Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
GETARAN gempa bumi dalam dua pekan terakhir di kawasan barat Jawa menjalar hingga Jakarta. Pada 4 November lalu, gempa dengan magnitudo 5,2 menggoyang Pandeglang, Banten, selama empat detik. Delapan hari kemudian, giliran Sukabumi, Jawa Barat, diguncang gempa dengan magnitudo 4,8.
Gempa-gempa itu, seperti banyak gempa sebelumnya yang terjadi di sekitar Jakarta, terasa di Ibu Kota tapi tak pernah membuat kerusakan yang berarti. Jakarta seakan-akan aman dari gempa bumi. Tapi benarkah demikian?
Baru-baru ini peneliti gempa dari Australian National University, Phil Cummins, memperingatkan bahwa Jakarta berpotensi dihantam gempa besar. Hal ini berdasarkan model gempa besar yang disusun Cummins menurut beberapa catatan sejarah. Hasilnya dia presentasikan dalam seminar tentang gempa bumi di Institut Teknologi Bandung, Oktober lalu.
Menurut Cummins, pada 5 Januari 1699, Batavia pernah dilanda lindu berkuatan magnitudo 8-9. Gempa itu mengguncang bagian barat Jawa dan tenggara Sumatera. Di Batavia, guncangan pada dinihari saat hujan lebat itu meruntuhkan 21 rumah dan 20 lumbung. Sebanyak 28 orang tewas. Gempa juga menyebabkan tanah longsor di tebing utara Gunung Pangrango dan Salak, Jawa Barat. Tumpukan puing dan kayu memenuhi Sungai Ciliwung dan memicu banjir lumpur di Batavia.
Catatan itu berasal dari dokumen Belanda yang disusun Arthur Wichman sebagai bahan disertasinya di Royal Academy of Sciences, Amsterdam, pada 1918. Sebelumnya, birokrat Inggris yang menjadi penguasa Hindia Belanda, Sir Thomas Stamford Raffles, juga mencatat bencana di Batavia itu dalam buku History of Java (1917).
Cummins memperkirakan gempa itu berasal dari daerah penunjaman atau megathrust pada zona subduksi di selatan Jawa. Potensi sumber gempa saat itu juga diperkirakan berasal dari intraslab di lempeng Indo-Australia di bawah Pulau Jawa. "Kedalamannya sekitar 100 kilometer di sekitar Bogor," ujar peneliti Pusat Penelitian Mitigasi Bencana ITB, Nuraini Rahma Hanifa.
Sekitar delapan dekade kemudian, gempa kuat menggoyang Jakarta. Menurut Cummins, sumber gempa yang berkekuatan magnitudo 8 pada 1780 itu bisa berasal dari sesar Baribis di selatan Jakarta. Rahma mengatakan hasil riset Cummins masih memerlukan banyak tambahan data. Namun kajiannya tidak bisa diabaikan dalam riset ancaman gempa di Ibu Kota. "Ada yang pernah bilang sumber gempa Jakarta ada di bawahnya, tapi belum ada risetnya," kata Rahma.
Catatan sejarah menjadi data penting dalam riset dan pemetaan zona gempa. Namun, menurut Kepala Bidang Informasi Dini Gempa Bumi dan Tsunami Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika, Wandono, Indonesia tak punya data gempa yang memadai sebelum 1970.
Sebagian catatan gempa, menurut Wandono, sudah ada sejak 1900-an, yang berasal dari laporan otoritas Belanda, surat kabar, atau dokumen lain. Rekaman data kegempaan membaik setelah menjadi bagian dalam jaringan pemantau seismik global pada 1970. Kala itu Indonesia sudah punya stasiun geofisika dan melengkapi peralatan seismograf. Baru pada 1990 Indonesia menggunakan seismograf digital dan mendapatkan data yang lebih akurat.
Indonesia sangat rawan gempa. Jaringan kepulauan Nusantara berada di atas jalur pertemuan tiga lempeng tektonik Indo-Australia, Eurasia, dan Pasifik yang bergerak ke arah berlawanan karena pengaruh energi inti bumi yang panas. Lempeng Indo-Australia bergerak relatif ke utara, lempeng Eurasia menuju selatan, sedangkan lempeng Pasifik bergeser ke barat.
Daerah-daerah yang berada di sekitar pertemuan antarlempeng itulah yang sering dilanda gempa, yang meliputi sepanjang pesisir barat Sumatera, selatan Jawa, dan sebagian besar kawasan timur Papua. "Meski sudah punya data zona rawan, kesulitan utama adalah kita tidak pernah tahu kapan fenomena itu terjadi," kata Wandono, Rabu dua pekan lalu.
Setelah bencana alam yang melanda Aceh pada 2004, pemerintah mengubah peta zonasi gempa yang dikeluarkan dua tahun sebelumnya. Gempa tektonik dengan magnitudo 9 pada kedalaman 30 kilometer itu berlangsung sekitar 10 menit dan memicu tsunami, yang menewaskan lebih dari 120 ribu warga Aceh.
Studi Cummins mungkin bisa mengubah lagi peta gempa nasional yang dirilis empat tahun lalu. Informasi gempa itu tak dimasukkan karena datanya belum kuat. Menurut Bernardus Wisnu Widjaja, Deputi Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan Badan Nasional Penanggulangan Bencana, pemerintah tengah menyusun peta zonasi gempa baru. "Kemungkinan tahun depan selesai," kata Wisnu saat ditemui di kantornya, Senin dua pekan lalu.
Jakarta sebetulnya memiliki risiko tinggi dilanda gempa. Kota ini diapit beberapa sesar atau patahan yang merupakan retakan sepanjang blok pada kerak bumi. Patahan ini berbahaya jika aktif. Sebagai perbandingan, saat terjadi gempa bumi di Yogyakarta pada 2006, misalnya, sesar Opak, yang terentang dari Bantul hingga Klaten, ikut tergerak. Imbasnya, ribuan rumah yang berdiri di atas patahan itu roboh.
Di wilayah Jawa bagian barat terdapat sejumlah patahan yang "mengurung" Jakarta, yaitu di Ujung Kulon, Cimandiri, Lembang, Baribis, Tomo, dan Bumiayu. Tim peneliti Pusat Penelitian Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia dan Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi di Bandung menyebutkan sesar Lembang panjangnya mencapai 29 kilometer. Sesar ini terentang dari kawasan Padalarang hingga Cilengkrang. Sesar ini menjadi sorotan karena di atasnya terdapat hunian padat penduduk.
Menurut Wandono, pernah ada studi tentang patahan Baribis di selatan Jakarta. Tapi, "Sejauh ini hasil pemantauan BMKG menunjukkan tidak ada patahan aktif di bawah Jakarta," katanya.
Ada lebih dari 200 bangunan jangkung, termasuk 65 gedung pencakar langit setinggi lebih dari 150 meter, berjejer di pusat Kota Jakarta. Risiko semakin besar karena kota ini dihuni lebih dari 10 juta jiwa. Menurut Wisnu, gedung lebih dari delapan lantai di Jakarta sebenarnya sudah dirancang tahan gempa. "Yang paling berisiko itu adalah bangunan kecil, terutama rumah penduduk, karena banyak yang dibangun tidak sesuai dengan aturan," ujarnya.
Meski didesain tahan gempa, tak ada jaminan gedung pencakar langit itu aman dari guncangan hebat. Bangunan di pesisir Tohoku, Jepang, misalnya, dirancang tahan gempa hingga magnitudo 8. Tapi, ketika kawasan itu dilanda gempa berkekuatan magnitudo 9 pada 2011, lebih dari 127 ribu bangunan hancur dan menewaskan 15.893 orang.
Gabriel Wahyu Titiyoga, Anwar Siswadi (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo