KEBIASAAN ngemil (snacking) sudah lama dipercayai bisa membikin gemuk tubuh. Mereka yang suka jajan, dan juga mantan perokok yang menjadi kecanduan ngemil setelah berhenti merokok, kata orang, bakal gemuk. Kegemukan, dalam konteks ini, berarti kadar kolesterol dalam darah tinggi. Maka, bila diterjemahkan ke bahasa medis, ngemil bisa dikatakan akan menaikkan kadar kolesterol dalam darah selain meningkatkan risiko terkena penyakit jantung. Apa betul? Ternyata, tidak. Hasil penelitian mutakhir menunjukkan: ngemil justru cara yang baik untuk menurunkan kadar kolesterol dalam darah. Kesimpulan ini dikemukakan oleh Dr. David J.A. Jenkins, dari University of Toronto, Oktober silam. "Secara umum kadar kolesterol turun rata-rata 9% bila seseorang mengganti kebiasaan makan tiga kali sehari dengan ngemil sepanjang hari," katanya dalam kesimpulan penelitiannya. Secara lebih pasti, Jenkins menemukan "diet ngemil" bisa menurunkan kadar Low Density Lipoprotein (LDL) pada kolesterol sampai 14%. LDL adalah fraksi lemak yang encer dalam darah. Ini merupakan "lemak jahat" karena mudah menempel pada dinding pembuluh darah dan bisa menimbulkan penyumbatan. LDL inilah yang meningkatkan risiko penyakit jantung. Sementara itu, fraksi lemak lainnya, High Density Lipoprotein (HDL), yang lebih padat berfungsi menggaruk lemak yang menempel pada dinding-dinding pembuluh darah. Maka, ngemil, otomatis bisa menurunkan risiko jantung. Hasil penelitian tersebut, kata Jenkins, khusus ditujukan kepada mereka yang makan satu kali sehari, tapi secara "habis-habisan". Mereka ini, biasanya, mengurangi makan pada sarapan dan makan siang, lalu melahap porsi besar ketika makan malam. "Cara makan seperti ini sangat tidak sehat, dan terbukti menaikkan kadar kolesterol. Kalau mau makan tiga kali sehari, lebih baik makan dengan jumlah yang agak merata," katanya. Namun, di kalangan mereka yang punya kebiasaan makan tiga kali secara teratur, kadar kolesterol ditemukan masih naik juga. Karena itu, kelompok ini biasanya berpantang ngemil untuk mencegah kenaikan kolesterol secara berlebihan. Dari sini barangkali timbul gagasan, bagaimana kalau justru ngemil yang diambil sebagai pola makan. Inilah yang dicoba Jenkins. Dalam penelitiannya ia meminta tujuh sukarelawan makan tiga kali sehari, sebanyak 2.500 kalori selama dua minggu. Setelah itu, ia mengukur kadar kolesterol mereka. Pada dua minggu selanjutnya ahli ini meminta ketujuh sukarelawan itu makan dengan cara ngemil 17 kali sehari, juga sebanyak 2.500 kalori. Jenkins menemukan kadar kolesterol menurun, khususnya LDL, fraksi lemak yang berbahaya itu. Mengapa kadar kolesterol bisa menurun, padahal jumlah kalori yang dikonsumsi, 2.500 kalori, sama? Jenkins berangkat dari mekanisme dasar: jumlah makanan yang masuk senantiasa paralel dengan naiknya kadar hormon insulin dalam darah. Artinya, semakin banyak makanan masuk, semakin besar pula jumlah insulin diproduksi kelenjar pankreas. Insulin yang berfungsi mengikat gula dalam darah inilah yang merangsang liver memproduksi kolesterol. Dalam percobaannya, Jenskins segera menemukan pada mareka yang makan tiga kali dalam jumlah banyak, kadar insulin dan kolesterol naik tinggi sekali, tiga kali sehari. Karena itu, jumlah kolesterol menjadi sangat berlebih dan kemungkinannya bersisa dalam darah menjadi besar. Bila dibandingkan dengan mereka yang ngemil, kadar insulin dan kolesterol dalam darah naik berulang kali, tapi sangat sedikit dalam jumlahnya. Kenaikan ini dalam perhitungan Jenkins proporsional. Karena itu, tidak terdapat kemungkinan penimbunan sisa lemak dalam darah. Namun, Jenkins mengingatkan, ngemil dalam percobaannya tidak memperhitungkan sisi psikologis. Artinya, ada orang yang punya kebiasaan ngemil karena selalu lapar begitu ia melihat makanan. Ngemil secara habis-habisan ini tak masuk dalam anjuran Jenkins. Jim Supangkat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini