Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Berpacu dalam sinar matahari

Its membuat mobil listrik tenaga surya disponsori astra. rata-rata kecepatannya 40 km, jakarta-surabaya ditempuh 7 hari. mendikbud fuad hasan memberi nama mobil ini widya wahana i.

25 November 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MOBIL bertenaga surya itu mirip pisang sereh: berbadan lonjong dan berhidung mancung. Keistimewaannya, dia memiliki atap dari panel-panel surya, yang merentang sepanjang tubuh mobil, sebagai pengumpul tenaga matahari. Di Silang Monas, Jakarta Pusat, segayung air pun disiramkan oleh Menteri P & K Fuad Hassan ke hidung mobil itu Ahad pagi lalu. Lantas Fuad menghadiahkan nama "Widya Wahana I" kepadanya. Lalu, Menpora Akbar Tandjung mengangkat bendera start. Maka, menggelindinglah mobil listrik tenaga surya (MLTS) itu untuk mengawali perjalanannya ke Surabaya, menempuh jarak 773 km. Mobil tenaga surya pertama buatan tangan Indonesia itu kemudian berlari mengelilingi tugu Monas, diapit dua polisi bersepeda motor dan diiringi 30 sepeda balap. Satu kali putaran, mobil itu telah mencapai kecepatan 40 km per jam. Sepeda balap yang mengiringi pun mulai kewalahan, tertinggal jauh di belakang. Setelah dua putaran, mobil karya Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya (ITS) itu memasuki Jalan Thamrin-Sudirman, lalu bergerak ke arah timur. Di sepanjang jalan protokol itu Wahyu Dwiono, mahasiswa Teknik Mesin ITS, yang memegang kemudi MLTS itu tetap mempertahankan laju mobil pada kecepatan 40 km per jam. Jarak Jakarta-Surabaya itu akan dibagi menjadi tujuh etape, dan bakal ditempuh selama tujuh hari. Tak ada knalpot pada mobil itu. Tak ada pula kepulan asap. Tak terdengar deru mesin yang bising. Yang terdengar hanya suara putaran roda, mirip suara kipas angin. "Ini jenis mobil antipolusi," ujar Ir. Hadi Sutrisno, pembantu rektor III ITS, yang memikul tanggung jawab proyek mobil surya itu. Mobil surya itu panjangnya 280 cm, lebar 130 cm. Tingginya, dari ujung roda sampai ke kabin kemudi, 157 cm. Di atas badan mobil itu dipasang 6 buah panel surya, yang juga berfungsi sebagai atap. Pada setiap panel surya, yang berukuran 45 x 96 cm, terdapat sejumlah sel surya yang bisa mengubah energi matahari menjadi tenaga listrik. Tim ITS itu memakai panel surya buatan British Petroleum, Inggris. Pada siang hari yang terik dari setiap panel surya itu bisa dipanen listrik 55 watt. Jadi, keenam panel itu bisa menyumbang tenaga sebesar 330 watt. Hasil panenan listrik itu kemudian disimpan dalam 9 buah aki mobil merk Yuasa, yang dirangkaikan secara pararel. Alhasil, kesembilan aki itu memberikan daya 110 watt dengan arus 35 ampere. Setrum dari aki itulah yang kemudian dipakai untuk memutar motor listrik. Namun, tenaga yang dihasilkan oleh motor itu hanya 4 tenaga kuda (PK). Jauh lebih rendah dibandingkan dengan tenaga sedan mini Toyota Starlet 1.000 cc yang berdaya 50-an PK. Namun, menurut tim ITS itu, tenaga 4 PK tadi sudah cukup untuk membuat mobil Widya Wahana I (WW-I), yang beratnya 500 kg, itu menggelinding. "Kecepatan maksimum yang bisa dicapai 50 km per jam," kata Hadi Sutrisno. Dalam uji coba, sedan WW-I itu sanggup merayap dengan kecepatan rata-rata 30-40 km per jam, dan mampu mendaki tanjakan sampai 6 derajat. Di kabin WW-I hanya ada satu jok untuk pengemudi. Untuk memudahkan sang pengemudi mengontrol penampilan mobil tujuh buah panel instrumen dipasang sekaligus di dekat setir. Mereka terdiri dari: pemantau tegangan aki, penunjuk tegangan motor, ampermeter untuk mengukur arus yang masuk ke motor, penunjuk jarak tempuh (odometer), pengukur kecepatan (speedometer), penunjuk putaran mesin (tacho meter), dan penunjuk temperatur mesin. Kecuali ampermeter, instrumentasi WW-I itu menggunakan sistem digital. Jadi, tanpa harus menebak posisi jarum sebagaimana pada panel mobil konvensional, pengemudi langsung bisa melihat angka-angka. Panel-panel instrumentasi itu dibuat di bengkel ITS Surabaya. Rancangan WW-I itu secara keseluruhan dibuat oleh tim mahasiswa ITS, yang terdiri dari 15 orang, berasal dari lima jurusan. Tapi, pengerjaannya dilakukan di bengkel Federal Motor (Astra) di Jakarta Utara. Dalam proyek mobil tenaga surya ini, Astra tampil sebagai sponsor utama, menanggung 90% dari biaya riset yangn Rp 27 juta. Sumbangan Astra itu sebagian besar dalam bentuk in natura. Berbagai bahan baku dan komponen pada WW-I memang "meminjam" barang Astra. Empat buah roda pada mobil itu, misalnya, setipe dengan roda sepeda motor GL Pro. Lalu rem pada kedua ban belakangnya pun memakai sistem disc brake, yang persis dengan rem cakram pada motor GL. Sistem suspensinya pun masih membonceng motor GL. Enam buah schock breaker pada WW-I itu, dua untuk roda depan dan empat untuk belakang, "meminjam" dari Honda GL. Sedangkan master silinder serta sistem transmisinya, diambil dari Toyota Kijang dan sepeda motor Honda Win. Badan mobil WW-I ini pun masih "berbau" motor. Rangka dan chasisnya dibikin dari pipa-pipa besi sepeda motor. Sedangkan dinding dan deknya dibuat dari serat gelas. "Biar ringan," ujar Agus Susilo, mahasiswa Teknik Fisika, yang ikut merancang mobil itu. Bobotnya yang kecil itulah yang memungkinkan WW-I bisa menempuh perjalanan 7-8 jam, jika aki telah di-charge dan berisi penuh. Pengisian aki itu memerlukan waktu antara 5 dan 8 jam. "Pengisian bisa dilakukan sambil jalan," kata Hadi Sutrisno. Namun, jika sepanjang perjalanan hujan turun, aki mobil surya itu bisa dicatu dengan listrik PLN. Jejak eksperimen mobil listrik telah dimulai di Eropa, oleh Ayrton pada 1888, hanya terpaut dua tahun dari penemuan mobil bensin. Lantas di Iowa, AS, jenis mobil berbatere itu muncul pada 1891, dibuat oleh William Morrison. Mobil buatan Morrison ini sempat mencengangkan dunia, lantaran mampu menggelinding terus-menerus selama 13 jam, dengan laju rata-rata 24 km per jam. Jepang tak ketinggalan. Pada 1924, sebuah sekolah teknik di Kobe telah membuat prototip mobil tenaga batere berdaya angkut enam penumpang. Seiring dengan perkembangan teknologi, belakangan, mobil listrik itu dikawinkan dengan fotovoltaik alias sel surya. Perkembangan mobil bertenaga surya ini baru dimulai pada akhir 1960-an, setelah fotovoltaik, yang terbuat dari kepingan silika, mulai memasyarakat. Dari hampir 12.000 unit mobil listrik yang kini diteliti di Jepang, diduga bahwa 50% di antaranya menggunakan panel surya. Namun, mobil jenis ini dianggap belum laik masuk industri untuk diproduksi secara massal guna transportasi umum. Saat ini, mobil listrik kecil memang diproduksi, tapi bukan bertenaga surya, hanya memakai listrik dari batere. Pemakaiannya pun untuk keperluan khusus: buat para pemain golf, misalnya. Sejumlah eksperimen -- untuk membuat pesawat terbang ringan bertenaga surya -- juga telah bertahun-tahun dilakukan di beberapa negara. Tampaknya, kemandekan itu berpangkal dari kecilnya energi surya yang bisa dipanen. Hanya 15-18% tenaga surya yang terjaring bisa diubah jadi listrik. Akibatnya, "Timbul problem dalam hal bobot dan kecepatan kendaraan," ujar Dr. Adang Suwandi, pakar sel surya dari ITB. Maksudnya, keterbatasan daya mesin itu menyebabkan ukuran mobil harus kecil, dan tak bisa jalan kencang. Alhasil, tak banyak orang yang menginginkan. Adang pernah membimbing penelitian pemanfaat panel surya untuk mobil. Daya yang dihasilkan batere pencatu mesin cukup besar, yaitu 200 ampere, enam kali lebih besar dibandingkan dengan batere buatan ITS. Tapi, penelitian itu mandek juga. "Biasa, penelitian di perguruan tinggi paling-paling cuma sampai tingkat skripsi," tuturnya sembari tertawa. Hadi Sutrisno tetap optimistis, kendati mobil tenaga surya itu kurang "laku" di Jepang, Amerika, atau Eropa. Untuk Indonesia yang tropis, "Mobil tenaga surya ini punya prospek yang baik. Sebab, matahari hadir sepanjang tahun," ujar Hadi. Jika eksperimen ITS itu berhasil, kata Hadi, hak patennya akan dibeli Astra. Putut Tri Husodo, Tommy Tamtomo, Hedy Susanto, dan M. Baharun

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus