PRODUKSI film Indonesia masih tetap kecil. Tahun 1980, sampai
Oktober, hanya 59 judul. Sedang tiga tahun lalu, puncak produksi
tertinggi 134 judul film. Karena produksi kecil, kesempatan
bermain bagi anggota Persatuan Artis Film Indonesia (Parfi)
tentu berkurang juga. Dalam suasana prihatin itu, jauh dari
gemerlapan suatu pesta, Kongres VII Parfi diselenggarakan (1720
Desember) di Gedung Wanita Nyi Ageng Serang, Jakarta. Secara
resmi pula, kepengurusan Parfi (1978-81) di bawah Ketua Umum
Sukarno M. Noor -- yang penuh pergolakan --menyampaikan kepada
kongres itu seluruh hasil kerja dan pertanggunganjawabannya.
Apa hasilnya? Sejumlah kemajuan dicatat Parfi di bawah
kepengurusan Sukarno. Yang menonjol adalah upayanya memobilisasi
sumber dana untuk mengisi kantung organisasi: Ketika sang ketua
umum pertama kali memasuki kantor Parfi di lantai II Pusat
Perfilman Haji Usmar Ismail, Kuningan, kas organisasi hanya
berisi Rp 500 ribu. Sementara ia diwarisi utang Rp 1 juta.
Dalam usaha menanggulangi krisis itu, misalnya, Sukarno kemudian
mengharuskan setiap pemegang peran membayar sumbangan wajib
kepada organisasi. Pemegang peran utama, misalnya, dikenai
sumbangan wajib Rp 50 ribu untuk sekali bermain dalam setiap
film. Sumbangan wajib anggota ini, selain sumbangan wajib film
(dikenakan pada produser), merupakan sumber dana besar buat kas
Parfi. Dan ketika menutup pembukuan (per 31 Oktober),
kepengurusan Sukarno meninggalkan saldo pendapatan sekitar Rp 25
juta. Hebat.
Tapi tidak semua gembira dengan sukses tersebut. Sebab di balik
kantung organisasi yang tebal itu, sebagian besar anggotanya
ternyata masih hidup dengan ikat pinggang yang ketat. Sebanyak
408 orang, di antara 726 anggota Parfi, tahun 1980 sama sekali
tak pernah mendapat kesempatan bermain sekali pun. Yang mendapat
kesempatan bermain dalam produksi film hanya 218 orang, termasuk
108 hanya bermain sekali.
Tahun 1979, situasinya lebih memprihatinkan. Hanya 183 anggota
yang pernah mendapat kesempatan bermain. Direktur Jenderal
Radio, Televisi dan Film, Drs. Sumadi, mencatat semua kenyataan
itu ketika membuka kongres tadi. "Keadaan itu cukup
memprihatinkan, namun sekaligus juga menimbulkan kebanggaan,"
kata Sumadi. "Sebab andaikata kehadiran artis film hanya
didorong motif komersial, maka barangkali jumlah anggota Parfi
yang tinggal berkisar seratus saja."
Sulit dibantah, tapi sulit juga dibenarkan pernyataan tersebut.
Namun mengapa organisasi itu tidak mampu mengatur kesempatan
bermain buat anggotanya? Kusno Sudjarwadi, Ketua I Parfi
(1978-81) mengatakan organisasinya bukan semacam serikat buruh
pelabuhan Tanjung Priok -- yang mampu mengatur pemerataan
kesempatan dalam memperoleh pendapatan. "Pemerataan kesempatan
bermain jelas masih merupakan impian kami," katanya.
Kesempatan bermain rupanya sangat berkaitan dengan kegiatan
produksi film itu sendiri. Semakin banyak produksi film,
kesempatan bermain lebih luas. Tahun 1980, kesempatan itu
(bermain sebagai pemeran utama) lebih banyak jatuh ke tangan
Lydia Kandou (dalam 15 film) dan Rano Karno (dalam 9 film).
Popularitas seseorang memang turut menentukan. "Tapi
sesungguhnya bookerlah yang paling menentukan seorang bintang
bermain dalam suatu film," ungkap Kusno. Memang booker menguasai
jaringan bioskop, menebak kesenangan penonton, dan sering
mencalonkan pemain (casting) kepada produser.
Karena booker kini mabuk dengan film percintaan remaja, sejumlah
produser saling memperebutkan bintang film (remaja) populer.
Mencegah perebutan sengit, Parfi sesungguhnya sudah punya
peraturan. Seorang pemegang peran utama, misalnya, hanya
diperkenankan bermain dalam dua produksi pada waktu bersamaan.
Bila tawaran banyak mereka masih boleh bermain dalam tiga
produksi.
Sebagian anggota Parfi menganggap ketentuan tersebut tak jalan.
Mangara Siahaan, misalnya, cepat menuding Rano Karno, 20 tahun.
Anak Sukarno M. Noor itu dituduhnya terlampau banyak merangkap
peran, sehingga sering terjadi perselisihan di antara produser
dalam mengatur jadwal shooting. Rano Karno, tentu saja
membantahnya. "Saya dalam satu bulan hanya bermain dalam dua
film," jawabnya. "Pengurus Parfilah yang mengatur. Tanpa
pengaturan Parfi seperti sekarang, saya mungkin akan bermain
dalam lebih banyak film."
Ny. Deliana Surawijaya, Sekretaris I Parfi (1978-81), tak
menyanggah. Adalah produser juga, menurut dia, yang menekan
Parfi agar memperbolehkan seseorang bermain dalam produksinya
sekalipun sang artis sudah terikat daiam dua produksi. Karena
para produser berjanji akan mengatur jadwal shooting, sehingga
tak saling bertubrukan, "terpaksalah kemudian kami mengeluarkan
rekomendasi buat pemain," ungkap Deliana.
Peraturan Dasar dan Rumah Tangga Parfi 1975 memang jelas tak
mencantumkan keharusan organisasi menggali dana dengan memungut
Sumbangan Wajib. Karenanya pula Sophan Sophiaan, Ketua II (26
Agustus 1978) menyatakan mundur dari kepengurusan dan
keanggotaan Parfi. Sejak itu memang kepemimpinan Sukarno
mendapat ujian. Tapi Sukarno pula kemudian membuktikan bahwa
pelanggaran tersebut membawa sejumlah perbaikan pada keuangan
organisasi dan kesejahteraan anggota. Dan kongresnya yang
terakhir ini memutuskan melanjutkan kebijaksanaan itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini