Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Bunga-bunga di selat mentawai

Expedisi mentawai '90 menemukan sesar baru,patahan lempeng bumi yang membentang dari pantai sumatera barat sampai ke sisi selat sunda, disebut sesar mentawai. ancaman dari gunung krakatau.

27 April 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sesar baru ditemukan di Selat Mentawai. Ada patahan silang di Selat Sunda. Namun, ancaman tetap datang dari Gunung Krakatau. PETA geologi Indonesia bakal mengalami perubahan penting. Sejumlah ahli geologi, gabungan dari Indonesia dan Prancis, telah menyimpulkan adanya sesar baru, patahan lempeng bumi yang membentang dari pantai Sumatera Barat sampai ke sisi selatan Selat Sunda. Sesuai dengan lokasi penemuannya, patahan baru itu disebut Sesar Mentawai. Patahan baru itu terungkap lewat serangkaian survei yang dilakukan September-Oktober 1990 silam. Namun, analisa atas data hasil ekspedisi kelautan yang menyimpulkan adanya patahan baru itu baru rampung Maret lalu. Ekspedisi ini melibatkan sembilan orang geolog Indonesia, dari pelbagai instansi, enam ahli Prancis, dan sejumlah teknisi. Selama survei berjalan, tim Indonesia dipimpin Dr. Hery Harjono dari Puslitbang Geoteknologi LIPI, Bandung, sedangkan tim Prancis di bawah Prof. Diament dari Universitas Paris Sud. Ekspedisi ini berlayar dengan kapal survei geologi-geofisika pertama yang dimiliki Indonesia, Baruna Jaya III. Di bawah arahan nakhoda Letnan Kolonel I Nyoman Arinu dari TNI AL, Baruna Jaya III bergerak meninggalkan Dermaga Tanjungpriok pada tengah hari 21 September 1990. Kapal riset berbobot 700 ton ini menuju Selat Sunda, lalu menyusuri pantai barat Lampung, Bengkulu, dan Sumatera Barat, sampai ke Pelabuhan Telukbayur, Padang. Sejak lepas dari Selat Sunda, Baruna Jaya III bergerak secara zig-zag ke arah barat laut. Daerah yang diamatinya ada pada jarak sekitar 80 km dari garis pantai. Pada manuver zig-zag itu, Baruna Jaya III, yang memiliki mesin 825 tenaga kuda (PK) itu, belok dan berbalik arah setiap menempuh jarak 40 km. "Dengan jalan zig-zag, makin banyak data yang bisa kami kumpulkan," kata Hery Harjono, 39 tahun. Tim ekspedisi itu sebelumnya memang telah "mencurigai" adanya Sesar Mentawai itu. Pasalnya, dari survei-survei sebelumnya, mereka mengetahui adanya patahan yang berjarak 50-70 km dari Selat Sunda. Sementara itu, dalam peta geologi lama disebutkan adanya patahan, yang menjadi batas antara lempeng Sumatera dan lempeng Hindia-Australia, pada jarak 450 km dari garis pantai. Secara sepintas, fakta itu mengundang tanda tanya: benarkah sesar di dekat Selat Sunda itu merupakan kepanjangan dari patahan besar yang menjadi batas lempeng Hindia-Australia itu. Mula-mula peta geologi Indonesia menyebutkan, Sumatera termasuk dalam lempeng Asia Tenggara. Dan lempeng ini bertemu dengan lempeng Hindia Australia. Titik temu kedua lempeng itu membentuk satu sesar yang membentang sejajar pesisir barat Sumatera, pada jarak sekitar 450 km. Belakangan muncul pendapat bahwa Sumatera sendiri ternyata terbelah dua, mengikuti Sesar Semangko yang sejajar dengan Pegunungan Bukit Barisan. Di bagian utara masuk lempeng Asia Tenggara. Sisi selatannya merupakan lempeng kecil, yang berdiri sendiri, dan disebut lempeng mikro Sumatera. Lempeng kecil ini sebagian muncul sebagai tanah daratan, sebagian lain tenggelam, dan bertemu dengan lempeng Hindia-Australia. Rupanya, lempeng mikro Sumatera itu bukanlah kepingan utuh. Para ahli geologi kemudian menemukan patahan pada lempeng kecil ini. Patahan ini dimulai dari Aceh Selatan, lalu masuk ke Lautan Hindia, di sisi timur Pulau Nias, dan menjulur ke arah timur sejajar garis pantai dan patahan Semangko. Patahan ini dinamai Sesar Batee. Sesar Batee ini sama uniknya dengan patahan di dekat Selat Sunda -berjarak 50-70 km dari garis pantai dan tak berhubungan dengan sesar-sesar yang telah ada. Berkat ekspedisi Baruna Jaya III itu, terbukti sudah bahwa Sesar Batee itu bertemu dengan Sesar Mentawai, dan terus membentang ke arah tenggara. Dengan begitu lempeng Sumatera itu seperti terbelah menjadi dua bagian. Bukti-bukti adanya patahan di bawah laut itu terekam lewat perkakas Water Gun dan Proton Magnetometer yang dibawa oleh Baruna Jaya. Bukti pertama ditemukan di lepas pantai Bengkulu. Di situ pita magnetik dan kertas grafik, yang merekam kontur dasar laut, memberikan gambar yang menyerupai bunga. "Struktur bunga itu menandai adanya patahan," kata Hery Harjono, alumnus Geologi ITB 1977. Gambar-gambar bunga ini ternyata hadir di sepanjang Selat Mentawai, ke arah barat laut, dan bertemu dengan Sesar Batee di sebelah utara Pulau Siberut. Fakta ini merupakan hal baru dalam khazanah geologi Indonesia. Ekspedisi Mentawai 90 itu tak cuma mengungkapkan sesar baru di Selat Mentawai. Para geolog di dalamnya juga menemukan sesar baru di Selat Sunda, yang lepas dari Sesar Mentawai, tak jauh dari kawasan Krakatau. "Sesar baru ini menyilang dan memotong Sesar Semangko," kata Hery Harjono. Kendati menjadi ajang perpotongan dua patahan, kompleks Krakatau tak menunjukkan ciri sebagai kawasan rawan gempa tektonik. Selama empat bulan pada 1988, misalnya, Hery melakukan survei gempa di kompleks Krakatau -untuk keperluan disertasinya. Selama kurun itu Hery mencatat adanya 600 kali gempa tektonik. Namun, gempa-gempa itu tidak berbahaya. Semua gempa itu terjadi dengan kekuatan tak lebih dari 3 skala Richter. Ancaman justru berpangkal dari letusan Krakatau. Menurut Hery, di situ ada sekitar 40 km3 magma yang sewaktu-waktu bisa dimuntahkan ke luar. Celakanya, kaldera (kawah) anak Krakatau begitu dekatnya dengan permukaan laut. Jika ia meletus, kaldera itu akan runtuh, dan air laut akan masuki rongga kawahnya. "Ini bisa mendatangkan ombak besar," kata Hery Harjono. PTH dan Achmad Novian (Biro Bandung)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus