Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
REFORMASI birokrasi yang digaungkan Kementerian Keuangan hampir 20 tahun lalu tampaknya tak berhasil sepenuhnya membangun sistem pengelolaan keuangan negara yang bersih dan akuntabel. Begitu juga berbagai inisiatif perbaikan sistem perpajakan yang diperkenalkan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati setelah terungkapnya kasus mafia pajak Gayus Tambunan, sepuluh tahun lampau.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Terbukti kini terungkap lagi skandal mafia pajak dengan skala yang lebih membelalakkan mata. Pada awal Februari lalu, Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkan Direktur Ekstensifikasi dan Penilaian Direktorat Jenderal Pajak Angin Prayitno Aji serta Kepala Sub-Direktorat Kerja Sama dan Dukungan Pemeriksaan Pajak Dadan Ramdani sebagai tersangka. Meski Menteri Sri Mulyani telah menonaktifkan keduanya, publik tetap menyimpan tanda tanya: mengapa sistem pajak kita masih bisa kecolongan?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Apalagi modus kejahatan para mafia pajak ini terbilang sederhana. Mereka mendapat imbalan untuk menurunkan angka ketetapan pajak sejumlah perusahaan. Tiga nama perusahaan yang sudah disebut adalah PT Jhonlin Baratama, PT Gunung Madu Plantations, dan PT Bank Pan Indonesia (Panin). Jhonlin Baratama merupakan anak usaha Jhonlin Group milik Andi Syamsuddin Arsyad atau Haji Isam—pengusaha kakap pemilik tambang batu bara di Kalimantan Selatan. Sedangkan Gunung Madu merupakan perseroan perkebunan tebu dan pabrik gula di Lampung serta Panin merupakan usaha perbankan.
PT Jhonlin ditengarai memberikan uang sebesar Rp 30 miliar untuk merekayasa jumlah pajak pada 2016 dan 2017. Untuk tahun pajak 2016, Jhonlin seharusnya membayar Rp 91 miliar, tapi surat ketetapan yang diterbitkan Direktorat Jenderal Pajak menyebutkan angka Rp 70 miliar. Pada tahun berikutnya, Jhonlin memiliki tagihan kelebihan pajak Rp 59 miliar, padahal seharusnya hanya Rp 27 miliar. Itu baru angka kerugian negara dari satu perusahaan. Setelah menetapkan Angin dan Dadan, KPK kabarnya masih membidik sejumlah pegawai Kementerian Keuangan lain dan konsultan pajak yang mengatur rekayasa ini.
Yang mengenaskan, kuat dugaan Angin dan komplotannya bisa bermain berkat kebijakan tax amnesty yang diluncurkan pemerintah pada 2016. Berbagai pengakuan basis pajak baru dari ribuan perusahaan dan individu justru dijadikan alat negosiasi oleh para pencoleng ini. Pada proses itulah diduga terjadi tawar-menawar dan permintaan rasuah.
Perkara ini adalah kasus mafia pajak kesekian yang menerpa Direktorat Jenderal Pajak. Terus munculnya kasus-kasus ini seharusnya menyadarkan para pengambil kebijakan bahwa kunci utama reformasi birokrasi adalah kebijakan insentif dan disinsentif alias “stick and carrot”. Jika wortel terus diberikan, sementara penegakan hukum yang tegas hanya di awang-awang, para maling akan terus mencari kesempatan.
Dimulai pada 2002, prestasi utama reformasi birokrasi di Kementerian Keuangan adalah kenaikan remunerasi pegawainya. Secara bertahap gaji pegawai Kementerian Keuangan diperbaiki. Salah satunya dengan menerapkan tunjangan kinerja yang besarnya hingga Rp 100 juta per bulan. Selain itu, proses bisnis dan struktur organisasi disempurnakan.
Tapi semuanya buyar ketika penegakan hukum tak tuntas. Aparat hukum yang rapuh terbukti merontokkan segala upaya reformasi dan akhirnya melorotkan tingkat kepercayaan masyarakat. Para pelancung pajak belajar dari kebejatan Gayus Tambunan. Saat semestinya mendekam di balik jeruji besi, pada November 2010 ia ditemukan menonton pertandingan tenis Commonwealth Bank Tournament of Champions di Nusa Dua, Bali. Apalagi, kita tahu, tak semua perusahaan yang menyuapnya juga disidik oleh polisi. Penegakan hukum yang compang-camping tak menimbulkan efek jera. Puncaknya adalah inisiatif Presiden Joko Widodo untuk merevisi Undang-Undang KPK pada akhir 2019. Keputusan itu jelas melemahkan ujung tombak pemberantasan korupsi.
Karena itu, jangan lekas terharu melihat kinerja KPK dalam kasus Angin. Sampai KPK membongkar semua perkara yang terkait dengan mafia pajak ini, kita selayaknya skeptis terhadap keseriusan mereka. Tarik-menarik kepentingan di antara penyidik, pimpinan KPK, dan pejabat pemerintah bukan tidak mungkin akan menghentikan penyidikan hanya pada pejabat setingkat Angin. Perkara-perkara lain bukan tidak mungkin akan masuk kotak.
Jika skandal pajak ini tak dituntaskan, target Presiden Jokowi menggenjot rasio pajak Indonesia dari 10-11 persen saat ini—salah satu yang terburuk di ASEAN—akan makin sulit tercapai. Tanpa keseriusan menegakkan hukum, reformasi pajak di negeri ini hanya pepesan kosong.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo