RAHAYU Effendy bangkit dari kursi, beralan menghampiri papan
tulis. Di situ tertulis kalimat: "Parfi adalah organisasi
profesi yang anggotanya hanya terdiri dari pemain film . . "
Dengan sebuah penghapus, artis film itu menghilangkan kata hanya
dalam kalimat itu.
Setelah melewati perdebatan melelahkan sekitar dua jam, Sidang
Pleno Kongres VII Parfi, akhirnya sepakat meniadakan kata hanya
itu dalam suatu pasal rancangan Peraturan Dasar dan Rumah Tangga
Parfi 1980. Pemungutan suara yang dilakukan tengah malam 20
Desember itu menunjukkan sebagian besar anggota Parfi tetap
menghendaki perangkapan profesi. Artinya seseorang yang punya
profesi sutradara, produser, manajer maupun juru kamera film
tetap diperbolehkan menjadi anggota Parfi.
Dengan hasil itu, gagallah usaha kelompok generasi muda Parfi --
dimotori Mangara Siahaan dan Ucok Harahap -- yang menghendaki
Parfi sebagai organisasi murni pemain film belaka. Perangkapan
profesi ini oleh anggota Parfi, kata Mangara, menyebabkan pihak
lain kurang memperoleh kesempatan berkarya. Ia menunjuk Sukarno
M. Noor, pemain film, yang merangkap produser dan sutradara.
Dengan membolehkan cara itu, katanya lagi, pemerataan bermain
tak akan tercapai.
Tapi Slamet Rahardjo, pemain dan sutradara, lebih senang
mengajak kelompok muda ini berpikir realistis. Sebab justru
pemain film yang punya kemampuan akting baik, demikian Slamet,
bisa punya profesi rangkap dan menjadi pengurus Parfi. Karena
jumlahnya sedikit, mereka merupakan kelompok elite dan brain
trust Parfi. "Kesimpulannya ialah Parfi belum mungkin menjadi
organisasi murni para pemain film," kata Slamet.
Sesungguhnya sebagian besar anggota Parfi punya profesi
rangkap. S. Bagio dan Diran, misalnya, selain pemain film juga
pelawak. Pemain senior Kusno Sudjarwadi kini berusaha jadi
sutradara. "Kalau sebagai aktor saja, saya masih punya handicap
karena masih sering didikte sutradara," katanya. "Makanya saya
tidak puas bila jadi pemain film belaka."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini