Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PENGAMBILAN sampel darah tikus percobaan di laboratorium ternyata bukan pekerjaan yang mudah. Prosesnya harus benar agar data yang dihasilkan sahih. Meskipun ada alat bantu penahan tikus atau restrainer, baik peneliti maupun mahasiswa kedokteran memerlukan pelatihan selama tiga-enam bulan agar mahir menyuntik tikus. “Banyak keluhan dan masalah dari mahasiswa ketika disuruh mengambil sampel,” kata Ronny Lesmana, dosen Departemen Fisiologi Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran, Bandung, Kamis, 25 Februari lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ronny pernah mengalami masalah serupa pada 2015. Dia pun menjumpai masalah semacam ini ketika menempuh studi di luar negeri. Bedanya, mahasiswa dan peneliti di luar negeri yang bertugas di laboratorium sudah punya bekal keahlian menyuntik hewan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Untuk mencari solusi atas masalah ini, sejak September 2020 dia mengajak beberapa dosen dan alumnus almamaternya mengembangkan alat restrainer. Ronny menjadi koordinator tim yang beranggotakan Mas Rizky Anggun A.S., Hanna Goenawan, Yuni Susanti Pratiwi, Nova Sylviana, Aziiz M. Rosdianto, Juliati, dan Wildan E. Salman. Tim mendapat pendampingan langsung dari Setiawan, Roostita Balia, Rizky Abdullah, serta Vita M. Tarawan sebagai pengarah.
Mereka merancang modifikasi restrainer agar pengambilan sampel darah tikus menjadi lebih mudah, aman, dan etis dengan memperhatikan faktor kesejahteraan hewan. Restrainer dari Unpad memadukan tiga bagian, yaitu tabung untuk menahan tikus, vena finder, serta dudukan yang bisa dibongkar-pasang. Diameter tabung atau selongsong, ucap Ronny, bisa diatur sesuai dengan bobot tikus, yaitu 200 gram, 200-300 gram, dan 300-400 gram. “Alat ini bukan untuk tikus besar yang lebih dari 400 gram,” ujarnya. Tabung yang terbuat dari plastik tembus pandang itu dilengkapi lubang-lubang sirkulasi udara bagi tikus.
unpad.ac.id
Menurut Ronny, restrainer buatan Unpad memudahkan pengambilan sampel darah dari ekor tikus. Tim memasang vena finder yang ditempatkan di luar tabung dekat pintu akses tikus. Perangkat itu dipasangi lampu inframerah bersuhu sekitar 30 derajat Celsius ketika dinyalakan selama 2-5 detik. Lampu itu berfungsi menyinari buntut tikus sehingga penyuntik bisa melihat pembuluh darah balik atau vena targetnya. “Buntutnya ikut menghangat, jadi pembuluh darahnya melebar,” dia menjelaskan.
Ekor adalah satu dari beberapa bagian tubuh tikus tempat pengambilan sampel darah. Metode lain, kata Ronny, adalah lewat penyuntikan pada mata setelah tikus dibius. Cara ini hanya bisa dilakukan sekali pada mata kiri atau kanan dengan jeda satu-dua pekan sampai matanya pulih. Jika diambil lebih dari itu, tikus berisiko buta.
Adapun sasaran utama penyuntikan adalah vena dalam tubuh tikus. Dalam penyuntikan, kulit dan bulunya menjadi kendala. Kondisi itu membuat penyuntik hanya bisa mengira-ngira lokasi sasarannya. “Kalau tidak ahli, sering kali enggak dapat. Jadi harus suntik berkali-kali,” tuturnya. Ketika suntikan meleset, vena tikus bisa segera menciut sehingga pengambilan sampel akan lebih susah.
Pengambilan sampel darah di bagian ekor bisa dilakukan beberapa kali atau sekali sebanyak 0,5 cc atau mililiter. Sampel darah mulanya diambil dari bagian ujung ekor, kemudian bergeser 2-3 milimeter atau sampai 5 milimeter ke arah pangkal buntut. “Kekurangan sampel dari ekor ini darahnya sedikit, paling 0,1 mililiter,” ucap Ronny. Saat ini tim masih berkutat dengan upaya menyempurnakan pemakaian restrainer. Sebab, dia menerangkan, sinar inframerah bisa mengganggu penglihatan penyuntik. Mereka berupaya menguji kacamata hitam untuk mengurangi efek sinar tersebut.
Laboratorium kampus, menurut Ronny, hanya membutuhkan satu atau dua unit restrainer. Dosen peneliti dan mahasiswa bisa memakainya secara bergantian. Harga restrainer impor berkisar Rp 6-7 juta. Itu pun hanya tabungnya. Adapun tim Unpad, Ronny menambahkan, menginginkan alat buatannya, yang dilengkapi vena finder, bisa lebih murah. Setelah purwarupanya jadi dan dikenalkan lewat media sosial pada akhir Januari lalu, beberapa peneliti di luar dan dalam negeri menyatakan minat membeli. Alat ini masih dalam proses mendapatkan hak paten.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo