DALAM proses penyedotan minyak bumi, sering terdapat gas ikutan.
Dulu gas ini selalu dibakar, dianggap tak berguna. Sekarang
disadari bahwa gas ikutan itu punya potensi ekonomis. Misalnya,
di Pulau Bunyu, ladang minyak sebelah utara Tarakan, Kalimantan
Timur, yang diolah Pertamina, gas itu kini dicalonkan sebagai
bahan baku untuk pembuatan metanol. Proyek ini mendapat
prioritas dalam Repelita III. Direncanakan kapasitasnya 1.000
ton metanol sehari.
Menteri Pertambangan dan Energi, Soebroto, mengungkapkan bahwa
pembangunannya diserahkan kepada perusahaan Lurgi Gesselschaften
dari Jerman Barat. Perusahaan itu menggunakan proses pembuatan
metanol yang dikenal sebagai proses Lurgi. Dalam penilaian
pemerintah Indonesia, proses Lurgi ini lebih unggul dibanding
proses ICI yang pernah ditawarkan oleh Davy International Gas &
Power Company dari Inggris.
Metanol merupakan bahan baku penting bagi industri petrokimia.
Hampir separuh produksi metanol di dunia dijadikan formaldehida
yang -- bila direaksikan dengan fenol, urea atau melamina --
menghasilkan berbagai damar sintetis untuk perekat. Dengannya
dibuat pula berbagai jenis pelarut dan serat sintetis seperti
poliester dan polivinilasetat. Juga metanol punya potensi
penting sebagai bahan bakar langsung atau diubah menjadi bensin.
Dua proses pembuatan metanol yang kini menonjol di dunia. Yaitu
proses Lurgi, yang dikembangkan di Jerman Barat dan proses ICI
(Imperial Chemical Industries) yang dikembangkan di Inggris.
"Pada prinsipnya kedua proses itu sama," ujar Prof. Dr. Ir.
Andreas Kho, Gurubesar Ilmu Kimia di ITB. Ia juga mengetuai
suatu tim yang menilai proyek metanol di Bunyu itu.
Sejak tahun 60-an, proses sintesis metanol dengan uap air
(steam) bertekanan tinggi diganti dengan proses bertekanan
rendah. Dalam tahap pertama proses itu, gas alam direaksikan
dengan uap air hingga menghasilkan gas sintesis (CO2H2). Ini
direaksikan lagi dalam sebuah reaktor dengan uap air bertekanan
40 sampai 100 atmosfir dan zat katalis berdasarkan tembaga. Gas
sintesis itu kemudian berubah menjadi metanol (CH30H). Hasil
reaksi itu mengandung sekitar 5-6% metanol yang dipisahkan
dengan cara kondensasi. Sisa gas yang belum bersintesa,
dikembalikan lagi ke dalam reaktor, mengulang proses tadi,
Karena kedua proses pada dasarnya sama, jelas yang dipilih
proses yang paling efisien, "yang menggunakan paling sedikit gas
alam per ton metanol," jelas Prof. Kho.
Menurut N.S. Maggs dari Davy International, dilihat dari jumlah
gas alam yang dipakai untuk membuat metanol, efisiensi kedua
proses itu hampir sebanding. Meski ia membenarkan bahwa Lurgi
menawarkan suatu proses yang lebih efisien, dinilainya kurang
beralasan untuk menggunakan suatu proses berefisiensi tinggi
yang harganya jelas juga tinggi. "Gas alam di Bunyu relatif
murah," ujar Maggs. "Tidak ada alasan ekonomis untuk mendirikan
proyek berefisiensi tinggi yang mahal."
Cukup Berharga
Prof. Kho menyanggah. "Kalau dibandingkan dengan reaktor ICI
yang digunakan Davy, reaktor Lurgi memang lebih mahal," ujarnya.
Tapi justru karena disain reaktor Lurgi lebih "rumit", kompresor
dan peralatan lainnya lebih kecil dan sedikit. "Karena itu
secara keseluruhan kedua proses itu sama harganya. Ini yang
terpenting." Menurut Kho, harga pabrik masing-masing yang
ditawarkan itu berkisar US$ 225 juta (Rp 140,6 milyar) sampai
US$ 230 juta (Rp 143,7 milyar). "Jadi sama! Kalau tidak sama,
ada kemungkinan pemerintah juga pikir-pikir."
Harga gas alam di Indonesia? "Kalau diperhitungkan nilai
kalorinya, ia paling sedikit mesti berharga US$ 4 (Rp 2.500) per
satu juta BTU," ujar Kho. Menurut ahli kimia itu, Davy
mendasarkan penawarannya atas harga US$ 1 (Rp 625). "Di Amerika
sendiri, orang sudah membayar US$ 3« (Rp 2.187,5)." Prof. Kho
yakin bahwa harga gas alam pasti bakal naik, karena itu
beralasan untuk menggunakan proses yang efisiensinya 5 sampai 7
persen lebih tinggi seperti proses Lurgi. "Itu akan menghemat
jutaan dollar US dalam setahun!"
Gas alam di Pulau Bunyu selama ini dianggap tak berharga, bahkan
selalu dibakar. Mau dibuat LNG, misalnya, jumlahnya terlalu
kecil. Namun sebagai bahan baku untuk membuat metanol ia cukup
berharga. Apalagi sejak setahun ini, harga metanol di pasaran
dunia melonjak dari US$ 80 (Rp 50.000) menjadi US$ 200 (Rp
125.000) per ton. "Kemungkinan ini bisa meningkat lagi mencapai
US$ 300 (Rp 187.500)," ujar Kho.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini