Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti Pusat Riset Vaksin dan Obat Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Gita Syahputra melakukan penelitian suplemen zinc generasi ketiga dari peptida teripang untuk mengatasi defisiensi zinc pada seribu hari pertama kehidupan (1.000 HPK) anak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saat ini suplemen zinc yang tersedia di pasaran masih perlu pengembangan lanjutan untuk meningkatkan daya serap suplemen zinc dan mengurangi efek samping yang ditimbulkan, seperti iritasi pencernaan, reaksi mual, dan muntah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gita mengatakan produk laut seperti teripang merupakan salah satu sumber peptida. Zinc yang terikat pada peptida memiliki tingkat absorpsi yang lebih baik dibanding suplemen zinc generasi sebelumnya.
“Potensi tersebut yang menjadi inspirasi penelitian ini. Perolehan peptida dari teripang pasir diharapkan dapat menjadi alternatif peptida pengikat zinc yang dapat dimanfaatkan untuk mengatasi kekurangan zinc dan menjaga kesehatan,” kata Gita dalam keterangan tertulisnya, Senin, 22 April 2024.
Komoditas hewan laut teripang dengan nama latin Holothuria scabra sudah berhasil dibudidayakan di beberapa tempat, seperti di Lombok, Nusa Tenggara Barat dan Gondol, Bali. "Pengembangan produk teripang diharapkan dapat meningkatkan nilai tambah teripang, sehingga layak dipasarkan menjadi bahan suplemen,” ucap Gita.
Menurut Gita, 1.000 HPK merupakan salah satu fase penting dalam tumbuh dan kembang anak, sehingga asupan gizi perlu dimaksimalkan. Beberapa kondisi kekurangan zinc merupakan salah satu kondisi yang sering terjadi pada anak, dan dapat ditangani dengan pemberian nutrisi atau suplementasi zinc bila perlu.
Kombinasi Riset Komputasi dan Eksperimental di Laboratorium
Peneliti yang saat ini baru saja menyelesaikan studi doktoral bidang Ilmu Biomedik di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia tersebut mengatakan penelitian ini dilakukan dengan komputasi yang dikombinasikan dengan eksperimental di laboratorium untuk meningkatkan kualitas data yang dikumpulkan.
“Pemanfaatan komputasi dilakukan untuk menemukan protein target yang memengaruhi kekurangan zinc dalam terapi tertarget dengan peptida terikat zinc. Penelitian dengan komputasi juga untuk melakukan simulasi kandidat suplemen agar sesuai dengan kondisi tubuh, sehingga dapat diprediksikan mekanisme interaksi dengan protein target dan peptida pengikat zinc yang sesuai dengan kondisi tubuh,” ujarnya.
Meskipun riset ini cukup menantang baginya, Gita sangat terbantu dengan ketersediaan infrastruktur dan fasilitas BRIN yang saat ini semakin lengkap, sehingga membantu pengembangan riset yang sedang dilakukan.
Penentuan protein target yang diperiksa untuk mengamati kekurangan zinc pada manusia. Hal ini dipelajari menggunakan komputasi dengan teknik farmakologi jejaring. Farmakologi jejaring merupakan teknik komputasi yang digunakan untuk mengetahui hubungan antara gen target pada suatu penyakit dengan kandidat senyawa obat melalui pemanfaatan basis data. Hal ini bermanfaat sebagai terapi penyakit yang tertarget dan terarah.
Gen target yang diperoleh kemudian dilanjutkan dengan simulasi molekuler dengan memanfaatkan fasilitas High Performance Computing (HPC) BRIN. Perolehan dan pemurnian peptida dilakukan dengan memanfaatkan instrumen seperti ultrafiltrasi, RP-HPLC, dan LCMS/MS.
Selain itu, karakterisasi peptida pengikat zinc yang berasal dari teripang tersebut dilakukan dengan menggunakan instrumen SEM-EDS. Penelitian ini juga berkolaborasi dengan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dalam pengujian potensi peptida pengikat zinc sebagai suplemen zinc menggunakan model hewan coba.
Peroleh Paten
Berdasarkan hasil komputasi dengan farmakologi jejaring, diketahui bahwa gen SLC39A2/ZIP2 dan SLC39A4/ZIP4 merupakan protein transporter zinc yang paling berperan dalam kekurangan zinc, yang ditemukan pada membran usus. Penelitian eksperimental di laboratorium ini menemukan enam buah peptida pengikat zinc dari Holothuria scabra, yang telah berhasil dikarakterisasi dengan baik.
“Seluruh peptida tersebut telah berhasil dipatenkan dan sudah dievaluasi pada model hewan coba yang defisiensi zinc, yakni pada anak tikus yang diperoleh dari induk dengan defisiensi zinc, sehingga model yang dikembangkan sesuai untuk kondisi 1.000 HPK pada manusia,” ungkap Gita.
Setelah didapatkan peptida pengikat zinc, selanjutnya dilakukan evaluasi dengan organ usus tikus (ex vivo). Hal ini diperlukan sebagai landasan untuk melihat kemampuan daya serap zinc. "Hasilnya, ditemukan bahwa peptida pengikat zinc memiliki absorpsi lebih tinggi di duodenum dibanding absorpsi suplemen zinc generasi sebelumnya," tutur Gita.
Gita mengatakan dosis pemberian peptida pengikat zinc pada anak tikus adalah 4 dan 40 mg/kg BB yang dibandingkan dengan ZnSO4. ZnSO4 merupakan sediaan yang saat ini berada di pasaran untuk mengatasi kekurangan zinc. “Hasilnya, peptida pengikat zinc dari teripang ini berhasil meningkatkan kadar zinc anak tikus yang kekurangan zinc di usus dan di darah lebih baik daripada ZnSO4,” katanya.
Peptida pengikat zinc dari teripang ini juga tidak mengganggu penyerapan zat penting lain seperti zat besi. Pemberian peptida pengikat zinc cenderung mengembalikan berat badan anak tikus dengan kekurangan zinc. Kondisi ini diikuti dengan kembali normalnya kadar beberapa protein transport zinc di usus.
“Temuan ini merupakan dasar pengembangan yang akan membawa peptida pengikat zinc dari teripang menjadi produk unggulan untuk suplementasi zinc tertarget pada kondisi kekurangan zinc pada anak,” ungkap Gita.
“Saya berharap semoga pengembangan hasil riset yang sedang dilakukan bersama tim ini memberi kontribusi bagi dunia kesehatan. Juga mendorong riset-riset lanjutan lainnya untuk menemukan inovasi baru melalui pemanfaatkan sumber daya laut yang melimpah di Indonesia,” ucapnya.