Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Dari Bandung untuk Papua

30 November 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PESAWAT perintis N219 dirancang PT Dirgantara Indonesia (PTDI) bekerja sama dengan Pusat Teknologi Penerbangan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan). Dapat mengangkut 19 penumpang, pesawat ini diklaim memiliki kelebihan dibandingkan dengan pesaing di kelasnya, seperti DHC-6 Twin Otter buatan Viking Air Kanada dan Y-12 buatan Harbin Aircraft Manufacturing Cina.

Untuk kekuatan mesin, misalnya, N219 memakai dua mesin turboprop buatan Pratt & Whitney yang paling populer: PT6A. Sementara DHC-6 memakai PT6A-34 dengan kekuatan 750 shaft horsepower (SHP), yang termasuk varian kecil, N219 memakai PT6A-42 dengan 850 SHP, yang termasuk varian medium. Sedangkan Y-12 memakai yang lebih kecil, PT6A-27 dengan 620 SHP.

"Perlu pesawat yang cukup tenaga untuk melewati gunung-gunung. Juga untuk mendarat di landasan yang dibuat dengan tangan dan unit pendukungnya terkadang tidak ada," kata Direktur Teknologi dan Pengembangan PTDI Andi Alisjahbana kepada Tempo beberapa waktu lalu.

Memang, N219 diperuntukkan buat melayani rute penerbangan perintis, seperti di pedalaman Papua. Sejak 2005, PTDI dan Lapan melakukan survei ke beberapa wilayah di Papua, seperti Distrik Ilaga di Kabupaten Puncak, untuk mengetahui kebutuhan masyarakat akan transportasi. Kebanyakan landasan pacu bandar udara perintis di sana sangat pendek, sekitar 500 meter, serta belum beraspal alias beralas tanah dan berumput.

Budi Santoso, Direktur Utama PTDI, mengatakan banyak dari rancangan N219 ini mengakomodasi permintaan masyarakat Papua yang disurvei. Misalnya ruang kabin yang lebih luas dan tinggi serta pintu fleksibel yang menggantikan pintu belakang (ramp door) yang berat seperti di N212. Pintu fleksibel—terdiri atas dua daun pintu—yang berada di sebelah belakang itu memungkinkan pesawat ini membawa penumpang yang sakit dan terbaring di tempat tidurnya. Kursi-kursi di dalam pesawat ini juga dapat dilipat, disesuaikan dengan kebutuhan.

Pembuatan N219 tidak hanya menggunakan seratus persen sumber daya manusia dalam negeri, tapi juga memanfaatkan kandungan lokal, yakni komponen atau bagian yang diproduksi di dalam negeri. Menurut Budi, sekitar 40 persen dari total produksi N219 merupakan muatan lokal, dari struktur pesawat, roda pendaratan belakang, sampai seluruh elemen interior, jendela dan kaca, serta kursi.

"Jadi hampir semuanya buatan dalam negeri. Hanya mesin, roda pendaratan (landing gear) depan, sistem baling-baling (propeller), radar, dan sistem avionic yang masih dibeli karena belum ada yang bisa membuatnya di Indonesia," ujar Budi.

Pesawat yang rencananya terbang perdana pada Agustus 2019 ini pertama kali diperkenalkan ke publik (roll out) pertengahan bulan ini. Sebuah pesawat generasi baru yang dirancang untuk melayani penerbangan multimisi dan multiguna di wilayah terpencil.

Natalia Santi, Dody


N219

Mesin: 2 turboprop PT6A-42 (850 tenaga kuda) buatan Pratt & Whitney
Baling-baling: 4-blade metal propeller buatan Hartzell
Sistem avionic: G1000 buatan Garmin

Dimensi eksternal:
- Tinggi keseluruhan 6,18 meter
- Panjang keseluruhan 16,49 meter
- Rentang sayap 19,5 meter
- Jejak roda 3,7 meter

Dimensi internal:
- Tinggi kabin 1,7 meter
- Lebar kabin 1,7 meter
- Panjang kabin 6,5 meter
- Ruang bagasi 3,8 meter kubik

Bobot:
- Berat maksimum lepas landas 7.030 kilogram
- Berat kosong operasional 4.309 kilogram
- Muatan maksimum 2.313 kilogram
- Kapasitas bahan bakar maksimum 1.600 kilogram

Kinerja:
- Panjang landasan pacu lepas landas: 393 meter
- Panjang landasan pacu mendarat: 356 meter
- Jarak lepas landas (halangan 10 meter): 455 meter
- Jarak pendaratan (halangan 15 meter): 493 meter
- Kecepatan jelajah maksimum: 210 knot (389 kilometer per jam)
- Kecepatan jelajah ekonomis: 170 knot (315 kilometer per jam)
- Tingkat pendakian: 591 meter per menit
- Ketinggian operasional: 3.048 meter

Harga:
US$ 5-6 juta

Keunggulan:
- Mampu membawa muatan 500 kilogram lebih banyak daripada pesawat Twin Otter
- Harga lebih murah dibanding pesawat sekelasnya (US$ 6-7 juta)
- Dapat lepas landas di landasan pacu sepanjang 500 meter
- Hanya butuh landasan pacu sepanjang 800 meter untuk mendarat
- Dilengkapi peralatan navigasi digital

Peminat:
Aviastar dan Trigana, Kroasia, Laos, serta Thailand

Target produksi:
- 6 unit per tahun (2017), 10 unit per tahun (2018), 18 unit per tahun (2019)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus