Kawasan hutan bakau di Suwung, Denpasar, yang dipakai untuk tambak, kini dihutankan kembali. Karena pengelola melanggar perjanjian. BURUNG bangau kini mulai menapakkan kakinya yang panjang di kawasan tambak Suwung, Denpasar Selatan. Bukan karena satwa ini sekarang senang tinggal di daerah pertambakan, tapi karena tambak Suwung kini memang lain. Air di tambak tinggal sedikit, dan yang "aneh", ribuan batang pohon yang mulai tumbuh daunnya setinggi 30 sentimeter bermunculan di tambak itu. Pohon-pohon kecil itulah yang membawa burung bangau kembali berkunjung di kawasan Suwung. Sejak 1974, si kaki panjang itu tidak pernah terlihat di sana. Ini juga salah satu alasan mengapa Dinas Kehutanan Bali bersusah payah mengeringkan tambak dan menanaminya dengan pohon bakau. Sejak akhir Desember lalu, sudah 100 ha tambak ditanami 165 ribu batang bakau dari rencana 300 ha yang akan selesai dihutankan pada 1993. Pohon bakau sebenarnya tidak asing untuk penduduk Suwung. Daerah ini adalah bagian dari kawasan hutan Prapat Benoa yang sejak dulu hijau karena kerimbunan pohon bakau. Tapi sejak 1980-an kawasan itu mulai berubah. Pohon bakau sedikit demi sedikit habis ditebang dan diganti tambak. Kerusakan ini tidak diduga ketika Departemen Kehutanan memberikan izin pada CV Harapan untuk mengusahakan tambak di kawasan itu. Izin dengan jangka waktu pinjam 20 tahun ( 1974-1994) itu diberikan karena perusahaan itu mempunyai kewajiban melaksanakan penghijauan dengan sistem tumpang sari secara tradisional. Artinya, tidak mengubah hutan bakau, yang salah satu fungsinya untuk pelindung pantai dari penggerusan dan tempat tinggal plankton ini. CV Harapan tidak menepati semua kewajibannya. Tanpa diketahui Departemen Kehutanan, CV yang juga berusaha di bidang perhotelan ini menambah tanah garapan seluas 96,45 ha. Itu pun tidak digarap sendiri, tapi disewakan lagi pada para petani tambak. Reboisasi pun tidak dilaksanakan karena tidak membuat rencana tahunan sebagai dasar kegiatan. Penyimpangan ini, setelah berjalan beberapa tahun, akhirnya diketahui pemerintah. Tanggal 13 Februari 1988, Menteri Kehutanan mengeluarkan surat pembatalan perjanjian yang belum selesai itu. Surat ini tentu saja meresahkan para petani. Menurut ketua kelompok tani tambak "Sari Segara", Hariyadi, secara yuridis formal petani memang tidak mempunyai dasar hukum yang kuat dengan diputuskannya perjanjian tersebut. "Tapi, secara historis, petani di sini adalah pengelola yang sah karena menyewa lahan dari CV Harapan, serta teknis pengelolaannya sesuai dengan izin rekomendasi Dinas Perikanan Tingkat I Bali," ujarnya. Pada 25 April 1988, Menteri Kehutanan Hasjrul Harahap datang sendiri ke wilayah itu dan berdialog dengan petani. Hasil pertemuan memuaskan petani. Hasjrul memperbolehkan mereka menggarap tambak sampai 1994, batas waktu perjanjian, asalkan mereka tidak mengadakan perluasan lahan. Dialog ini diikuti oleh serangkaian musyawarah antara petani, pemda, dan tim hutan raya Suwung, yang sengaja dibentuk untuk menyelesaikan masalah ini. Hasil musyawarah tanggal 13 September itu mengizinkan petani meneruskan usaha sampai akhir waktu perjanjian. Rasa aman ini hanya bertahan 1,5 tahun. Tiba-tiba, April tahun lalu, Dinas Kehutanan Bali merencanakan mengosongkan dan mereboisasi lahan itu. Kegiatan yang dibagi dalam tiga tahap itu, menurut Kepala Humas Pemda Bali Ida Bagus Pangjaya, adalah upaya kompromi yang sama-sama menguntungkan kedua belah pihak. "Toleransi kelonggaran waktu telah diberikan, tapi petambak tidak mau taat. Ya, terpaksa petugas membobol secara paksa," begitu alasan juru bicara pemda ini. Usaha penghutanan kembali tambak itu menurut Kepala Dinas Kehutanan I Gde Arya Latihan, perlu dilakukan karena tambak tersebut menyebabkan ekosistem di kawasan Suwung rusak. Hanya kepiting yang bisa hidup di sana. Padahal, semula kawasan ini merupakan daerah hutan bakau yang subur dan dipenuhi oleh jaring kehidupan flora-fauna yang baik. Burung bangau dan burung lain makan dan tidur di atas pohon, sedang kotorannya menjadi makanan ikan-ikan kecil yang bertelur pada akar pohon ini. "Sekarang siklus itu sudah rusak, salah satu mata rantainya telah putus," ujarnya. Namun, ketua kelompok tani Hariyadi membantah anak buahnya telah merusakkan lingkungan di sana. Hasil pemeriksaan air minum di daerah tambak oleh Balai Laboratorium Kesehatan Denpasar menunjukkan bahwa air tersebut tingkat salinitasnya sangat rendah dan masih dapat dimanfaatkan untuk air minum. Pencemaran air laut yang mengakibatkan populasi ikan berkurang, menurut Hariyadi, bukan karena ulah petambak. Peliharaan mereka, bandeng dan udang windu, juga sangat sensitif terhadap pencemaran air laut. "Jadi, kalau ada pencemaran, budidaya bandeng dan udang akan terhenti karena tidak menghasilkan," alasannya. Boleh saja Hariyadi berkelit. Tapi hasil penelitian dosen Universitas Udayana, I Wayan Arthana, menunjukkan bahwa limbah tambak Suwung mempercepat proses pelumpuran dan telah melampaui mutu baku air limbah karena tingginya kandungan nitrit dan minyak. Ini bisa dimengerti karena pohon bakau yang bisa menyerap logam berat dan bahan beracun telah musnah. Penelitian ini menghasilkan gelar magister sains bidang pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan buat Arthana di IPB, awal Januari lalu. Petani bukannya menerima begitu saja tindakan penghutanan ini. Walau tidak berhasil, mereka sudah menulis surat pada Gubernur, Ketua DPRD Bali, Menteri Kehutanan, dan Kotak Pos 5000. Sayangnya, usaha penanaman tahap pertama, yang menghabiskan dana sampai Rp 30 juta, tampaknya tidak terlalu berhasil. Tidak adanya usaha pengolahan lahan sebelum bakau ditanam, dan tiadanya perawatan lanjutan, menyebabkan hanya sebagian pohon yang tumbuh. Apakah sang bangau harus pergi terbang lagi? Diah Purnomowati dan Silawati (Denpasar)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini