Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Karya-karya bertema sampah plastik Eko Nugroho sedianya dipamerkan di Perth selama dua bulan.
Eko Nugroho membuat pameran daring untuk tetap menyebarkan karyanya.
BARU sembilan hari berjalan, pameran “Plasticology” yang semestinya berlangsung selama dua bulan di Perth, Australia, terpaksa ditutup pada akhir Maret lalu. Apa lagi alasannya kalau bukan pagebluk sedunia: Coronavirus Disease 2019 (Covid-19). Eko Nugroho, satu dari empat seniman yang turut serta dalam pameran yang menanggapi problem jutaan ton sampah plastik di lautan itu, memindahkan lapak pamer karya-karya yang dia buat untuk pameran ke akun Instagram miliknya, @ekonugroho_studio. “Selama wabah Covid-19, kami akan memamerkan setiap karya secara daring agar Anda tetap dapat menikmati pameran Plasticology di The Goods Shed oleh FORM,” begitu keterangan dalam setiap unggahannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Eko mengunggah foto-foto karyanya dengan utuh beserta keterangan judul dan tahun pembuatan. Sayang, unggahan ini belum dilengkapi informasi tentang proses atau latar belakang tiap karya. Inisiatif pameran daring (online) ini dicetuskan sendiri oleh Eko karena ia ingin karya dan pesannya tetap tersampaikan. Memang akun media sosial penyelenggara pameran “Plasticology” hanya sebagian menampilkan karya-karya yang dipamerkan. “Saya ingin lebih agresif mempromosikan,” kata Eko melalui telepon kepada Tempo.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Plasticology” digagas oleh FORM, lembaga kreatif independen di Australia, di hub budaya kekinian di Perth bernama The Goods Shed. Tahun lalu mereka menggandeng seniman tekstil asal Bandung, Mulyana, untuk membuat pameran “A Man, A Monster and The Sea”, yang berhasil menarik minat 30 ribu pengunjung. Mulyana dengan karya sulam dan rajutnya mengubah area The Goods Shed menjadi dunia bawah laut penuh warna. Karena kesuksesan pameran itu, FORM kembali menggelar pameran bertema lautan dengan menggandeng empat seniman dari negara tetangga Australia, yaitu Eko Nugroho, Leeroy New (Filipina), Yufang Chi (Taiwan/Australia), dan Angela Yuen (Hong Kong).
Nothing Gonna Change The World, No Worries (2020). Instagram @ekonugroho_studio
Ada enam karya yang Eko bawa ke Perth. Satu mural hitam-putih, dua lukisan, dan tiga patung. Eko membeli sampah plastik dari pengepul di sekitar studionya di Yogyakarta, lalu mengolahnya menjadi karya dengan bentuk ganjil yang komikal dalam warna-warni cerah. Salah satu patungnya yang berjudul Future Fungus #1 (2020) menggabungkan sosok seorang pria berkulit legam yang menenteng tas hitam dan buket bunga di tangan, sementara di setengah bagian atas tubuhnya tumbuh bentuk-bentuk tak manusiawi, seperti rangkaian sisik, kumpulan bola mata, dan dedaunan yang mencuat. Sosok lelaki yang sama muncul pada karya Eko yang lain, seperti Over Reality (2020) dan Nothing Gonna Change The World, No Worries (2020), walau hanya terlihat entah sepasang matanya yang sayu, entah kaki telanjangnya yang terbakar matahari. “Namanya Pak Prawiro, tetangga saya seorang petani yang kesulitan mengairi sawahnya karena banyak sampah plastik di sungai,” ujar Eko.
Maka karya-karya Eko adalah irisan antara keresahan akan kerusakan lingkungan dan dampak krisis geopolitik terhadap mereka yang miskin dan di pinggir. Dengan mengirimkan karya sampah plastiknya ke ruang seni di Australia, Eko sekaligus menyampaikan pesan penuh ironi. “Australia mengekspor sampah mereka ke Indonesia, sekarang saya mengembalikan sampah itu kepada mereka,” kata perupa 43 tahun itu.
Lulus dari Jurusan Seni Lukis Institut Seni Indonesia Yogyakarta, Eko mula-mula menggunakan mural sebagai medium berkarya. Matang pada masa kejatuhan rezim Soeharto, dia menggunakan muralnya untuk menyampaikan kritik sosial yang provokatif tapi tetap jenaka. Banyak figur aneh muncul dalam karya-karyanya yang terpengaruh kegemarannya pada komik dan anime. Sejak remaja, Eko senang membaca komik seperti Voltus, Gaban, dan Megaloman.
Dengan teknik menggambarnya yang komikal itu, ditambah teknik sambung yang presisi, karya-karya Eko untuk “Plasticology” sama sekali tak terlihat seperti terbuat dari sampah plastik. Padahal satu patung saja dibuat dengan mengolah 15-20 kilogram sampah plastik, seperti botol kecap, tutup botol, slang, dan kemasan pemutih. Karena Eko butuh sampah plastik dengan bentuk dan ukuran tertentu, waktu paling lama dalam pengerjaan karyanya dihabiskan untuk menunggu sampah terkumpul. “Antara satu minggu dan satu bulan untuk mengumpulkan sampahnya,” tutur Eko.
Puluhan kilogram sampah itu kemudian dicuci bersih, dikeringkan, dan disemprot cairan disinfektan sebelum disusun pada konstruksi rangka kawat dan kabel yang dibuat Eko. Terakhir, dipulas dengan cat akrilik. Proyek memanfaatkan sampah untuk karya seni dimulai Eko sejak 2017. Karya pertama yang dibuat dengan metode ini adalah Carnival Trap, yang dipamerkan di ArtJog 2018.
Over Reality (2020). Instagram @ekonugroho_studio
Dengan merebaknya Covid-19, karya-karya Eko kini dikandangkan saja di ruang pamer. Rencana pameran tunggal yang sedianya digelar di Sydney akhir tahun ini juga harus ditunda. Penundaan atau penutupan agenda seni jadi sangat lumrah belakangan ini. Di Indonesia, Koalisi Seni mencatat ada 219 acara seni yang terkena dampak Covid-19 hingga 14 April lalu. Di antaranya 30 pameran dan museum seni rupa, 109 konser dan festival musik, 24 proses produksi dan rilis film, 10 pertunjukan tari, serta 44 pentas teater.
Meski turut terkena dampak, Eko mencoba tetap menghidupkan studionya untuk mengisi masa-masa berdiam di rumah. Di akun Instagram miliknya, selain menggelar pameran daring, Eko menggiatkan program berbagi ilmu secara virtual. Mulai pekan lalu, dia membuat sesi siaran langsung bertema Working as Visual Artist. Selama satu jam setiap pekan, Eko berbicara kepada pengikutnya tentang berbagai tema.
Pada episode pertama, 8 April lalu, Eko menggelar pertunjukan live painting dari studionya. Lewat siaran langsung di Instagram itu, kita bisa melihat proses Eko berkarya. Dengan rambut dikuncir ekor kuda dan diiringi musik soft rock, dia menggambar cepat di atas kanvas setinggi sekitar tiga meter yang tergantung di dinding. Sesekali dia memanjat tangga untuk mencapai bagian atas kanvas. Dalam waktu setengah jam, Eko sudah menyelesaikan lukisan hitam-putih berupa dua sosok terbalut kostum futuristik yang memeluk sosok-sosok kecil lain di kedua tangan mereka. Karya instan itu dijuduli Penekan Art. Eko kemudian menyediakan diri untuk menjawab pertanyaan dari penonton tentang awal mula dia melukis dan proses keseniannya.
Selanjutnya, Eko berniat berbagi tentang komunitas di sekitarnya yang paling terpukul oleh situasi belakangan. Dimulai dari komunitas penyulam, yang bekerja sama dengan Eko untuk memproduksi karya-karyanya sejak 2006. Menurut Eko, mereka kehilangan banyak pekerjaan akibat wabah. Dia pun meminta mereka tetap bekerja untuk menyiapkan karya bordir di rumah masing-masing. Ke depan, Eko meniatkan untuk makin mengoptimalkan sarana digital dalam berkarya. Selain kelas kesenian dari rumah, bukan tak mungkin akan ada pameran dan program daring lain. “Hasilnya bisa dilelang untuk saling mendukung di masa sulit ini,” ucap Eko.
MOYANG KASIH DEWIMERDEKA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo