Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Januari 2024 lalu adalah rekor baru pemanasan global untuk suhu rata-rata bulanan. Copernicus Climate Change Service di Uni Eropa mengukurnya 1,7 derajat Celsius lebih tinggi dibandingkan suhu rata-rata bulanan di periode sebelum revolusi industri, 1850-1900.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Januari 2024 menjadikan sudah ada 12 bulan yang suhu udara rata-ratanya lebih panas lebih dari 1,5 derajat Celsius daripada suhu rata-rata bulanan 1850-1900.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Tahun 2024 dimulai dengan sebuah rekor lagi untuk bulan terpanas," kata Samantha Burgess, Wakil Direktur Copernicus Climate Change Service dalam pernyataannya. "Reduksi cepat emisi gas rumah kaca adalah satu-satunya cara untuk menghentikan meningkatnya suhu global."
Pada Konferensi Iklim di Paris pada 2015, negara-negara menyepakati untuk mencoba menghentikan peningkatan suhu pemanasan global lebih dari 1,5 derajat Celsius di atas masa pra-industri. Dan, para ilmuwan iklim belum akan memandang batasan 1,5 derajat itu terlewati sampai suhu global jangka panjang rata-rata tetap di angka itu selama beberapa tahun.
Saat ini, menurut Richard Betts dari Kantor Meteorologi Inggris, rata-rata suhu global jangka panjang 1,25 derajat Celsius di atas masa pra-industri. Tapi, dengan emisi karbon yang masih terus meningkat, dia memastikan batas 1,5 derajat Celsius itu akan segera terlewati, kemungkinan sekitar 2030.
Suhu global rata-rata jangka panjang meningkat sejalan dengan proyeksi model-model iklim. Meski begitu, menghangatnya suhu yang ekstrem cepat dalam stahun atau dua tahun belakangan jauh melampaui perkiraan via pemodelan.
Di antara rekor-rekornya yang lain, 2023 juga memberi hari pertama di mana suhu-rata-ratanya lebih panas lebih dari 2 derajat Celsius dibandingkan rata-rata suhu harian 1850-1900.
Masih belum jelas kenapa suhu global telah menghangat dengan sangat cepat dan untuk berapa lama kondisi ini akan bertahan. Beberapa faktor yang mungkin telah menguatkan pemanasan global itu termasuk erupsi Gunung Api Tonga pada 2022 lalu.
Gunung Tonga di Samudera Pasifik sebelah selatan erupsi memuntahkan sejumlah besar air ke stratosfer. Juga faktor reduksi polusi aeorosol dari kapal laut.
Satu studi pada 2017 malah menduga bahwa hasil pengukuran selama ini memiliki deviasi sekitar 0,2 derajat Celsius. Satu studi lainnya adalah yang rilis belum lama ini, yang mengukur pemanasan global berdasarkan analisis terhadap kerangka hewan laut sea sponge.
Hasilnya, perubahan suhu pemanasan global mungkin 0,5 derajat Celsius lebih tinggi lagi daripada hasil pengukuran selama ini. Artinya, berdasarkan studi-studi itu, batas 1,5 derajat Celsius sebenarnya sudah terlibas--tapi ilmuwan iklim lain belum yakin.
NEW SCIENTIST, REUTERS