Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Demam Kakus Di Sidomulyo

Penduduk desa sidomulyo cilacap membentuk arisan kakus. sudah 60 buah kakus dibangun. sebelumnya penduduk buang hajat di sembarang tempat. (ds)

3 Januari 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI musim hujan seperti sekarang, Desa Sidomulyo di Kecamatan Sidorejo, Cilacap (Ja-Teng) kebanjiran -- seperti tahun-tahun sebelumnya. Air yang meluap dari Sungai Cibeureum menggenangi hampir seluruh daratan desa seluas 300 ha itu. Dan air berlumpur dengan segala macam kotoran, mengalir ke sumur-sumur penduduk yang mulutnya rata dengan tanah. Wabah muntah-berak pun melanda setiap musim. "Tapi untung belum pernah ada yang jatuh korban. Sebab pada umumnya penderita tidak segan-segan segera berobat ke Puskesmas Sidorejo yang tidak terlalu jauh dari desa," ujar Kepala Desa Sidomulyo, Kadar Sukemi yang mempunyai warga sebanyak 1.700 kk (9.600 jiwa). Pemerintah Daerah Kabupaten Cilacap sekitar empat tahun lewat berusaha mengatasi kelangkaan air bersih itu dengan memasang lima buah sumur pompa..Tapi selain jumlah itu tak mencukupi kebutuhan penduduk, sumur seperti itu juga tidak ada gunanya. "Sebab yang muncrat ternyata bercampur lumpur. Baunya juga tidak sedap," kata kepala desa lagi. "Lagi pula pipa besinya cepat sekali berkarat." Lebih dari separuh penduduk desa ini hidup sebagai buruh kasar, sisanya buruh tani. Penghasilan mereka rata-rata hanya Rp 400 sehari. "Jadi mereka itu terlalu sibuk mencari makan, hingga tidak sempat mengurus kebersihan lingkungan," begitu penilaian kepala desa. Selama ini umumnya penduduk melepas hajat besar di sembarang tempat. Di pinggir kali, di pematang sawah, di selokan, di balong. Rumah-rumah penduduk, kebanyakan berdinding gedek berlantai tanah. Bangunan yang nampak bagus cuma yang berjejer di sepanjang jalan dekat pasar desa. Dan itu hanyalah sekitar 10% dari seluruh bangunan rumah yang ada di desa tersebut. Beruntung ada dua warga desa itu yang mengajak penduduk membenahi desa melalui arisan. Mereka adalah Sumbani, Ketua RT 005 dan Mucharor, warga di RT itu juga. Akhir tahun lalu mereka mendirikan arisan yang dinamakan Persatuan Simpan-Pinjam "Rukun Santoso". Anggota pertama 28 orang, setiap orang membayar simpanan pokok Rp 2.000 dan simpanan wajib Rp 300/bulan. Dalam waktu setahun, kas Rukun Santosa sudah berisi Rp 216.000. Anggota yang memerlukan modal buat berdagang diberi pinjaman antara Rp 7.500 sampai Rp 10.000. Arisan Kakus Sedikit demi sedikit penduduk yang mula-mula menjadi buruh kasar, berangsur berusaha berdagang dengan modal kecil itu. Setiap tanggal 11 anggota Rukun Santosa berkumpul. Mereka membayar angsuran pinjaman dengan bunga yang tidak ditentukan besarnya. Tergantung dari kemampuan si peminjam, sekedar penambah isi kas Rukun Santosa saja. Sejak enam bulan lalu Rukun Santosa menyelenggarakan arisan kakus. Kali ini pesertanya tidak hanya terbatas para anggota Rukun Santosa saja, melainkan siapa saja, "asal bersedia membayar iuran Rp 400/bulan," kata Mucharor. Di luar dugaan, peminatnya cukup banyak, kini mencapai 32 orang. Sampai awal Desember lalu sudah 19 orang yang kebagian kakus arisan itu. Setiap bulan, rata-rata ada empat anggota berhasil membikin kakus hasil arisan. Yang memenangkan undian, bisa langsung mengambil jamban yang sudah tersedia seharga Rp 1.800. Ini berarti Rp 200 lebih murah dibanding harga di luar arisan. Kakus kecil arisan itu sederhana, tapi cukup memenuhi syarat kesehatan. Sebuah lubang sedalam 2 meter bergaris tengah 80 cm, diberi dinding anyaman bambu agar tanah tidak longsor. Di mulut lubang itu ditaruh dua balok bekas bantalan rel. Dinding kakus dari gedek bambu, beratap rumbia. Penggalian lubang dilakukan secara gotong-royong. Karena hampir seluruh masyarakat desa sedang "demam arisan kakus", maka jumlah kakus yang pada awal Desember tercatat 19 buah, sekarang melonjak menjadi 60 buah. Bagi Saman, 55 tahun, si pedagang pinang, arisan kakus seperti itu sangat membantu. "Dulu kalau buang air besar di sembarang tempat. Ketika itu belum terpikir membuat kakus. Habis, penghasilan saya sehari cuma Rp 500," katanya. Sekarang, Saman dan istri serta kelima anaknya dengan leluasa melepas hajat -- tanpa pusing-pusing mencari tempat tersembunyi dulu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus