Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sains

Budaya Tato Peninggalan Austronesia di Papua Terancam Punah

Tato tradisi Austronesia yang sudah berumur 3 ribu tahun milik Suku Sentani, Moi dan Waropen di Papua terancam punah. perlu pendomentasian segera.

17 Desember 2019 | 06.47 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Tato merupakan salah satu budaya di pesisir utara Papua yang dikenalkan oleh orang Austronesia dari Asia yang bermigrasi ke wilayah Papua pada masa prasejarah sekitar 3.000 tahun lalu. Terdapat tiga suku di Papua yang memiliki tradisi membuat tato yaitu Suku Sentani, Moi dan Waropen.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Tato tradisional suku Sentani, Kabupaten Jayapura yang biasa disebut enahu oleh penduduk setempat, mulai terlupakan. Pengetahuan salah satu tradisi penduduk asli suku Sentani ini hanya terbatas pada orang yang sudah tua saja, sementara generasi muda sudah tidak ada lagi,” ujar arkeolog dari Balai Arkeologi Papua, Hari Suroto, Senin, 16 Desember 2019.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dalam buku Man's Conquest of The Pacific, Peter Bellwood, profesor arkeologi Australian National University menyimpulkan bahwa penutur Austronesia datang ke Papua dan Pasifik Selatan sekitar 3.000 tahun lalu.

Dari sekian seni budaya Sentani yang ditampilkan di Festival Danau Sentani (FDS) dari tahun ke tahun, kata Hari, belum pernah menampilkan tradisi tato suku Sentani. Itu sebabnya, menurut dia, perlu dilakukan penelitian untuk mendokumentasikan tato tradisional Sentani sebelum punah. Tato perempuan Sentani, Kabupaten Jayapura, Papua. (Dok Hari Suroto/Balar Papua)

Bahan pembuat enahu (tato) berupa arang hasil pembakaran kayu wam dicampur getah pohon sukun. Kemudian duri sagu atau tulang ikan dicelupkan ke dalam getah dan arang, lalu ditusukkan pada dada, pipi, kelopak mata, betis dan pinggul serta bagian belakang tubuh. “Tato dibuat tiga bulan sebelum upacara perkawinan dilaksanakan,” kata Hari.

Motif tato untuk perempuan Sentani yaitu gambar ikan sembilan, belut, dan burung cenderawasih. Fungsi tato untuk mempercantik wajah pengantin wanita. Sedangkan lambang dari burung cenderawasih maupun ikan adalah seorang wanita menjadi sumber kehidupan bagi anak-anak maupun masyarakatnya.

Sementara fungsi tato bagi pria adalah untuk membuat kegantengan pengantin pria. Tato untuk pengantin pria Sentani berbentuk buaya, ikan hiu gergaji, ular dan kasuari. Hewan-hewan ini melambangkan kejantanan dari seorang pria.

“Pengantin pria harus jantan menghadapi tantangan hidup yang harus dihadapi dengan jiwa kejantanan sehingga mencapai kesuksesan yang besar,” tutur Hari. “Desain tato disesuaikan dengan luas sempitnya bagian tubuh yang hendak ditato, misalnya, tato di hidung akan mengikuti bentuk hidung.”

Perhiasan tubuh yang lazim dikenakan, baik oleh laki-laki maupun perempuan Sentani adalah tato pada wajah dan beberapa bagian tubuh (tangan dan kaki) yang dibuat secara permanen. Tato adalah simbol kekuasaan, kecantikan, dan status sosial seseorang. Oleh karena itu, jenis dan bentuk tato tergantung pada status sosial (ondofolo, kotelo/kepala suku, dan yobu yoholom) dan jenis kelamin.

Tato pada Suku Moi saat ini hanya digunakan generasi tua suku  di Kabupaten Sorong, Papua Barat itu. Mereka masih menerapkan tato pada tubuhnya, sedangkan generasi mudanya sudah tidak menerapkan tato lagi, sehingga diperkirakan terancam punah. Suku Moi merupakan suku asli yang tinggal di Kabupaten Sorong.

“Wilayah Kabupaten Sorong dikenal dengan wilayah hukum adat Suku Moi atau lebih dikenal dengan suku Malamoi. Tato bagi Suku Moi merupakan hiasan tubuh, dan bahan pembuat tato berupa arang halus (yak kibi) hasil pembakaran kayu dicampur getah pohon langsat (loum),” ujar Hari.

Kemudian, duri dari pohon sagu atau tulang ikan dicelupkan ke dalam ramuan getah langsat dan arang yang selanjutnya ditusukkan pada bagian tubuh yang akan dibuat motif tato tradisional tersebut. “Bisa di bagian dada, pipi, kelopak mata, betis dan pinggul serta bagian belakang tubuh,” kata dia.

Menurut Hari, tato tradisional Suku Moi merupakan budaya yang harus dilestarikan, hal ini diperlukan kerjasama berbagai pihak untuk melestarikannya. Baik itu mulai dari lembaga masyarakat adat, generasi tua suku Moi, generasi muda suku Moi dan dinas terkait. 

Motif tatonya berupa geometris atau garis-garis melingkar serta titik-titik berbentuk segitiga kerucut atau tridiagonal yang dibariskan. “Pelestarian tato tradisional Suku Moi yaitu dengan cara melakukan penelitian, pendokumentasian, dan mewariskannya ke generasi muda,” kata Hari

Sementara pembuatan tato pada orang Waropen, Papua lebih banyak dilakukan perempuan daripada laki-laki. Selama tahun-tahun puberitas para gadis Waropen membuat banyak tato di tubuh mereka (juga onda: lukisan tentang perahu, huruf, dan tulisan), keduanya pada dada dan kaki dan pada lengan wajah.

“Pola tersebut pertama kali ditujukan pada kulit dengan pemberian warna hitam, yang kemudian ditusuk-tusuk dengan menggunakan dua tulang ikan, diikatkan bersama pada sepasang batang kayu, yang dipukul pelan-pelan dengan sepotong kayu yang lain,” tuturnya.

Kemudian, Hari melanjutkan, luka-luka kecil itu digosok lagi dengan warna hitam sehingga menjadi sedikit meradang, dengan demikian motif tersebut tetap tidak dapat terhapus dalam kulit. Seluruh proses tersebut menyakitkan dan karena alasan itu pembuatan tato dilakukan secara bertahap.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus