Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Pemberian gelar doktor kehormatan atau honoris causa (HC) kerap menjadi sorotan, utamanya saat diberikan kepada tokoh publik atau selebriti. Seperti yang terkini diterima selebritas Raffi Ahmad.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi telah menyatakan melalui Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi (LLDIKTI) wilayah IV tidak mengakui gelar doktor hooris causa yang diterima Raffi dari sebuah universitas asal Thailand itu. Alasannya, tak sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Indonesia, yakni universitas harus memiliki izin menyelenggarakan pendidikan di sini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pengamat kebijakan pendidikan dari Universitas Airlangga (Unair), Agie Nugroho Soegiono, mengatakan proses pemberian gelar doktor HC memang tidak bisa sembarang. Dosen yang akrab disapa Agie itu menjelaskan bahwa pemberian gelar doktor kehormatan sejatinya memerlukan prosedur yang panjang dan ketat mengikuti Permendikbud Nomor 65 Tahun 2016.
Salah satu peraturannya, program studi yang memberikan gelar itu harus sudah terakreditasi A atau unggul. Selain itu, hanya dapat diberikan kepada individu yang telah memberikan kontribusi signifikan dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi, budaya, dan kemanusiaan. “Ada syarat-syarat yang sangat spesifik dan ketat yang harus dipenuhi," kata Dosen FISIP Unair ini melalui keterangan tertulis, Rabu 9 Oktober 2024.
Agie juga menuturkan jika seorang dengan gelar doktor harus memiliki kriteria yang dideskripsikan dalam Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) level 9 yang diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2012. Misalnya, mampu mengembangkan pengetahuan, teknologi, dan/atau seni baru di dalam bidang keilmuannya. Atau praktik profesional melalui riset, hingga menghasilkan karya kreatif, original, dan teruji.
Lebih lanjut, Agie menjelaskan bahwa pemberian gelar kehormatan harus melalui usulan dari senat akademik kepada pimpinan universitas. Pimpinan universitas kemudian mempertimbangkan rekomendasi dari senat yang melakukan uji kelayakan dan menyusun tim promotor sesuai dengan bidang ilmu calon penerima. Adapun uji kelayakan meliputi rekam jejak prestasi, kontribusi yang sudah terbukti, serta dampak yang dihasilkan bagi masyarakat.
"Proses ini mencakup penilaian yang sangat teliti dan perlu melibatkan berbagai pihak," katanya sambil menambahkan, "Ini menunjukkan bahwa gelar HC tidak hanya diberikan berdasarkan gelar akademik, tetapi juga pada kontribusi nyata dalam pengembangan masyarakat dan ilmu pengetahuan."
Pada bagian akhir, Agie berpesan kepada institusi pendidikan harus lebih berhati-hati dalam memberikan gelar doktor kehormatan. Pemberian gelar HC, kata dia, haruslah juga memperhatikan dampak yang ditimbulkan bagi masyarakat.
Kampus juga disebutnya perlu memastikan bahwa karya atau hasil kerja seseorang yang diusulkan untuk menerima gelar HC tidak hanya diakui secara formal tetapi juga dapat dipertanggungjawabkan. "Transparansi dalam proses ini sangat penting untuk menjaga kredibilitas dan integritas institusi pendidikan," ucap Agie.