Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Semangat bandung dari beijing

Mao berusaha menghimpun semua negara melawan Hegem Uni Soviet. Penerusnya berprinsip hidup berdampingan secara damai. Situasi ini diperlukan RRC untuk melancarkan empat modernisasi. (kl)

6 April 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RENCANA memperingati Konperensi Bandung akan menghangatkan kembali solidaritas Asia-Afrika yang digalang 29 negara baru merdeka 30 tahun lalu. Tapi yang paling menarik perhatian adalah pernyataan Menlu Mochtar bahwa RRC akan diundang ke peringatan itu. Jawaban dari Beijing pun cukup cepat. Seorang juru bicara deplunya mengatakan, pemerintahnya akan "mempertimbangkan secara positif" undangan itu. Dalam bahasa biasa, itu berarti menerima dengan baik. Kabar terakhir malah mengatakan, Beijing akan mengutus Menlu Wu Xueqian. Kalau itu kejadian, Wu merupakan pejabat eselon tertinggi RRC pertama yang berkunjung ke Indonesia sejak hubungan diplomatik dibekukan pada 1967. Dipandang dari sudut RRC, kumpul-kumpul memperingati Konperensi Bandung sangat berguna. Itu akan dimanfaatkannya buat mempertunjukkan jurus-jurus baru politik luar negerinya. Sejak negara raksasa komunis itu keluar dari isolasi Revolusi Kebudayaan di awal 1970-an, telah beberapa kali ia mengubah manuver diplomasinya. Yang paling penting tentu saja keluarnya Teori Tiga Dunia-nya Mao. Ia mencoba menghimpun semua negara buat melawan "hegemonisme Soviet" dan "imperialisme Amerika'5. Tapi, dengan penyerbuan Soviet ke Afghanistan dan pendudukan Vietnam atas Kamboja yang disponsori Soviet, muncullah kecenderungan Beijing untuk bersekutu dengan Amerika. Tak heran kalau wawancara Deng Xiaoping dengan majalah Time pada awal 1979 terang-terangan mengajak Amerika dalam satu front persatuan melawan "kaum hegemonis". Teori Tiga Dunia jarang lagi terpampang di dalam media massa atau keluar dari mulut para pemimpin Cina. Begitu antinya RRC terhadap Uni Soviet, sehingga banyak ahli strategi Barat ikut hanyut. Mereka menyebut Cina "anggota ke-16 NATO" atau "sekutu paling dipercaya dalam menghadapi Uni Soviet". Tapi kecenderungan itu pun tidak berlangsung lama. Sejak kuartal pertama 1982, PM Zhao Ziyang mendengungkan kembali pentingnya persatuan dengan Dunia Ketiga dalam melawan hegemonisme dan mempertahankan perdamaian dunia. Tak lama kemudian Zhao mengeluarkan pernyataan menyerang kedua adidaya (superpowers) yang selalu berusaha "menguasai, mensubversi, dan menyerang negara-negara lain". Dari sini keluarlah kebijaksanaan baru: menjaga jarak dari kedua adidaya. Haluan baru itu kemudian dijelaskan oleh ketua PKC Hu Yaobang dalam pidato laporan di muka Kongres PKC ke- 12, September 1982. Menyinggung kebijaksanaan luar negeri, Hu menekankan pentingnya prinsip koeksistensi - yang antara lain mendasari Semangat Bandung - sebagai prinsip dasar hubungan Cina dengan negara-negara lain. Ia pun memberi catatan bahwa "halangan utama" terhadap prinsip itu datang dari "imperialisme, hegemonisme, dan kolonialisme". Pencampakan ikatan terlalu erat dengan Washington diimbangi pula dengan pernyataan akan pentingnya menjaga persahabatan dengan Moskow, "bagaimanapun keadaannya sekarang". Sejak Kongres ke-12 itu, media massa Beijing penuh dengan retorik lima prinsip sebagai asas polltik luar negeri. Bahkan dalam mengutarakan hubungan-dengan Moskow. Apakah di balik langkah baru itu? Untuk melancarkan Empat Modernisasi, RRC memerlukan situasi internasional yang tenang dan damai. Para pemimpinnya mungkin juga mengakui, secara ekonoml dan militer RRC masih lemah. Karenanya, harus mengulur waktu untuk membangun suatu kekuatan militer yang bakal tangguh melawan ancaman luar. Politik konfrontatif, baik terhadap Amerika maupun Soviet, cuma akan merintangi kelancaran Empat Modernisasi. Kemungkinan lain adalah kekecewaan Beijing atas kebijaksanaan Taiwan pemerintahan Reagan yang tidak jelas. Di samping kemungkinan mereka menyadari bahwa untuk pertama kalinya - sejak awal 70-an - Moskow tak berhasil berada di atas angin dalam bidang militer dan pengaruh. Itu disebabkan oleh para penguasa Washington yang sekarang banyak menitikberatkan pada pembangunan militer. Tampilnya Almarhum Zhou Enlai dalam Konperensi Bandung April 1955 menandakan babak baru kebijaksanaan luar negeri RRC. Bersama tokoh-tokoh netralis lain, ia menjadi pendorong lahirnya koeksistensi secara damai. Atas dasar itulah, tak lama kemudian, Jakarta dan Beijing menjalin hubungan erat. Kehadiran Wu dalam peringatan konperensi itu merupakan peluang baik bagi RRC untuk mendengungkan kembali prinsip koeksistensi itu. Spekulasi besar dengan kemungkinan kehadiran Wu adalah perbaikan hubungan Jakarta-Beijing. Banyak yang menduga, itu merupakan tahap awal ke arah pencairan dan normalisasi. Apakah Wu akan mengulangi sukses Zhou?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus