Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MEMAKAI masker adalah salah satu bentuk penerapan protokol kesehatan untuk mencegah penularan Coronavirus Disease 2019 atau Covid-19. Hanya, survei menunjukkan bahwa kepatuhan masyarakat untuk melaksanakan protokol ini masih minim. Juru bicara Satuan Tugas Penanganan Covid-19, Wiku Adisasmito, mengatakan, berdasarkan hasil pemantauan di 512 kabupaten dan kota, hanya 20,6 persen masyarakat yang memakai masker.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Untuk membantu mengawasi kepatuhan warga terhadap penerapan protokol kesehatan ini, Kelompok Penelitian Computer Vision Pusat Penelitian Informatika Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia di Bandung membuat alat pendeteksi pemakaian masker. Tim penelitinya terdiri atas Risnandar, Dian Andriana, Esa Prakasa, Dicky Rianto Prajitno, dan Iwan Muhammad Erwin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sistem pendeteksi pemakaian masker ini, menurut Risnandar, merupakan hasil pengembangan riset pendeteksi wajah dan forensik yang sudah mereka rintis pada 2016. Pada masa pandemi, sejak Agustus 2020 lalu, mereka menyempurnakan sistemnya agar bisa dipakai untuk mendeteksi pemakaian masker ini. Sistemnya sudah selesai. “Sekarang sudah bisa dipakai untuk di laptop dengan menggunakan webcam,” ujar dosen di Fakultas Informatika Telkom University, Bandung, itu, Rabu, 20 Januari lalu.
Untuk pengoperasiannya, menurut Risnandar, detektor masker ini membutuhkan kamera yang dihubungkan dengan sistem dalam aplikasi. Prinsip kerjanya, kamera berfungsi seperti mata penjaga untuk mengenali siapa saja yang bermasker atau tidak. Tim peneliti menyematkan kecerdasan buatan (artificial intelligence) pada sistem deteksi ini agar bisa memeriksa obyek yang tertangkap kamera, khususnya empat bagian tubuh manusia: mata, hidung, mulut, dan tangan.
Deteksi pada mata, khususnya bagian retina, bertujuan memvalidasi bahwa orang yang dilacak masih hidup, sedang tidur, atau bahkan sudah meninggal. Adapun hidung dan mulut dideteksi untuk mengenali apakah bagian itu sudah ditutup masker dengan benar, sesuai dengan standar Badan Kesehatan Dunia (WHO). Deteksi tangan diperlukan karena pada beberapa kasus tangan digunakan untuk menutup hidung dan mulut. Selain itu, detektor mengidentifikasi bahan dan posisi masker di wajah.
Menurut Risnandar, metode ini mirip dengan pendeteksi pelat nomor kendaraan di gerbang jalan tol melalui kamera. Alat itu dipasang di gerbang masuk atau keluar jalan tol. Tujuannya, mengetahui jumlah kendaraan yang melintas di jalan berbayar tersebut, mengidentifikasi asal, jenis kendaraan, ataupun domisili pemiliknya sesuai dengan kategori yang dipakai polisi. Namun, kelemahannya, deteksi pelat nomor kendaraan itu bisa meleset hasilnya jika cat pada angka atau huruf pelat nomornya pudar.
Deteksi masker ini, Risnandar menambahkan, hasilnya memuaskan. “Rata-rata 95 persen akurasinya,” ucapnya. Hasil itu diperoleh dari beberapa kali pengujian dengan berbagai kondisi orang memakai masker. Selain webcam, pendeteksi ini bisa memakai kamera pemantau closed-circuit television (CCTV). Pemakaiannya juga bisa untuk mendeteksi penumpang sarana transportasi umum di stasiun kereta api, terminal, dan halte bus. “Berapa pun jumlah wajahnya bisa dideteksi,” tutur Risnandar.
Saat ini tim sedang mengajukan permohonan paten atas pendeteksi masker itu dan mengembangkan penggunaannya di perangkat lain. “Sedang menyempurnakan migrasi ke smartphone,” kata Risnandar. Tim juga berupaya agar sistemnya bisa berjalan di semua sistem operasi yang dipakai oleh berbagai telepon seluler pintar. Target waktu peluncuran sistem deteksi ini masih belum ditentukan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo