Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Pemerataan bermain cara parfi

Kongres parfi ke-vii di jakarta. di bawah ketua umum sukarno m. noor (1978-1981) berhasil memobilisasi sumber dana untuk mengisi kas organisasi yang didapat dari sumbangan wajib setiap pemegang peran. (fl)

3 Januari 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PRODUKSI film Indonesia masih tetap kecil. Tahun 1980, sampai Oktober, hanya 59 judul. Sedang tiga tahun lalu, puncak produksi tertinggi 134 judul film. Karena produksi kecil, kesempatan bermain bagi anggota Persatuan Artis Film Indonesia (Parfi) tentu berkurang juga. Dalam suasana prihatin itu, jauh dari gemerlapan suatu pesta, Kongres VII Parfi diselenggarakan (1720 Desember) di Gedung Wanita Nyi Ageng Serang, Jakarta. Secara resmi pula, kepengurusan Parfi (1978-81) di bawah Ketua Umum Sukarno M. Noor -- yang penuh pergolakan --menyampaikan kepada kongres itu seluruh hasil kerja dan pertanggunganjawabannya. Apa hasilnya? Sejumlah kemajuan dicatat Parfi di bawah kepengurusan Sukarno. Yang menonjol adalah upayanya memobilisasi sumber dana untuk mengisi kantung organisasi: Ketika sang ketua umum pertama kali memasuki kantor Parfi di lantai II Pusat Perfilman Haji Usmar Ismail, Kuningan, kas organisasi hanya berisi Rp 500 ribu. Sementara ia diwarisi utang Rp 1 juta. Dalam usaha menanggulangi krisis itu, misalnya, Sukarno kemudian mengharuskan setiap pemegang peran membayar sumbangan wajib kepada organisasi. Pemegang peran utama, misalnya, dikenai sumbangan wajib Rp 50 ribu untuk sekali bermain dalam setiap film. Sumbangan wajib anggota ini, selain sumbangan wajib film (dikenakan pada produser), merupakan sumber dana besar buat kas Parfi. Dan ketika menutup pembukuan (per 31 Oktober), kepengurusan Sukarno meninggalkan saldo pendapatan sekitar Rp 25 juta. Hebat. Tapi tidak semua gembira dengan sukses tersebut. Sebab di balik kantung organisasi yang tebal itu, sebagian besar anggotanya ternyata masih hidup dengan ikat pinggang yang ketat. Sebanyak 408 orang, di antara 726 anggota Parfi, tahun 1980 sama sekali tak pernah mendapat kesempatan bermain sekali pun. Yang mendapat kesempatan bermain dalam produksi film hanya 218 orang, termasuk 108 hanya bermain sekali. Tahun 1979, situasinya lebih memprihatinkan. Hanya 183 anggota yang pernah mendapat kesempatan bermain. Direktur Jenderal Radio, Televisi dan Film, Drs. Sumadi, mencatat semua kenyataan itu ketika membuka kongres tadi. "Keadaan itu cukup memprihatinkan, namun sekaligus juga menimbulkan kebanggaan," kata Sumadi. "Sebab andaikata kehadiran artis film hanya didorong motif komersial, maka barangkali jumlah anggota Parfi yang tinggal berkisar seratus saja." Sulit dibantah, tapi sulit juga dibenarkan pernyataan tersebut. Namun mengapa organisasi itu tidak mampu mengatur kesempatan bermain buat anggotanya? Kusno Sudjarwadi, Ketua I Parfi (1978-81) mengatakan organisasinya bukan semacam serikat buruh pelabuhan Tanjung Priok -- yang mampu mengatur pemerataan kesempatan dalam memperoleh pendapatan. "Pemerataan kesempatan bermain jelas masih merupakan impian kami," katanya. Kesempatan bermain rupanya sangat berkaitan dengan kegiatan produksi film itu sendiri. Semakin banyak produksi film, kesempatan bermain lebih luas. Tahun 1980, kesempatan itu (bermain sebagai pemeran utama) lebih banyak jatuh ke tangan Lydia Kandou (dalam 15 film) dan Rano Karno (dalam 9 film). Popularitas seseorang memang turut menentukan. "Tapi sesungguhnya bookerlah yang paling menentukan seorang bintang bermain dalam suatu film," ungkap Kusno. Memang booker menguasai jaringan bioskop, menebak kesenangan penonton, dan sering mencalonkan pemain (casting) kepada produser. Karena booker kini mabuk dengan film percintaan remaja, sejumlah produser saling memperebutkan bintang film (remaja) populer. Mencegah perebutan sengit, Parfi sesungguhnya sudah punya peraturan. Seorang pemegang peran utama, misalnya, hanya diperkenankan bermain dalam dua produksi pada waktu bersamaan. Bila tawaran banyak mereka masih boleh bermain dalam tiga produksi. Sebagian anggota Parfi menganggap ketentuan tersebut tak jalan. Mangara Siahaan, misalnya, cepat menuding Rano Karno, 20 tahun. Anak Sukarno M. Noor itu dituduhnya terlampau banyak merangkap peran, sehingga sering terjadi perselisihan di antara produser dalam mengatur jadwal shooting. Rano Karno, tentu saja membantahnya. "Saya dalam satu bulan hanya bermain dalam dua film," jawabnya. "Pengurus Parfilah yang mengatur. Tanpa pengaturan Parfi seperti sekarang, saya mungkin akan bermain dalam lebih banyak film." Ny. Deliana Surawijaya, Sekretaris I Parfi (1978-81), tak menyanggah. Adalah produser juga, menurut dia, yang menekan Parfi agar memperbolehkan seseorang bermain dalam produksinya sekalipun sang artis sudah terikat daiam dua produksi. Karena para produser berjanji akan mengatur jadwal shooting, sehingga tak saling bertubrukan, "terpaksalah kemudian kami mengeluarkan rekomendasi buat pemain," ungkap Deliana. Peraturan Dasar dan Rumah Tangga Parfi 1975 memang jelas tak mencantumkan keharusan organisasi menggali dana dengan memungut Sumbangan Wajib. Karenanya pula Sophan Sophiaan, Ketua II (26 Agustus 1978) menyatakan mundur dari kepengurusan dan keanggotaan Parfi. Sejak itu memang kepemimpinan Sukarno mendapat ujian. Tapi Sukarno pula kemudian membuktikan bahwa pelanggaran tersebut membawa sejumlah perbaikan pada keuangan organisasi dan kesejahteraan anggota. Dan kongresnya yang terakhir ini memutuskan melanjutkan kebijaksanaan itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus