Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Masker Kain ketimbang Tidak

Ilmuwan menganjurkan pemakaian masker kain meski tidak melindungi pengguna 100 persen dari penularan virus corona penyebab Covid-19 seperti masker bedah. Serbet dan sarung bantal bahan terbaik untuk masker kain.

18 April 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Masker kain: Pemilihan bahan yang tepat dapat mendekati efektivitas masker bedah dalam menahan bakteri dan virus. Riset ilmuwan Public Health England menemukan bahan terbaik yang bisa dipakai sebagai masker buatan sendiri adalah serbet dapur./Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Walaupun Badan Kesehatan Dunia tidak merekomendasikan orang sehat memakai masker, para ilmuwan menganjurkan pemakaian masker kain di masa pandemi Covid-19 saat ini.

  • Masker kain tidak sebaik masker bedah dalam menahan bakteri dan virus, tapi lebih baik ketimbang tidak memakai masker sama sekali.

  • Serbet dan sarung bantai menurut penelitian ilmuwan Inggris merupakan bahan terbaik untuk membuat masker kain sendiri.

ACHMAD Yurianto memasang kembali masker kain batik ke wajahnya setelah menyampaikan respons penanganan pandemi virus corona dari Graha Badan Nasional Penanggulangan Bencana yang disiarkan langsung oleh TVRI. Yuri—panggilan akrab juru bicara pemerintah untuk penanganan Covid-19 itu—menunjukkan setiap orang wajib mengenakan masker. “Mulai hari ini, sesuai dengan rekomendasi dari WHO, setiap orang harus memakai masker ketika berkegiatan di luar,” kata Yuri, Ahad, 5 April lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Panduan pemerintah dalam penggunaan masker ini membingungkan masyarakat. Semula, masker hanya diwajibkan bagi pasien positif Covid-19. Perubahan dalam panduan ini diakui Presiden Joko Widodo. Saat membuka rapat terbatas via telekonferensi dari Istana Bogor, Senin, 6 April lalu, Presiden Jokowi mengatakan, “Awalnya saya sampaikan yang sakit saja yang pakai masker, sekarang semua orang yang keluar rumah wajib pakai masker.”

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Badan Kesehatan Dunia (WHO) sebenarnya tetap konsisten pada rekomendasinya sejak awal, yakni masker hanya dikenakan orang yang positif secara laboratorium terkena virus SARS-CoV-2 dan tenaga medis yang merawat. Orang sehat mengenakan masker hanya bila merawat pasien positif di rumah. WHO menekankan, belum ada bukti ilmiah bahwa memakai masker akan mencegah orang tertular virus, termasuk virus penyebab Covid-19 tersebut.

WHO khawatir pemasyarakatan penggunaan masker itu akan memunculkan “rasa aman palsu” sehingga orang hanya mengandalkan masker serta mengabaikan tindakan yang lebih penting dan berbasis bukti, seperti mencuci tangan dan mengkarantina diri. “Memakai masker saja tidak cukup menyediakan perlindungan, harus melakukan tindakan-tindakan lain,” demikian disebutkan dalam panduan sementara WHO yang dirilis pada Senin, 6 April lalu.

Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat (CDC) merekomendasikan semua warga negara Abang Sam, kecuali bayi, memakai masker. Rekomendasi itu terbit tiga hari sebelum WHO merilis panduan sementara tersebut. CDC punya alasan kuat karena lebih dari 25 persen pasien Covid-19 di Amerika tak menunjukkan gejala alias asimtomatik. “Kini individu yang tak menunjukkan gejala bisa berkontribusi dalam penularan,” kata Direktur CDC Robert Redfield kepada NPR.

Kasus asimtomatik tak hanya terjadi di Amerika Serikat. Riset tim Kementerian Kesehatan Singapura yang laporannya terbit di jurnal Morbidity and Mortality Weekly Report pada 1 April lalu menyimpulkan bahwa sebanyak 6,4 persen pasien Covid-19 di sana tak bergejala. Penelitian lain oleh ilmuwan University of Texas, Amerika, dan Dalian Minzu University, Cina, yang hasilnya dirilis pada 19 Maret lalu di jurnal Emerging Infectious Diseases juga menemukan 12,6 persen kasus di luar Provinsi Hubei tidak bergejala.

Alasan ini juga dipakai pemerintah Indonesia. Seperti diakui Yuri, di Indonesia banyak pasien tanpa gejala meski ia tak merinci jumlahnya. “Pemakaian masker ini menjadi penting karena kita tidak pernah tahu di luar ada orang tanpa gejala (virus corona),” ujar Yuri. Namun dia menekankan kepada masyarakat agar memilih masker kain yang dapat dipakai berkali-kali. Sedangkan masker bedah dan masker N95 hanya diperuntukkan bagi dokter dan tenaga medis lain.

Menurut Tony Loho dari Perhimpunan Dokter Spesialis Patologi Klinik, memakai masker kain sangat dianjurkan bagi orang sehat ataupun orang tanpa gejala dalam situasi pandemi seperti saat ini. “Walaupun masker kain tidak memberikan perlindungan 100 persen terhadap infeksi SARS-CoV-2, dengan memakainya dapat mengurangi jumlah virus yang masuk atau keluar ketimbang tidak memakai masker sama sekali,” ucap Tony.

Wakil Direktur Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Herawati Sudoyo sepakat dengan Tony soal peran masker dalam menahan semburan cairan dari mulut orang yang terinfeksi Covid-19. Menurut Herawati, memang banyak yang mempertanyakan efektivitas masker kain, tapi tetap lebih baik mengenakannya daripada tidak memakai masker sama sekali. “Masker bedah memang efisien, tapi masker kain memiliki kemampuan menahan sepertiga masker bedah,” tuturnya.

 


 

Graphic News

 

Lydia Bourouiba dari The Fluid Dynamics of Disease Transmission Laboratory, Massachusetts Institute of Technology, Amerika Serikat, mempublikasikan makalahnya di Journal of American Medical Association pada 26 Maret lalu. Ia menggunakan kamera berkecepatan tinggi untuk merekam kecepatan bersin manusia. Bersin menghasilkan awan gas berkecepatan tinggi yang mengandung droplet beragam ukuran—yang terkecil dapat terlontar sejauh 8 meter. Sementara itu, batuk manusia dapat melontarkan partikel halus sejauh 6 meter.

 

SUMBER: GRAPHIC NEWS, JAMANETWORK.COM, CAMBRIDGE.ORG

 


Anna Davies dari Public Health England pernah mengkaji bahan terbaik untuk masker buatan sendiri. Studi yang dipublikasikan di jurnal Disaster Medicine and Public Health Preparedness pada Agustus 2013 itu membandingkan kemampuan kaus katun, sarung bantal biasa, sarung bantal antimikroba, katun campuran, serbet, linen, kantong penyedot debu, sutra, dan syal dalam menahan bakteri Bacillus atrophaeus yang berukuran 0,95-1,25 mikrometer dan bacteriophage MS2 yang berdiameter 23 nanometer.

Menurut hasil studi itu, bahan terbaik untuk masker kain adalah kantong penyedot debu, yang bisa menahan 94,35 persen bakteri dan 85,95 persen bacteriophage. Sebagai pembanding, masker bedah memfilter 96,35 persen bakteri dan 89,52 persen bacteriophage. Serbet menjadi kain terbaik kedua karena bisa menahan 83,24 persen bakteri dan 72,46 persen bacteriophage. Kain terbaik ketiga adalah katun campuran, yang dapat menyaring 74,60 persen bakteri dan 70,24 persen bacteriophage. Selanjutnya adalah kaus katun, sarung bantal antimikroba, syal, sarung bantal biasa, linen, dan sutra.

DODY HIDAYAT, EKA WAHYU, DEWI NURITA, NATURE, CDC.GOV, WHO.INT, CAMBRIDGE.ORG, JOURNAL OF AMERICAN MEDICAL ASSOCIATION, NATIONAL CENTER FOR BIOTECHNOLOGY INFORMATION, BUSINESS INSIDER, THE ATLANTIC, LIVE SCIENCE
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Dody Hidayat

Dody Hidayat

Bergabung dengan Tempo sejak 2001. Saat ini, alumnus Universitas Gunadarma ini mengasuh rubrik Ilmu & Teknologi, Lingkungan, Digital, dan Olahraga. Anggota tim penyusun Ensiklopedia Iptek dan Ensiklopedia Pengetahuan Populer.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus