Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Surabaya - Pakar politik Universitas Airlangga (Unair) Ali Sahab menegaskan penilaian bahwa Kabinet Merah Putih adalah upaya Presiden Prabowo Subianto untuk merangkul berbagai kelompok politik dan memastikan stabilitas koalisi. Kabinet yang terdiri dari 48 menteri dan 56 wakil menteri itu menjadikannya yang tergemuk sejak era Orde Baru hingga Reformasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Ali menjelaskan kabinet gemuk seperti itu memiliki dampak positif dan negatif. Dampak positifnya, stabilitas politik relatif stabil. "Dampak negatifnya, gemuknya kursi menteri berdampak pada anggaran dan potensi konflik internal,” katanya melalui keterangan yang dibagikannya, Jumat 25 Oktober 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Ali memberi contoh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang dipecah menjadi tiga: Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah, Kementerian Riset dan Pendidikan Tinggi, serta Kementerian Kebudayaan. “Kesan pemecahan ini tampak lebih mencarikan posisi partai koalisi,” kata dia.
Ali juga menyoroti tantangan anggaran yang akan muncul seiring bertambahnya jumlah kementerian. Menurut dia, penghematan anggaran perlu dilakukan karena kondisi keuangan APBN akan semakin berat ke depannya dengan penambahan kementerian.
Selain itu, pemecahan kementerian dapat menyebabkan kewenangan yang tumpang tindih. “Sehingga, efektivitas kinerja pemerintahan dapat berkurang,” ucap Dosen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unair itu.
Dia juga mengingatkan pentingnya kontrol dalam demokrasi. Sebab, kabinet gemuk yang terlihat mengakomodir semua kepentingan politik dan koalisi ini tampak berbahaya jika tidak dikontrol. “Prabowo ingin semua pihak bersatu, namun kontrol dalam demokrasi juga penting untuk meluruskan jika ada kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat,” katanya.
Ali menyimpulkan, keputusan Prabowo untuk memperbanyak kementerian dan menambah posisi wakil menteri merupakan langkah yang berani. Tapi, dia menambahkan, "Pada akhirnya, efektivitas pemerintahan tidak hanya bergantung pada jumlah menteri, tapi cara mereka bekerja untuk kepentingan rakyat."
Sebagai informasi, jumlah kementerian di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara. Undang-undang ini membagi kementerian dalam tiga kelompok, yakni kementerian fungsional, kementerian pendukung utama, dan kementerian koordinator. Undang-undang ini direvisi pada pada September lalu sehingga batasan jumlah kementerian dihapus dan presiden memiliki fleksibilitas penuh untuk menambah sesuai kebutuhan politik atau ekonomi.