Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Bandung - Tsunami yang terjadi di Teluk Palu berasal dari beberapa arah pasca gempa kuat bermagnitudo 7,4 pada 28 September 2018. Peneliti dan ahli tsunami dari Institut Teknologi Bandung Hamzah Latief mengatakan ada tsunami besar dan kecil atau lokal yang terjadi. “Penduduk lihat arah tsunami, minimal ada dua gelombang dari arah berlawanan,” katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca: Pakar ITB Pastikan Tsunami Palu Akibat Longsoran Endapan
Baca: Ada 2 Dugaan Penyebab Tsunami Palu: Longsor Bawah Laut dan...
Baca: Begini Penampakan Kota Palu Sebelum dan Setelah Tsunami
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tsunami ada yang disebabkan langsung oleh deformasi batuan ketika diguncang gempa kuat, dan ditambah pula akibat longsoran material sedimen yang berguguran ke dasar teluk. Hamzah meyakini deformasi akibat gempa bumi tidak mampu membangkitkan tsunami setinggi hasil pengukuran, sehingga kemungkinan besar ada pengaruh akibat longsoran, juga adanya tsunami lokal.
Di acara diskusi terbuka gempa Lombok dan Palu di Aula Timur ITB, Selasa, 23 Oktober 2018, ia yakin di dalam teluk ada tsunami begitu gempa 7,4. “Kesimpulan sementara tinggi tsunaminya 3-4
meter di atas muka tanah berdasarkan pengukuran, di lokasi lain ada yang lebih tinggi lagi,” katanya. Jarak rendaman air lautnya mencapai 200-300 meter dan cepat surut.
Selain itu, ada longsoran material sedimen di sekitar teluk sepanjang 30 kilometer dan lebar 7 kilometer itu yang berperan dalam kejadian tsunami. Bukti awalnya dari rekaman video publik yang beredar di Internet.
Air yang masuk ke daratan terlihat berwarna keruh, yang berarti ada sedimen atau
endapan yang jatuh ke laut. “Dugaan adanya longsoran terbukti dari pola pergerakan gelombangnya,” kata Hamzah.
Anggota tim Pusat Studi Gempa Nasional (Pusgen) itu ketika melakukan survei lokasi pada 9-13 Oktober lalu, mendapatkan setidaknya empat lokasi titik longsoran, yaitu di Talise, Tondo Taipa, Donggala, dan Balaesang.
Tsunami lokal akibat longsoran datang lebih cepat karena sumber gelombang naiknya lebih dekat. Di Talise, material longsoran seperti dari lokasi reklamasi pantai. “Waktu tsunami 3 menit 40 detik, ada yang bilang juga begitu goyang (gempa) airnya sudah naik,” kata Hamzah.
Bahkan muncul istilah baru dari warga, yaitu air lompat. Gelombang airnya pendek dan terjadi cipratan saat air menabrak benda, kata Hamzah, tapi tidak terus-terusan seperti tsunami biasanya. Gelombang tsunami menurut kesaksian warga juga bukan hanya dari arah utara, tapi juga dari timur.
Bukti lain seperti naiknya kapal di Wani ke daratan dermaga. Jaraknya dari bibir laut berkisar 1-1,5 meter. Kondisi itu, menurutnya, menggambarkan gelombang tsunami yang terjadi di lokasi itu tergolong pendek. Berbeda dengan di Aceh, kata Hamzah, gelombang tsunami bisa membawa kapal jauh masuk ke daratan.
Temuan tim BMKG di lapangan menambah data tsunami gempa Donggala. Menurut Sugeng Pribadi, Kepala Sub Bidang Manajemen Operasi Gempa Bumi BMKG, titik longsoran berada di Donggala, Lolisaluran, Silae, Palu, Talise, Tondo, juga Mambaro.
Timnya berada di Sulawesi tengah selama enam hari sejak tiga hari pasca gempa. Fokus pada survei tsunami, tim mengukur dari bibir pantai sampai genangan terjauh. “Kita dapatkan tinggi tsunami maksimal 11,3 meter,” katanya di Bandung, Selasa, 23 Oktober 2018.
Tim Sugeng mendapat 26 titik tsunami di sekitar Teluk Palu. Hempasan terjauh di area Hotel Mercure hingga 468 meter.
Berdasarkan kronologi versi BMKG, peringatan tsunami keluar lima menit pasca gempa. Taksirannya tergolong level siaga dengan ketinggian 0,5-3 meter dan tiba pukul 18.22 WITA.
ANWAR SISWADI