Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Orang bisa saja menganggap benda berwarna perak keemasan itu pengganjal pintu. Sebesar kamus, baja yang satu ini terasa dingin di bawah mesin penyejuk udara. Dibandingkan dengan baja biasa, beratnya hanya tiga kilogram—separuh berat baja biasa untuk benda seukuran kamus tebal itu.
Benda itu bukan balok besi biasa, melainkan baja laterit, yang sedang dikembangkan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Di Gedung LIPI, Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan, pertengahan Desember 2014, para ilmuwan dari Pusat Penelitian Metalurgi dan Material LIPI memperkenalkan baja itu kepada khalayak luas.
"Bahan dasarnya mineral limonit," kata Kepala Puslit Material Andika Widya Pramono kepada Tempo, kala itu. Limonit merupakan mineral padat dengan kandungan nikel (Ni) rendah, 0,81,3 persen; dan kadar bijih besi (Fe) 3545 persen. Sekadar perbandingan, baja biasa berbahan dasar mineral saprolit memiliki kandungan nikel di atas 1,5 persen dan bijih besi di bawah 25 persen.
Limonit selama ini dianggap limbah dalam industri baja, berbeda dengan saprolit, sang "primadona". Karena itu, tidak banyak yang peduli akan nilai ekonominya yang tinggi dan keberadaannya yang melimpah di bumi Indonesia. Tiga tahun meneliti bahan ini, Yusuf, peneliti senior di Puslit Metalurgi, memujinya tinggi, "Bahkan lebih kuat daripada baja biasa," katanya.
Selama meneliti, tim mendapat bantuan bahan baku dari PT Indoferro. Perusahaan yang berbasis di Cilegon, Banten, ini menyediakan nickel pig iron (NPI)—besi nikel siap lebur—yang bahan dasarnya limonit. NPI kemudian dikonversi menjadi baja di Balai Pengolahan Mineral LIPI di Tanjung Bintang, Lampung. Selama proses konversi, NPI dipanaskan di dalam tungku bersuhu 1.800 derajat Celsius hingga mencair. Di laboratorium Puslit Metalurgi di Serpong, tim peneliti mengubah baja menjadi batangan, pelat, atau balok seperti yang dipajang di LIPI. "Di Serpong, ketahanan baja kami uji."
Eksperimen panjang itu membuahkan hasil. Dari uji ketahanan, baja berbahan dasar limonit terbukti ratarata mampu menahan kekuatan 600700 megapaskal. Kekuatan yang menurut Andika setara dengan ketahanan 180 balok kayu dijadikan satu. Padahal baja lunak di pasar berbahan dasar saprolit sudah patah dua ketika ditarik dengan kekuatan 400 megapaskal. Megapaskal adalah satuan yang lazim digunakan dalam dunia metalurgi dan teknik sipil. Satuan tersebut, dia menjelaskan, dipakai untuk menggambarkan tingkat ketahanan suatu material.
Daya tahan baja laterit hampir menyamai baja Weldox 700. Baja buatan Amerika Serikat ini mampu bertahan hingga tarikan 780930 megapaskal. Meski kekuatannya di bawah Weldox, tingkat kelenturan baja laterit tetap unggul. Sebelum patah atau hancur, baja hasil pengembangan LIPI ini ratarata dapat memanjang 25 persen dari ukuran normal. Padahal, "Tingkat kelenturan Weldox paling tinggi hanya 14 persen."
Melihat kelenturannya, baja laterit dapat digunakan untuk konstruksi bangunan dan infrastruktur, bahkan dikembangkan sebagai bahan baku industri senjata. Kepala Departemen Teknik Metalurgi dan Material Universitas Indonesia Sri Harjanto menilai pengembangan baja itu merupakan terobosan besar. Apalagi cadangan limonit di Indonesia sangat besar.
Menggunakan laterit berarti menghemat berawal dari pengurangan konsumsi batu bara kokas, bahan bakar untuk meleburkan bijih besi. Dibandingkan dengan produksi satu ton NPI, yang menghabiskan 1.4001.600 kilogram batu bara, peleburan baja laterit memerlukan bahan bakar yang cukup rendah. "Hanya 8001.000 kilogram," kata Harjanto.
Uji coba skala pabrik sebanyak 100 ton akan digenjot selama enam bulan ke depan. LIPI berencana menggandeng salah satu perusahaan badan usaha milik negara yang bergerak di sektor tambang dan material untuk proses tersebut. "Proses tersebut tak semudah seperti eksperimen di laboratorium," katanya. Tapi di sinilah limonit akan membuktikan diri bukan sekadar balok kecil pengganjal pintu.
Amri Mahbub
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo