AKHIRNYA Sudomo ikut bicara perL- kara robot. Di depan wartawan, pekan lalu, menteri tenaga kerja itu mengungkapkan kerisauannya melihat barang mutakhir yang satu ini. "Bukannya anti kehadiran teknologi maju di Indonesia," kata Menteri. Tetapi, "Teknologi yang kita inginkan adalah teknologi yang menciptakan, bukan menutup, lapangan kerja." Bisa dimaklumi: di perusahaan elektronik Fairchild di Cibubur, konon, 560 karyawan sedang terancam digusur oleh sepasukan robot. Robot memang mulai menimbulkan perkara. Benda otomatis ini tiba-tiba berubah menjadi ancaman, terutama untuk negeri sedang berkembang. Di Eropa, misalnya, keuntungan yang selama ini dikeduk beberapa negeri "di bawah angin" dari memasarkan busana kodian dengan harga bersaing mungkin segera berakhir. Sebab, robot dan komputer mulai mencampuri industri pakaian jadi di negara maju itu. Menurut perkiraan sementara, otomatisasi di bidang produksi pakaian jadi akan menyingkat waktu 50%, dan menjanjikan penghematan luar biasa. Karena itulah, Jepang tidak ragu-ragu menanamkan US$ 60 juta untuk riset dan pengembangan otomatisasi industri pakaian jadinya. Pabrik pertama, yang sepenuhnya otomatis, direncanakan sudah mulai beroperasi pada 1989. Sementara itu, Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE) tidak mau ketinggalan. Mereka mencadangkan US$ 26 juta untuk tujuan yang sama. Di antara anggota masyarakat industri Eropa, Inggris tampaknya berdiri di depan. Dengan industri tekstilnya yang termasuk besar, negeri ini juga menjadi pembeli 10% dari seluruh mesin gunting otomatis yang diproduksikan dunia. Sampai saat ini, otomatisasi masih memberikan dampak berbeda pada tiap tahap dasar produksi pakaian jadi. Tahap itu dimulai dari perancangan desain, pembuatan pola pengguntingan kain, dan penjahitan. Perancangan desain dan penjahitan, hingga sekarang, masih dianggap memerlukan sentuhanmanuslawi. Masalah yang dihadapi otomatisasi desain pakaian jadi ialah pencitraan realistis dan tiga dimensional di layar komputer. Di bidang industri lain, seperti baja dan barang kimia, kendala ini sudah teratasi. Bahkan perusahaan sepatu Clarks, Inggris, dalam waktu singkat mendatang akan mulai mendesain sepatunya dengan bantuan komputer. Tapi pada industri pakaian jadi, bahan baku ikut mempersulit keadaan. Belum ada komputer yang secara tepat mempelajari jatuhnya sutera di atas lekukan tubuh seorang wanita, misalnya. Percobaan memang sudah dilakukan. Antara lain oleh Gerber Scientific dari Connecticut, AS, yang mengaku sudah membuat prototip komputer jenis itu, dan mengharapkan bisa melemparnya ke pasar dalam waktu singkat. Gerber telah menemukan sistem penggambaran pola dan pemotongan bahan pakaian yang ditunjang komputer. Sistem ini mula-mula membuat pola standar. Kemudian, dengan bantuan komputer, secara otomatis pola standar itu bisa dikembangkan ke dalam pelbagai ukuran dan modifikasi model. Kini, penemuan yang paling diidamkanialah robot yang mampu memegangi selembar kain halus dengan erat, tetapi juga luwes. Otomatisasi yang memuaskan barulah dalam mengantarkan potongan-potongan pakaian ke meja penjahit, yang masih ditongkrongi para tukang. Perusahaan Swedia, Eton, mengembangkan sistem ini sejak akhir 1970-an. Tahun lalu, mereka melengkapi sistem ini dengan mulai melibatkan komputer. Pabrik Singer Amerika juga sedang mengembangkan mesin jahit yang dikontrol mikroprosesor. Tetapi, "lengan" mesin ini baru mampu melayani jahitan sederhana. Harganya sekitar Rp 40 juta. Sementara itu, Austria juga sedang berusaha mendesain robot dan komputer penjahit. Bila semua ini berhasil, akan merupakan kabar buruk bagi industri pakaian jadi di negeri berkembang. termasuk Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini