Banyak pakar meramalkan bahwa perang di masa depan akan pecah bukan karena memperebutkan minyak, tapi air. Perlu kerja sama internasional buat memecahkan masalah air secara global. TIAP pagi, Ishata Sahi, yang tinggal di sebuah dusun kecil di Mali, Afrika Barat, harus berjalan dua kilometer ke sungai yang mengalir dekat desanya. Dengan berhati-hati, dia akan membawa pulang dua ember air. Dengan air itu ia menyiapkan sarapan untuk keluarganya. Siangnya, ia kembali ke sungai lagi untuk mengambil air guna memasak makan siang. Setelah mengurus ladangnya yang kerontang dibakar matahari, sorenya ia melangkah ke sungai lagi untuk mencuci pakaian. Enam anaknya ikut serta untuk mandi. Pulangnya, mereka membawa air untuk memasak makan malam. Sementara itu, di Los Angeles, Amerika Serikat, Margaret Jones cukup membuka keran air di dapurnya guna mencuci pecah-belah yang baru selesai digunakan untuk makan pagi. Usai itu, dia akan menyiram kebun bunganya dan membiarkan sprinkler di kebunnya hidup terus guna menyiram lapangan rumputnya. Setelah itu, ia akan membawa kedua anaknya ke pantai. Pulangnya, dia mencuci mobilnya di tempat cuci mobil otomatis, lalu mampir ke supermarket untuk belanja. Malamnya, Jones akan mencuci pakaian-pakaian kotor di mesin cuci, lalu dengan santai mandi dengan air panas sebelum tidur. Margaret Jones rata-rata menggunakan 100 sampai 350 liter air sehari. Sebaliknya, Ishata cuma memakai dua sampai lima liter sehari -tak jauh dari keperluan biologis minimal. Air memang mutlak perlu dalam hidup kita. Tapi jumlah yang tersedia terbatas, tergantung di mana kita tinggal. Konsumsi air di dunia terus meningkat, seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk dan berkembangnya kebutuhan. Namun, penggunaannya umumnya masih berdasar pertimbangan pribadi, tanpa memikirkan dampaknya secara global. Masalahnya, dapatkah air dikelola secara global supaya bisa dimanfaatkan bersama oleh semua orang? Selama ini, selain beberapa sungai atau danau yang dimanfaatkan bersama oleh sejumlah negara, air biasanya diperlakukan sebagai produk iklim lokal yang tergantung pada kondisi geografis setempat. Sistem ekologi dunia saat ini menuntut adanya pengelolaan air secara global. Asap industri di Amerika Serikat terbukti mengakibatkan hujan asam di Kanada. Dan hutan yang gundul di Nepal bisa menimbulkan banjir di India. Perlunya kerja sama internasional dalam pengelolaan air sebetulnya telah disadari. Chad, Niger, Nigeria, dan Kamerun telah bekerja sama untuk melindungi Danau Chad yang dikelilingi keempat negara itu. Dan 17 negara yang berbatasan dengan Laut Tengah telah mencapai kesepakatan untuk bersama membersihkan perairan yang sangat tercemar itu. Pencemaran air sebetulnya merupakan masalah dunia. Menurut United Nations Development Programme (UNDP), 80 persen dari semua penyakit di negara berkembang terkait dengan air minum yang tercemar dan kondisi hidup yang tidak sehat. Saat ini, di seluruh dunia, 25 ribu orang mati tiap hari karena berbagai penyakit yang berhubungan dengan air. Tiap tahun, empat juta balita meninggal karena penyakit-penyakit perut yang diakibatkan oleh air yang kotor. Pada 1980, PBB menjawab tantangan kesehatan ini dengan menjadikan 1981-1990 sebagai The International Drinking Water Supply and Sanitation Decade. Wakil-wakil dari 115 negara berkumpul di New Delhi pada September 1990, di bawah semboyan Safe Water 2000, untuk menutup kampanye tersebut dan menilai hasilnya. Para pejabat PBB melaporkan, sementara sekitar 730 juta orang telah bisa memperoleh air dan 415 juta mendapat fasilitas air bersih selama dasawarsa tersebut, satu milyar penduduk dunia (tak termasuk RRC) masih kekurangan air bersih. Sedang 1,8 milyar lainnya tak punya kakus. Meski tiga perempat bumi tertutup air, 97 persen air itu asin dan tidak bisa dimanfaatkan tanpa fasilitas penyulingan air tawar yang mahal. Dari tiga persen sisanya yang tawar, hampir 78 persen air itu beku dalam bentuk es atau salju. Itu berarti, hanya tinggal satu persen dari air bumi yang bisa dimanfaatkan, dan itu pun terbagi secara tak merata di seluruh dunia. Sementara kita makin "ganas" mencemari air permukaan, masyarakat terpaksa memanfaatkan sumber lain. Di Mexico City, air permukaan begitu tercemar sehingga kota itu sangat bergantung pada air dari sumber bawah tanah. Karena penyedotan yang berlebihan, sumber-sumber itu makin mengering. Akibatnya, tanah di atasnya turun, di beberapa tempat sampai sekitar 25 cm setahun. Upaya lain adalah mengalihkan aliran sungai. Uni Soviet, dalam usaha untuk memberi makan 291 juta penduduknya, mengalihkan aliran Sungai Amu Darya dan Syr Darya yang semula mengalir ke Laut Aral, menjadikan volume air laut itu menurun sampai dua pertiga dalam 31 tahun terakhir ini. Akibatnya, air yang tersisa menjadi asin, mematikan tumbuhan dan hewan, juga industri perikanan yang semula subur. Angin kemudian menyebarkan garam dan senyawa kimia yang lain sampai sejauh ratusan kilometer, membuat gersang tanah dan menimbulkan berbagai penyakit pada penduduk. Masalah-masalah lingkungan membuat persoalan ini makin gawat. Pembabatan hutan seperti yang terjadi di Nepal mengakibatkan banjir yang menyeret pergi lapisan atas tanah, dan menebalkan lumpur di sungai-sungai. Berkurangnya air yang meresap ke tanah menyebabkan menurunnya persediaan air tanah. Gundulnya hutan berarti berkurangnya air yang kembali ke atmosfer, yang kemudian menjadikan berkurangnya air yang kembali tercurah ke bumi. Global warming, makin panasnya bumi, bisa menaikkan permukaan pantai negara-negara seperti Bangladesh, dan membuat asin sumber-sumber air di dekat pantai. Ia juga akan membawa curah hujan lebih banyak buat negara-negara yang sudah "basah", dan sebaliknya buat negara-negara "kering", yang jelas akan mempengaruhi tingkat kesehatan dan pembangunan setempat. "Pembangunan," kata Profesor Malin Falkenmark, pakar air dari Swedia, "berarti keperluan air yang lebih banyak guna perbaikan kesehatan, kualitas hidup, persediaan makanan yang cukup, dan 'pelumasan' pembangunan masyarakat pada umumnya. Pada saat yang sama, pertumbuhan penduduk akan menciutkan kesempatan ini." Karena itu, pertumbuhan penduduk dunia (saat ini 5,4 milyar), yang berlipat dua dalam 70 tahun, menambah pentingnya pemecahan masalah ini. Banyak pakar yang meramalkan bahwa perang masa depan akan pecah bukan karena minyak, tapi air. Ini tidak sulit terjadi di Timur Tengah atau kawasan lain yang negara-negaranya bersaing memperebutkan sumber air. Mesir, misalnya, yang sumber air satu-satunya adalah Sungai Nil, terletak di hilir sungai. Bila Ethiopia dan Sudan yang terletak di hulu mengalihkan aliran Nil buat keperluan mereka sendiri, Mesir dengan 55 juta penduduknya (bertambah satu juta tiap delapan bulan) pasti akan merasa terancam. Air makin lama akan merupakan masalah politis, kata Jaroslav Balek, pakar lingkungan dari UNDP. Jika negara-negara yang kelebihan air terus menggunakan airnya secara berlebihan (sekaligus mencemarinya), sedang negara-negara yang kekeringan berebut sumber air, tantangan yang harus kita hadapi, kata Balek, adalah bagaimana "mendistribusikan air secara merata dalam skala global", yang layak secara politis dan lingkungan. Air, cairan yang berharga itu, mungkin secara fisik memang tidak bisa dibagi secara merata. Namun, masalah-masalah air, seperti kekurangan, banjir, dan pencemaran, bisa dibicarakan bersama dalam upaya memungkinkan dimanfaatkannya seluruh persediaan yang ada buat semua orang. Di negara maju, konsumsi air bisa dikurangi dengan menaikkan harganya. Instalasi penyulingan air laut bisa dibangun di tempat yang memungkinkan. Sedang hujan asam, pencemaran laut, dan limbah kimia dari pertanian mungkin bisa dicegah dengan kontrol yang lebih baik. Negara-negara maju juga bisa melakukan alih teknologi dan modal ke negara-negara berkembang, untuk membantu pemanfaatan sumber air yang ada. Pompa air bisa mengalirkan air ke pedesaan. Modal bisa ditanam pada peralatan antipolusi untuk menangani limbah industri. Irigasi bisa dibangun atau dibuat lebih efisien. Konperensi Safe Water 2000 di New Delhi tahun lalu menggambarkan tantangan yang harus kita hadapi. "Memasuki dasawarsa 1990, pertambahan penduduk tetap tak terkendali. Prasarana di banyak kota hampir tak mampu menyangga. Pencemaran yang tak terkendali makin membuat gawat lingkungan hidup, dan memacu persaingan memperebutkan sumber air yang makin berharga. Tanpa pendekatan baru yang mendasar, masalah itu akan pecah menjadi krisis yang tak terselesaikan." Apakah kita akan membiarkan krisis itu terjadi? Artikel ini dimuat atas kerja sama TEMPO dengan Global Edition, sebuah lembaga internasional yang menjalin kerja sama pers pada masalah-masalah lingkungan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini