DI musim hujan seperti sekarang, Desa Sidomulyo di Kecamatan
Sidorejo, Cilacap (Ja-Teng) kebanjiran -- seperti tahun-tahun
sebelumnya. Air yang meluap dari Sungai Cibeureum menggenangi
hampir seluruh daratan desa seluas 300 ha itu. Dan air berlumpur
dengan segala macam kotoran, mengalir ke sumur-sumur penduduk
yang mulutnya rata dengan tanah.
Wabah muntah-berak pun melanda setiap musim. "Tapi untung belum
pernah ada yang jatuh korban. Sebab pada umumnya penderita tidak
segan-segan segera berobat ke Puskesmas Sidorejo yang tidak
terlalu jauh dari desa," ujar Kepala Desa Sidomulyo, Kadar
Sukemi yang mempunyai warga sebanyak 1.700 kk (9.600 jiwa).
Pemerintah Daerah Kabupaten Cilacap sekitar empat tahun lewat
berusaha mengatasi kelangkaan air bersih itu dengan memasang
lima buah sumur pompa..Tapi selain jumlah itu tak mencukupi
kebutuhan penduduk, sumur seperti itu juga tidak ada gunanya.
"Sebab yang muncrat ternyata bercampur lumpur. Baunya juga tidak
sedap," kata kepala desa lagi. "Lagi pula pipa besinya cepat
sekali berkarat."
Lebih dari separuh penduduk desa ini hidup sebagai buruh kasar,
sisanya buruh tani. Penghasilan mereka rata-rata hanya Rp 400
sehari. "Jadi mereka itu terlalu sibuk mencari makan, hingga
tidak sempat mengurus kebersihan lingkungan," begitu penilaian
kepala desa.
Selama ini umumnya penduduk melepas hajat besar di sembarang
tempat. Di pinggir kali, di pematang sawah, di selokan, di
balong. Rumah-rumah penduduk, kebanyakan berdinding gedek
berlantai tanah. Bangunan yang nampak bagus cuma yang berjejer
di sepanjang jalan dekat pasar desa. Dan itu hanyalah sekitar
10% dari seluruh bangunan rumah yang ada di desa tersebut.
Beruntung ada dua warga desa itu yang mengajak penduduk
membenahi desa melalui arisan. Mereka adalah Sumbani, Ketua RT
005 dan Mucharor, warga di RT itu juga.
Akhir tahun lalu mereka mendirikan arisan yang dinamakan
Persatuan Simpan-Pinjam "Rukun Santoso". Anggota pertama 28
orang, setiap orang membayar simpanan pokok Rp 2.000 dan
simpanan wajib Rp 300/bulan. Dalam waktu setahun, kas Rukun
Santosa sudah berisi Rp 216.000. Anggota yang memerlukan modal
buat berdagang diberi pinjaman antara Rp 7.500 sampai Rp 10.000.
Arisan Kakus
Sedikit demi sedikit penduduk yang mula-mula menjadi buruh
kasar, berangsur berusaha berdagang dengan modal kecil itu.
Setiap tanggal 11 anggota Rukun Santosa berkumpul. Mereka
membayar angsuran pinjaman dengan bunga yang tidak ditentukan
besarnya. Tergantung dari kemampuan si peminjam, sekedar
penambah isi kas Rukun Santosa saja.
Sejak enam bulan lalu Rukun Santosa menyelenggarakan arisan
kakus. Kali ini pesertanya tidak hanya terbatas para anggota
Rukun Santosa saja, melainkan siapa saja, "asal bersedia
membayar iuran Rp 400/bulan," kata Mucharor.
Di luar dugaan, peminatnya cukup banyak, kini mencapai 32 orang.
Sampai awal Desember lalu sudah 19 orang yang kebagian kakus
arisan itu. Setiap bulan, rata-rata ada empat anggota berhasil
membikin kakus hasil arisan.
Yang memenangkan undian, bisa langsung mengambil jamban yang
sudah tersedia seharga Rp 1.800. Ini berarti Rp 200 lebih murah
dibanding harga di luar arisan.
Kakus kecil arisan itu sederhana, tapi cukup memenuhi syarat
kesehatan. Sebuah lubang sedalam 2 meter bergaris tengah 80 cm,
diberi dinding anyaman bambu agar tanah tidak longsor. Di mulut
lubang itu ditaruh dua balok bekas bantalan rel. Dinding kakus
dari gedek bambu, beratap rumbia. Penggalian lubang dilakukan
secara gotong-royong.
Karena hampir seluruh masyarakat desa sedang "demam arisan
kakus", maka jumlah kakus yang pada awal Desember tercatat 19
buah, sekarang melonjak menjadi 60 buah.
Bagi Saman, 55 tahun, si pedagang pinang, arisan kakus seperti
itu sangat membantu. "Dulu kalau buang air besar di sembarang
tempat. Ketika itu belum terpikir membuat kakus. Habis,
penghasilan saya sehari cuma Rp 500," katanya. Sekarang, Saman
dan istri serta kelima anaknya dengan leluasa melepas hajat --
tanpa pusing-pusing mencari tempat tersembunyi dulu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini