Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Nita Indah Sartika, 42 tahun, panik bukan kepalang. Putri bungsunya, Zita Pinky Godea, mendadak terdiam setelah terpeleset di lantai saat tengah merangkak. Usia Pinky ketika itu enam bulan. Yang membuat hati Nita pilu, setelah ambruk, wajah Pinky langsung membiru. Detak jantung dan denyut nadinya juga tak terdeteksi. Nita kemudian memberi napas buatan pada putrinya. Baru tiga menit kemudian, si bayi kembali melek dan menangis kencang.
Peristiwa itu tak hanya terjadi sekali. Dalam sehari, Pinky bisa beberapa kali "mati suri". Gejalanya sama, yakni selalu didahului entakan napas seperti kejang, baru kemudian tubuhnya kaku. Dokter spesialis anak sempat menduga Pinky mengidap epilepsi. Obat dan vitamin otak sudah diberikan, tapi enam bulan berselang frekuensi Pinky mati suri malah meningkat, bisa empat kali dalam sehari.
Dokter berbeda kemudian dirujuk Nita. Dari dokter spesialis saraf anak itulah Nita mendapat informasi putrinya mengalami breath holding spell (BHS) atau serangan berhenti napas pada anak. "Dokter meminta saya tenang dan tidak cemas karena Pinky ternyata tidak mengidap epilepsi, tapi BHS," kata Nita, Rabu petang pekan lalu.
Breath holding spell adalah serangan yang dipantik emosi memuncak pada anak. Misalnya marah karena tidak mendapatkan sesuatu yang diinginkan, gagal melakukan satu hal, takut, kaget, tidak nyaman karena dimarahi, atau nyeri mendadak setelah jatuh atau terbentur. Di Indonesia, belum ada data yang mencatat persentase anak dengan BHS. Namun, di luar negeri, jumlah penderita BHS 4-5 persen dari populasi anak.
Umumnya, menurut Amanda Soebadi, dokter spesialis saraf anak Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, serangan BHS dimulai pada bayi berusia 6-18 bulan, dan mencapai puncaknya pada umur 1-2 tahun. Serangan awalnya terjadi hanya sekali dalam beberapa minggu atau bulan, tapi pada puncaknya dalam sehari bisa beberapa kali.
Dilihat dari gejalanya, ada dua macam BHS, yakni sianotik dan pallid atau pucat. Pada BHS pucat, anak mula-mula menjerit atau menangis, baru kemudian mendadak diam dan terlihat pucat. Saat terjadi serangan, anak biasanya juga mengalami lemas, keluar keringat dingin, serta hilang kesadaran, kadang diikuti kejang dan mengompol. Sedangkan pada BHS sianotik, setelah menangis, suara anak mendadak hilang. Wajahnya kemudian membiru dan kadang disusul kejang.
Pingsan karena BHS disebabkan oleh turun sesaatnya kadar oksigen dalam darah. Penurunan tersebut hanya sejenak, tak lebih dari satu menit. Kadang pingsan tersebut disertai henti jantung, tapi itu pun tak lama. "Kalau penurunan kesadarannya lama, perlu dicurigai adanya kelainan, seperti gangguan jantung dan paru-paru atau tersedak," kata Amanda, Kamis siang pekan lalu.
Namun hingga kini penyebab BHS tidak diketahui secara pasti. Beberapa ahli menduga ada kaitannya dengan sistem saraf otonom anak yang belum matang, ada pula yang menghubungkannya dengan masalah pencernaan serta alergi. Sedangkan penelitian lain menghubungkan BHS dengan faktor genetik. Sejumlah 20-30 persen anak dengan BHS, kata Amanda, memiliki riwayat serangan tersebut dalam keluarganya.
Adapun pendapat lain menyebutkan BHS berhubungan dengan defisiensi zat besi, baik disertai anemia maupun tidak. Penelitian menunjukkan defisiensi zat besi, dengan atau tanpa anemia, terdapat pada 56 persen anak dengan BHS. Namun serangan ini dipastikan Amanda tidak berhubungan dengan riwayat anak pada penyakit kronis seperti gangguan jantung dan paru-paru, meski gejala penurunan kesadaran dan sesak napasnya mirip.
Orang tua juga diminta Amanda bersikap tenang karena BHS tak berdampak pada fungsi tubuh, seperti kerusakan otak dan kecerdasan anak. Kendati demikian, BHS memerlukan penanganan khusus. Pada umumnya, dokter akan melakukan diagnosis dengan anamnesis atau wawancara orang tua tentang kronologi kejadian serangan serta riwayat penyakit dan tumbuh kembang anak. Adapun pengecekan khusus, seperti rekam jantung dan otak, hanya dilakukan pada kasus tertentu. "Kalau pada anamnesis sudah jelas BHS, rekam jantung dan otak tidak perlu dilakukan," ujarnya.
Meski BHS tak membahayakan fungsi organ tubuh, dokter spesialis perkembangan mental anak Dewi Utama meminta orang tua tak menyepelekan penanganan serangan tersebut. Sebab, anak dengan BHS memerlukan penanganan dengan tata laksana yang tepat dari orang tua. Jika anak mengalami BHS, yang pertama mesti dilakukan adalah merebahkan anak dengan posisi miring. Posisi telentang tidak dianjurkan karena membuat anak kurang nyaman bernapas. Kemudian letakkan kompres dingin pada dahi anak untuk mempercepat laju peredaran darah.
Orang tua juga perlu menelusuri penyebab BHS pada anak untuk mengurangi frekuensi serangan dan mencari solusi. Nita, misalnya, belakangan menyadari Pinky mengalami BHS karena tidak tahan merasakan sakit fisik dan psikis. Karena itu, manakala jatuh, kecewa, marah, ataupun sedih, Pinky akan terserang BHS. Bahkan pernah, saat Nita tak sengaja memanggil Pinky dengan nada tinggi, si putri langsung mati suri. "Dia jadi sensitif sekali. Kalau gagal membuat sesuatu, dia bisa seketika 'hilang'," kata Nita.
Nita juga mendidik Pinky untuk kuat dan bisa menerima sakit hati. Ia memilih tidak menjaga perasaan Pinky dengan cara menuruti semua kemauannya, lantaran emoh si anak tumbuh menjadi orang yang egois. Namun, memang, Nita memperlakukan Pinky berbeda dengan kedua kakaknya. Kepada Pinky, Nita pantang marah atau menasihati dengan nada keras. Cara ini lumayan berhasil. Selang beberapa tahun, frekuensi serangan Pinky berkurang. Sementara dulu sehari Pinky bisa empat kali diserang BHS, setelah dididik Nita untuk menerima sakit hati, ia hanya dua-tiga hari dalam sepekan mendapat serangan.
Yang dilakukan Nita, menurut Amanda, sudah tepat. Meski emosi yang memuncak rentan menyebabkan BHS, orang tua tidak dianjurkan selalu menuruti kemauan anak. Memenuhi semua permintaan si kecil untuk mencegah serangan BHS disebut Amanda hanya menyebabkan hubungan orang tua-anak tidak sehat dan bisa membuat anak bersikap egoistis. Daripada memanjakan anak, orang tua disarankan tenang dan yakin penyakit tersebut tidak berbahaya.
Orang tua juga diminta lebih dekat secara psikologis dengan anak. Maka, kata Dewi, orang tua akan memahami emosi dan tahu apa yang tengah dirasakan anak, sehingga, tatkala anak kesal atau marah, orang tua akan paham bagaimana mengatasinya. Cara membangun kedekatan secara psikologis salah satunya dengan belajar menggendong anak dengan baik dan memperbanyak interaksi. "Anak kecil suka sebal jika orang tuanya mengabaikan mereka dan malah asyik dengan gadget-nya," ujarnya.
Menurut Dewi, yang bertugas di Klinik Terapi Pediatrik Bandung, tak ada salahnya orang tua juga berkonsultasi dengan psikolog untuk merumuskan terapi penanganan yang tepat. Apalagi dalam beberapa kasus ada anak yang malah memanfaatkan serangan BHS untuk memaksa orang tua selalu menuruti permintaannya. "BHS memang akan menghilang sendiri saat usia anak 5-7 tahun. Tapi, kalau metode penanganannya tidak pas, anak bisa tumbuh jadi orang yang semaunya," kata Dewi.
Isma Savitri
Breath Holding Spell
Breath holding spell adalah serangan yang dipantik emosi memuncak pada anak. Misalnya marah karena tidak mendapatkan sesuatu yang diinginkan, gagal melakukan satu hal, takut, kaget, tidak nyaman karena dimarahi, atau nyeri mendadak setelah jatuh atau terbentur.
Jika Anak Mengalami BHS
1. Rebahkan anak dengan posisi miring. Posisi telentang tidak dianjurkan karena membuat anak kurang nyaman bernapas.
2. Kompres dingin dahi anak untuk mempercepat laju peredaran darah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo