Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ret eret ret eret / Lir ilir kabur rambatrambat angin...." Seorang lelaki tanpa baju muncul dari balik kegelapan. Dari mulutnya, terlantun tembang. Kepala plontos, dahi berhias paes. Selembar jarit membalut tubuh bagian bawahnya. Berjalan ke arah panggung kecil di ujung selasar, ia tak ragu menyibak barisan orangorang. "Ret eret ret eret…" suaranya menjadi lirih sebelum berhenti.
Di panggung berlatar gebyok, ia bersimpuh di depan kaca. Mematut diri, merias wajah. Ia pasang konde ke kepala. Lalu setagen merah dipasang untuk menutup dada. Kini sosok lelakinya tersamar dalam dandanan perempuan. Ia raih setangkup kembang—melati, mawar, dan kantil—dari atas meja di depan kaca rias. Ia katupkan kedua tangan dan angkat sembah. Merapal mantra. Dan kembang terlempar ke udara. Berharap berkah para dewa.
Ritual itu menjadi adegan pembuka Menunggu, performance karya koreografer lulusan Institut Seni Indonesia Surakarta, Otniel Tasman, dalam "Router Art Project"—program residensi akhir tahun di Rumah Seni Cemeti, Yogyakarta. Dalam pementasan yang digelar di selasar Rumah Cemeti pada Selasa malam pengujung Desember tahun lalu itu, Otniel menghadirkan gambaran lengger lanang (penari lengger lelaki) berusia 90 tahun—ia sebut penari lengger terakhir asal Banyumas, Dariah.
Menurut Otniel, pada usia senja, Dariah yakin masih ada kekasih sejati untuknya. Ia, kata Otniel, pernah merajut kasih dengan dua lelaki. "Cuma sekarang keduanya sudah beristri," ujar Otniel. Koreografi ini berkisah tentang penungguan Dariah.
Di ujung pementasannya, Otniel memperlihatkan adegan seseorang yang didera sesak napas. Tubuh itu tersentak seiring dengan tarikan napas yang tersengalsengal. Tatkala adegan itu berhenti, tubuh Otniel kembali tegak. Berdiri dengan mata menerawang, tangannya meraih tabir hitam di sisi panggung. Ia seperti sedang mengintip dari dalam bilik, melihat kejauhan berharap kekasihnya datang. Toh, yang dinanti tak kunjung tiba. Ia tutup tabir dan tubuhnya berangsur mundur.
Sebagai pengganti kekosongan hati, ia melantunkan tembang cinta sesama yang syairnya digubah oleh seniman tradisional Banyumas, Yayat. "Dasarnya saya memang penari lengger," ucap Otniel. Ia menekuni tarian itu dalam empat tahun terakhir. Tubuhnya gemulai menari. Anggun dan tak terlihat lagi karakter lelaki pada dirinya. Gerak tubuhnya lincah dan penuh energi seiring dengan tabuhan kendang serta calung yang diputar dari rekaman pada komputer jinjing di sudut ruangan.
Menunggu seolaholah menghadirkan batas samar antara maskulin dan feminin. Kata lengger, menurut dia, sebenarnya berasal dari gabungan dua kata, leng dan jengger. "Dikira leng ternyata jengger," ujarnya. Konon, kata lengger juga bermakna eling ngger (ingatlah, nak). Selain sebagai kesenian, tarian ini berisi ajakan untuk selalu ingat kepada Tuhan dan waspada menjalani kehidupan. Sebagian masyarakat di Jawa, menurut Otniel, ada yang menempatkan lengger sebagai mediator antara dunia bumi dan langit.
Seperti tergambar dalam mantra (doa) yang lazim diucapkan penari lengger sebelum pementasan. Sulasih sulanjana / Kukus menyan ngundang dewa / Ana dewa adaning sukma / Widodari temuruna / Turunturun sesanga / Ana gegari lima / Ada dewa nggendong suksma / Widodari termurana. "Lengger itu kan dulu lantarane gusti," katanya.
Pementasan Menunggu merupakan pertunjukan kedua dari tiga presentasi Otniel dalam Router Art Project. Sementara Menunggu #1 digelar pada 27 Desember 2014, Menunggu #3 berlangsung pada 10 Januari ini. Berbeda dengan Menunggu #2 yang menampilkan ketabahan lengger lanang menanti kekasih, Menunggu #1 menampilkan kekuatan seseorang mengamini iman kepada Tuhan. Untuk Menunggu #3, Otniel mengaku belum menyiapkan format dan bentuk performancenya. "Belum terbayang seperti apa nanti," ucapnya.
Pengelola Rumah Seni Cemeti, Nindtyo Adi Purnomo, mengatakan Router Art Project adalah program eksperimental di Cemeti. Ia mengatakan pendaftaran peserta Router Art Project dibuat terbuka. Sebanyak 26 enam seniman mengajukan dan dipilih lima, di antaranya Otniel. Mereka berproses sejak 5 Desember 2014. Kelimanya terlibat diskusi dan mengikuti sejumlah workshop tentang seni.
Menurut Otniel, selama proses mempersiapkan gagasan pementasan itu, ia banyak menerima masukan dari peserta lain. Misalnya pemilihan lokasi pementasan di selasar. "Sebelumnya, saya menginginkan pementasan di ruangan yang lebih luas," katanya.
Dan, menurut Otniel, ternyata itu justru tepat untuk pementasannya. Sempitnya ruang justru memperkuat citraan bilik tempat penari lengger merias diri sebelum naik ke panggung. Terlebih di selasar itu terdapat gebyok, yang seharihari berfungsi sebagai pembatas lobi dan ruang pamer di Rumah Seni Cemeti. "Malah pas untuk latar belakang panggungnya. Jadi mirip seperti kamar beneran," ujarnya.
Anang Zakaria
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo