Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Kematian tanpa perlawanan

Kondisi sekitar 600 ribu pengungsi kurdi di kota cukurca dan uludere, perbatasan turki-irak mengenaskan. tiap hari puluhan pengungsi meninggal. mereka tak ingin kembali ke irak.

27 April 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tiap hari, puluhan pengungsi Kurdi mati. Mereka tak ingin kembali ke Irak, karena hanya akan menjumpai kematian, katanya. Pembantu TEMPO Taufik Rahzen, dalam perjalanan di Timur Tengah setelah Perang Teluk, sempat mampir di perbatasan Turki-Irak, tempat perkemahan ribuan pengungsi Kurdi. Dua minggu ia berada di, antara lain, Kota Cukurca dan Uludere di Turki. Berikut laporannya. SEOLAH mereka telah kehilangan kata. Di lembah dan punggung bukit sepanjang perbatasan Turki-Irak hanya terdengar gumam, rintihan, dan derik gigi para pengungsi. Di udara beku pegunungan suara-suara itu bagai dengungan lebah. Anak-anak menangis tapi kehilangan suaranya. Perempuan dan orang-orang tua terkulai letih di sela tenda dan batu. Di antaranya ada yang mengigau. Sejumlah jasad tergeletak menunggu dikuburkan. Sampai pekan lalu, diperkirakan 600.000 pengungsi berserakan di sepanjang perbatasan ini, sebagian di antaranya masih tertahan di gunung, terjebak hujan dan salju. Mereka datang dari Irak, sambil memanggul apa saja: tas pakaian, selimut, makanan, plastik, bayi, atau orang sakit menggunakan angkutan apa saja: bis, truk, traktor. Tak sedikit yang hanya berjalan kaki. Tentara perbatasan Turki dengan tegas melarang mereka bergerak dari tempat yang disediakan. Makanan dan air kurang, juga obat-obatan. Lebih mengenaskan lagi, sebagian besar mereka benar-benar berada di alam telanjang yang beku. Hanya sebagian kecil yang bisa membangun perkemahan dengan bahan seadanya. Ranting kayu yang direbahkan dan digantungi kain dan plastik, atau selimut. Beberapa di antaranya berlindung di sela-sela batu. Sedikit di antara yang sedikit, mereka mungkin cukup berada, mendirikan kemah yang mereka bawa sendiri atau mereka beli di pasar gelap -harganya 700 sampai 1.000 dolar Amerika. Sebuah parit kecil yang mengalir di bawahnya merupakan satu-satunya sumber air. Kebutuhan air minum mereka dapatkan dari salju yang dicairkan. Bantuan bukannya tak ada. Perkemahan darurat dan bantuan makanan memang diberikan, antara lain oleh pemerintah Turki. Tapi usaha itu seperti tertelan oleh jumlah pengungsi yang datang. Mereka yang beruntung dapat menyogok petugas bisa berjalan-jalan ke wilayah Kota Cukurca, mencari tempat perlindungan yang lebih layak. Ada satu tempat pengungsian di sekitar Cukurca dan Uludere yang dianggap "mewah". Yakni di Masjid Cukurca. Di masjid ini pengungsi berdesak-desakan dari mimbar hingga pintu masuk. Orang-orang tua yang terluka dan kelaparan bergeletakan. Di pelataran, terbaring rapi 38 jasad, sebagian besar bayi. Sementara itu, di Uzumveren, daerah sebelah barat, keadaan lebih mengenaskan. Karena jalan tertutup salju, mereka bergerak ke Cukurca dengan memanjat gunung. Gelombang pengungsi ini -kini hampir berjumlah 20.000 orang -mulai membangun tempat peristirahatan di tepi Sungai Zap di wilayah Turki, dan sepenuhnya bergantung pada bantuan luar. Sengsaranya, sebagaimana dikatakan oleh Hamdi Abdul Majid, salah seorang pemimpin pengungsi, bantuan jarang munculnya. "Hanya sebuah truk yang datang ke tempat ini, dan kadang-kadang baru dua hari truk itu datang lagi." "Keadaan kami sudah sangat dramatis dan darurat," kata Mehmet Akdogan, sukarelawan Turki keturunan Kurdi yang membantu para pengungsi di Uludere. "Dunia hanya menonton dan berdiskusi tentang pembantaian ini, tanpa melakukan tindakan apa pun. Dunia berebut membantu Kuwait ketika diserang Saddam, tapi tidak untuk kami," tambahnya dengan emosi. "Saya tak tahu, apakah sudah tak terlambat untuk memberi bantuan." Bila truk-truk yang penuh roti, mi, kentang, air, makanan kaleng, bahkan kertas toilet datang, ribuan orang berdesak-desakan mengepung dan berebutan. Mereka yang kuat mendapat lebih banyak, yang kecil dan lemah terinjak-injak. Tentara yang bertugas berusaha mengatur dengan pentungan dan popor senapan. Sesekali mereka menembak ke udara. Seorang pengungsi yang berdarah keningnya tersenyum kegirangan karena mendapat empat helai roti dan sekaleng makanan kecil. Seorang lainnya, yang terluka, tergeletak tak berdaya dan hanya bisa menonton, tanpa mendapatkan apa pun. Tak teraturnya pembagian makanan membuat banyak orang yang terlupakan dan tetap kelaparan. Menurut Zahid Ali, pengungsi yang mempunyai delapan anggota keluarga, sangat sulit untuk bertahan hidup dengan bantuan yang ada sekarang. "Kami hanya mendapatkan delapan helai roti lima hari yang lalu, dan tak ada yang dapat dimakan setelah itu. Habis, habis, habis," katanya berulang-ulang. Dan Ibrahim Umar, yang tiga anaknya sakit, mengaku tak menerima apa pun sejak dua hari yang lalu. "Saya tak tahu, apakah anak saya masih bisa bertahan besok lusa ini," katanya. Tragisnya, bantuan makanan itu sendiri membawa korban: sedikitnya dua puluh pengungsi tewas tertimpa kargo makanan, yang dilemparkan berparasut dari pesawat tipe Herkules udara oleh tentara Amerika. Dan sekitar tiga puluh tenda berantakan tertimpa peti-peti yang dijatuhkan itu. Seorang ibu menangis histeris, terduduk dan memukul-mukul salju. Dua anaknya remuk tertimpa kargo. Sementara itu, di Isik Veren, ribuan pengungsi berlarian menyerbu perkemahan tentara Turki, tempat penyimpanan bahan makanan. Mereka tak lagi mempedulikan tembakan peringatan dan pukulan. Mereka bergelombang menerjang dan merobek tenda, mengambil bahan makanan dan apa saja, kemudian kembali berlari. Tentara penjaga, setelah kecapekan memukul dan menembak, duduk terkulai, membiarkan semuanya terjadi. Tak seorang pun dan apa pun dapat mencegah orang-orang tanpa tanah air yang kelaparan dan kedinginan itu. "Kalau kami tidak nekat, kami akan mati kelaparan," kata seorang pengungsi. "Mereka (tentara) menyimpan makanan untuk mereka sendiri, dan kadang menjualnya dengan harga yang tinggi," katanya, setengah menuduh. Para pengungsi telah kehilangan kesabaran. Mereka bertindak hanya berdasarkan insting untuk tetap bertahan hidup. "Mereka sudah sangat marah dan panik," tutur Mehmet Akdogan, pekerja sukarela itu. "Setiap harinya dari perkemahan di Uludere ini saja, empat puluh orang mati. Tak ada obat-obatan untuk menyelamatkan yang sakit." Salju dan hujan mempercepat kematian, terutama bagi bayi dan anak-anak. Sekurang-kurangnya dua puluh bayi meninggal setiap harinya. Sebagian besar bayi yang lahir dikabarkan meninggal di dalam rahim. Bayi yang selamat dilahirkan akhirnya harus meninggal karena para ibu tak lagi dapat menyusui. Kulit anak-anak berdarah karena kedinginan. Sampai pekan lalu, sudah hampir tiga ribu pengungsi di sekitar Uludere dan Cukurca yang mati. Suatu hari di pekan lalu, suatu upacara kecil penguburan terlihat di perkemahan Uludere. Seorang lelaki menggali lubang sedalam lutut, untuk mengubur jasad seorang anak kira-kira berusia empat tahun. Jasad itu dikafani selimut, dipangku oleh kakaknya, sedangkan ibunya masih terisak di tenda. Selesai sang bapak menyuarakan azan dan siap menimbun lubang itu, tiba-tiba datang seseorang sambil membawa bayi yang telah terbungkus rapi. Ia minta bayi itu dikuburkan saja bersama-sama di lubang itu, daripada tidak dikuburkan sama sekali. Kemudian dua batu menandai makam itu. Dibandingkan dengan kekerasan di Sri Lanka dan Indocina, di Irak dan di Palestina, kematian di kemah perbatasan ini begitu telanjang. Kematian datang ketika kesadaran masih penuh tapi tak satu hal pun yang dapat diperbuat, kecuali melihat dan hanya menunggu. "Kami pergi dari Irak untuk menyelamatkan hidup kami, tapi justru di sini kami menerima kematian. Semuanya mati," kata Haji Abdul Hamid, seorang pengungsi yang sesekali mengusap mukanya dengan kedua tangannya. "Kami tidak ingin tinggal di sini (Turki) seterusnya. Kami tak ingin jadi pengungsi selamanya. Tapi saya tak akan kembali ke Irak. Di sana kami hanya menjumpai kematian," kata Haji Abdul Hamid berapi api.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus