 juta ton - 10% dari produksi sekam padi dunia. Dan baru sejumlah kecil yang digunakan untuk memasak, membakar batu bata, atau menjadi ramuan makanan ternak. Sedangkan sisanya justru dibakar begitu saja. Pada dasarnya, setiap mesin gasifikasi terdiri dari reaktor dan unit pemurnian gas. Di dalam tabung reaktor, biomassa umpan mula-mula dikeringkan, lalu diuraikan menjadi tar, arang atau abu, dan gas. Massa ini terus bergerak ke bawah, ke bagian tabung yang menyempit, yang biasa disebut "tenggorokan". Di sinilah 2 dari udara diinjeksi kan, setelah melalui blower. Injeksi 2 ini memungkinkan terjadinyaproses pembakaran. Bereaksi dengan tar, terbentuklah gas CO dan H2. Dengan arang (C) terbentuk CO2, yang sebagian, kemudian, bereaksi lagi dengan 2- dan membentuk gas CO. Reaksi yang melepaskan panas ini disebut reaksi eksoterm, dan panas yang ditimbulkan bisa mencapai 1.400C. Keluar dari "tenggorokan", unggun mengalami proses reduksi. Sebagian besar gas-CO2 diubah menjadi CO, yang bisa terbakar. Pada reaksi endoterm ini, dengan suhu di atas 900C, lebih dari 90% CO2 diubah menjadi CO. Reaksi reduksi yang lain terjadi antara H2O, yang lepas pada proses pengeringan, dan arang. Dari proses itu terbentuklah gas CO dan H2, yang keduanya bisa terbakar. Di unit pemurnian, zat pengotor dipisahkan dari gas. Bagian penting unit ini meliputi siklon, pendingin dan pencuci, serta penyaring (filter). Abu dan arang dipisahkan di dalam siklon. Gas yang masih panas kemudian didinginkan, sehingga sebagian besar pengotor dikondensasikan dan memisah. Gas, yang mungkin masih mengandung pengotor, kemudian dillntaskan pada filter. Dari situlah didapatkan gas yang siap digunakan sebagai bahan bakar motor. Pada mesin rancangan Robert, pada prinsipnya "tenggorokan" tidak ada. "Untuk melancarkan aliran sekam," kata staf peneliti pada Lembaga Penelitian ITB itu. Berbeda dengan desain konvensional, ia juga membuat bagian atas reaktor terbuka, untuk mencegah pemanasan lokal dan meratakan distribusi oksigen. Kemudian, ia melengkapi reaktor dengan slstem pembuangan abu yang bekerja kontinu. Semua itu untuk menjawab faktor hambatan yang disimpulkan Kaupp. Nilai kalor gas yang keluar dari mesin rancangan Robert ini berkisar antara 4.370 dan 4.770 kJ/Nm3 (kilo Joule/normal meter3). "Artinya, memenuhi syarat sebagai gas yang baik," kata Robert, yang meraih gelar Master dari jurusan teknologi energi, Institut Teknologi Asia, Bangkok, 1981. Gas bakar yang baik disyaratkan memiliki nilai kalor di atas 4.000 kJ/Nm3. Dalam hitungan sederhana, mesin ini menghasilkan listrik 1 kWh dengan sekam 2,5 kg. Dari menggiling 1 ton padi, misalkan terkumpul 290 kg sekam, bisa dihasilkan 116 kWh. Padahal, untuk menggiling I ton padi itu hanya dibutuhkan 25 kWh. Efisiensi seperti ini memungkinkan terjadinya "siklus energi tertutup" pada usaha penggilingan padi. Teknologi gasifikasi sendiri sebetulnya bukan hal baru. Malah sudah muncul sejak awal abad ini. Tetapi, "Kini, teknologi itu seperti baru layaknya," ujar Prof. Dr. Saswinadi Sasmojo, kepala Lembaga Penelitian ITB, tuan rumah konperensi gasifikasi internasional lalu. Soalnya, para perintis teknologi ini banyak yang sudah meninggal, tanpa mewariskan rujukan. Kemudian, dengan boom minyak, gasifikasi seperti terlupakan. Di antara negara peserta konperensi, KjelIstorm menilai, Indonesia mungkin paling maju dalam penelitian gasifikasi sekam. RRC memang sudah memasang dua mesin gasifikasi jenis ini di Mali. Sayang, perbandingannya sulit dilakukan karena seretnya informasi dari negeri itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini