Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Obituari

Yang Lesap Bersama Sang Pengarsip

Pengamat musik Denny Sakrie meninggal akibat serangan jantung. Pengarsip yang tiada duanya.

12 Januari 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di kalangan kenalannya, dia dijuluki Ensiklopedia Berjalan—mengalahkan Google, dia bisa seketika menjawab pertanyaan apa saja yang berkaitan dengan musik, termasuk lagu yang kebetulan menyerupai lagu yang lebih dulu ada. Tapi, sebenarnya, pengetahuan dan ingatannya yang tiada duanya itu hanya sebagian dari apa yang bakal ikut lesap bersamaan dengan kepergiannya menghadap Tuhannya.

Hamdan Syukrie, lebih dikenal sebagai Denny Sakrie, meninggal pada Sabtu dua pekan lalu karena serangan jantung. Setidaknya bagi kenalan dan temannya, kejadian ini terasa tibatiba. "Kami baru mengobrol beberapa hari lalu. Saya malah mau menyuratinya. Tapi lalu saya mendapat berita duka," kata Leonardo Pavkovic, pemilik Moonjune Records di New York, Amerika Serikat, yang belakangan rajin menerbitkan album musikus progresif Indonesia. Kepada Denny, yang dikenalnya sejak 2003, Pavkovic sering bertanya tentang apa dan siapa dalam musik Indonesia, dan mereka malah sedang merencanakan beberapa proyek bersama.

Proyekproyek itu merupakan bagian dari apa yang sedang dikerjakan Denny. Semuanya bertumpu pada pengetahuan serta ketekunannya mengikuti dan mencatat halihwal musik, terutama musik Indonesia. Dia, misalnya, diketahui baru merampungkan buku ambisius tapi bakal sangat berharga, 100 Tahun Musik Indonesia (19052005). Sebagai penulis yang produktif, secara artistik dan gaya dia mungkin tak semengesankan John Savage atau seblakblakan Lester Bang—dua "model" penulis musik fenomenal. Meski demikian, tulisannya di sejumlah media, juga di blognya yang selalu diperbaruinya dengan sepenuh hati, memuat harta karun data dan informasi yang melimpah.

Lahir di Maluku pada 14 Juli 1963, Denny mengenal musik sejak kecil. Dia mengawali karier sebagai penyiar di Radio Madama, Makassar, pada 1988. Memutuskan hijrah ke Jakarta pada 1991, dia kemudian bergabung dengan Radio Suara Irama Indah. Pada 1995, dia menjadi penyiar di M97 FM, radio khusus musik classic rock, dan mengasuh acara Collector's Time. Format acara ini, waktu itu, tergolong lain: ulasan musik—classic rock, tentunya—secara mendetail lengkap dengan telaah diskografi serta proses kreatifnya.

Melalui Collector's Time, Denny tak hanya menjadi jembatan antara subyek acara dan pendengarnya. Tapi, "Dia juga tokoh sentralnya karena pengetahuan dan kemampuannya sebagai pengarsip. Dengan itu dia menghidupkan acara," kata Ella Su'ud, Program Director M97 pada masa itu.

Menurut Ella, acara tiga jam setiap Rabu malam itu dianggap sesuai dengan target pemasaran M97. Pendengar menyukainya karena informasinya lengkap dan musikus yang diundang pun tampil sebagai teman diskusi yang setara. "Kalau mau disebutkan, ukuran suksesnya adalah, pertama, orang jadi ingat Denny Sakrie dan, kedua, kopi siarannya, dalam format kaset, sampai beredar di Jalan Surabaya," kata Ella. Jalan Surabaya di Jakarta Pusat adalah lokasi penjualan barang bekas, termasuk kaset, CD, dan piringan hitam.

M97 banting setir menjadi radio dangdut pada September 2005. Denny meninggalkan radio itu jauh sebelumnya. Dia masih sempat bertahan di dunia siaran, yang menurut dia memungkinkan orang dihargai karena pengetahuannya, bukan tampangnya. Tapi kegiatannya sebagai pengarsip justru semakin intensif. Koleksinya bertambah—kaset, CD, piringan hitam, majalah, buku, bahkan aneka foto.

Semua itu tak dia simpan untuk dirinya sendiri. Selain tulisan di blog dan artikel yang berserakan di berbagai media, atau posting di Facebook dan cuitan di Twitter, dia membagikan pengetahuannya dengan menulis buku. Yang sudah diterbitkan antara lain Musisiku (bersama Komunitas Pencinta Musik Indonesia) dan Chrisye Masterpiece (audio book yang diterbitkan PT Musica Studio's).

Kegiatan yang belakangan juga memenuhi hariharinya adalah menjadi narasumber acara televisi dan diskusi atau juri kompetisi musik. Sejak 2010, dia bahkan tak pernah absen menyeleksi dan mengusulkan albumalbum musik untuk keperluan liputan khusus tahunan tokoh seni majalah Tempo. Dengan aneka kesibukan ini, dia sebenarnya telah melampaui apa yang sempat dicapainya dengan semata berada di studio siaran.

Sepeninggal Denny, sekurangkurangnya ada dua "warisan" tugas bagi temantemannya, atau siapa pun yang peduli pada musik Indonesia: bagaimana merawat koleksi pribadinya dan bagaimana melanjutkan apa yang telah dikerjakannya. Yang pertama mungkin akan mudah: izin keluarganya sajalah yang dibutuhkan. Tugas kedua kelihatan bakal jadi pekerjaan raksasa yang membutuhkan upaya keroyokan, sampai muncul figur yang bisa menggantikannya.

Purwanto Setiadi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus