ORANG Amerika terperangah. Seorang ilmuwan mereka sukses
memimpin tim penemu "partikel W" di sebuah instalasi nuklir di .
. . Eropa. Tak kurang dari penasihat ilmiah Presiden Reagan, Dr.
George Keyworth -- yang terutama bertanggung jawab atas banyak
pemenggalan anggaran untuk penelitian ilmu dasar di masa lampau
-- mulai bersuara lain. "Amerika wajib berupaya merebut kembali
kepemimpinannya di bidang fisika energi tinggi," ujarnya bulan
lalu di Baltimore, AS.
Sejak tahun 1930-an, tampuk pimpinan penelitian ilmu fisika
dipegang AS. Ini, terutama, disebabkan waktu itu banyak ilmuwan
Eropa terkemuka -- di antaranya Dr. Albert Einstein -- hijrah ke
"Dunia Baru" itu. "Kini dikhawatirkan arus ini mulai membalik,"
ujar Dr. Wolfgang Panofsky, direktur Pemercepat Limier di
Universitas Stanford, California beberapa waktu lalu.
Panofsky memang pantas bernada pesimistis. Sebuah tim gabungan
yang terdiri dari 180 ilmuwan Amerika-Eropa, awal tahun ini
meraih sukses gemilang, di bawah pimpinan Dr. Carlo Rubbia, ahli
fisika nuklir bangsa Italia yang bekerja di Universitas Harvard,
AS. Tim Rubbia itu berhasil menemukan partikel W, unsur subatom
yang membuktikan teori tentang hubungan antara gaya
elektomagnetis dan gaya lemah, dua dari keempat gaya dasar yang
di alam semesta. Untuk itu mereka memanfaatkan instalasi
pemercepat partikel atom milik CERN (Consei Europeen pour la
Recherche Nucleaire) di perbatasan Swiss dan Prancis.
Ilmu pengetahuan semula hanya mengenal dua gaya dasar: gaya
berat dan gaya elektromagnetis. Tapi di awal abad ke-20, di kala
rahasia inti atom mulai tersingkap, para ahli fisika menyadari
bahwa diperlukan dua jenis gaya lagi agar bisa menerangkan ata
susun alam semesta. Kedua gaya itu: gaya kuat yang mengikat
unsur-unsur inti atom dan gaya lemah yang menyebabkan pelapukan
inti atom radioaktif. Masa hidup kedua gaya itu teramat singkat
dan efeknya tidak langsung terasa di luar inti atom. Kendati
itu, karena semua materi pada hakikatnya terdiri dari atom itu,
kedua gaya itu turut membentuk alam semesta.
Tapi mengapa empat jenis gaya dasar? Bukankah satu gaya tunggal
dengan empat jenis perwujudan tampaknya lebih logis dan lebih
memuaskan cita rasa? Maka para ahli fisika dan matematika mulai
mencari bukti tentang saling hubungan antara keempat gaya itu
serta mekanisme apa yang mengalihkan gaya-gaya itu. Tapi teori
kesatuan semesta, yang mempersatukan semua gaya dasar itu, tetap
luput dari jangkauan para ilmuwan. Hampir separuh hidupnya,
Albert Einstein, pencipta Teori Kenisbian Umum, mengejar impian
itu, tanpa hasil. Kegagalannya itu dikemukakannya pada ilmuwan
lain. "Agar orang sinting lain jangan buang waktu mengejar
gagasan itu," ucapnya berulang kali.
Sekitar tahun 1940-an tersusunlah teori kuantum sebagai
konsekuensi matematis pengamatan gejala partikel foton. Menurut
teori ini, partikel fotonlah yang mengantar gaya
elektromagnetis, dan ini memang berulang kali dibuktikan
kemudian melalui berbagai eksperimen. Tapi sekaligus ini membuka
cakrawala baru. Adakah partikel lain lagi yang mengantar
gaya-gaya dasar yang lain ?
Tapi di akhir tahun 1960-an para ahli teori ilmu fisika
menemukan hubungan antara gaya elektromagnetis dan gaya lemah,
yang dinamakan gaya elektro lemah. Teori ini semula dikembangkan
Sheldon Glashow awal tahun 1960-an di Universitas Kopenhagen. Ia
menjabarkan kehadiran sejumlah partikel "boson vektor perantara"
yang kini dikenal sebagai partikel W dan Z. Tapi Glashow tak
bisa menentukan masa partikel itu, padahal justru itu teramat
penting untuk melacaknya melalui eksperimen ilmiah.
Hampir 10 tahun kemudian, dua ahli fisika, tanpa saling
berhubungan, mengembangkan teori ini lebih jauh dan bisa
meramalkan di mana perlu dicari partikel itu serta memperkirakan
caranya secara teoretis. Pertama ialah Dr. Steven Weinberg dari
Universitas Harvard di AS dan kedua ialah Dr. Abdus Salam dari
Pakistan. Sayangnya hasil kerja mereka sekian lama tak
diperhatikan orang. Baru 10 tahun kemudian mulai menjadi
perhatian. Tulis Sidney Coleman, seorang ahli fisika dari
Universitas Harvard kemudian: "Belum pernah hasil yang begitu
gemilang diabaikan kalangan sekian luas."
Dari mula Rubbia yakin bahwa partikel W itu bisa dihasilkan dan
dikenali melalui cara yang pada prinsipnya sama dengan cara yang
digunakan untuk menemukan partikel subatom lain sebelumnya.
Seperti dibuktikan Einstein, massa dan energi bisa saling
ditukar. Jika dua partikel ditubrukkan, misalnya, energi yang
dihasilkan tabrakan itu bisa menjelma menjadi bentuk materi yang
baru. Tapi teori meramalkan bahwa partikel W itu sangat berat
dengan massanya yang 80 sampai 90 kali massa proton. Tak satu
pun pemercepat mampu mencapai tingkat energi yang diperlukan
untuk menghasilkan partikel berat itu.
Akhirnya, 1976, Rubbia berpaling ke Eropa. Di situ CERN,
konsorsium 13 negara Eropa, melakukan sebagian terbesar dari
upaya penelitian dasar di bidang fisika nuklir. Instalasi
pemercepat partikel CERN itu berada di bawah tanah dan merupakan
lingkaran raksasa dengan garis tengah 6,4 km. Dari sebuah
lingkaran lebih kecil berkas partikel diluncurkan dari dua arah,
hingga beredar dalam lingkaran besar, saling bertubrukan di 8
tempat.
Fasilitas ini diubah oleh Rubbia dan timnya hingga memungkinkan
menghasilkan partikel antiproton -- lawan dari proton
menyimpannya dan kemudian meluncurkannya dengan kecepatan
mendekati kecepatan cahaya menemukan berkas proton yang
diluncurkan dengan kecepatan yang sama dari arah berlawanan.
Tabrakan kedua jenis partikel ini menghasilkan ledakan energi
demikian tinggi hingga terwujud bentuk materi baru dan
diharapkan partikel W itu.
Tahun demi tahun berlalu, penuh kesibukan merancang semua
peralatan itu. Mesin untuk menghasilkan antiproton,
mempercepatnya, menganalisa setiap tabrakan serta macam lagi.
Akhirnya di awal 1982, semua siap. Tapi suatu kecelakaan
menyebabkan perbaikan berbulan-bulan hingga baru November lalu
pekerjaan persiapan eksperimen pokok bisa dimulai. Eksperimen
yang berlangsung selama satu bulan penuh tak menemui kegagalan.
"Bisa saja lebih rumit dari yang kita duga," ujar Rubbia
kemudian.
Ia memang hati-hati. Dan baru, ketika yakin betul tentang
hasilnya, Rubbia mengumumkan penemuannya Januari lalu. Dr. Abdus
Salam, yang kini berada di Trieste, Italia, angkat topi buat
Rubbia yang telah membuktikan kebenaran teorinya. Teorinya itu
menghasilkan Hadiah Nobel bagi Abdus Salam, 1979, bersama dengan
Sheldon Glashow dan Steven Weinberg.
Dr. Salam sendiri tak pernah ragu akan adanya partikel itu. Ia
seorang santri dan karena itu yakin akan keindahan dan
keseimbangan alam. Partikel itu pasti ada jika yang berlaku
keberaturan dan bukan kekacauan dalam alam semesta. Ketika ia
menerima Hadiah Nobel di Stockholm, Abdus Salam mengutip sebuah
ayat Quran: "Tak terlihat dalam ciptaan Yang Maharahman suatu
kejanggalan. Lihatlah lagi, terlihatkah satu pun yang retak?
Lihatlah lagi dan lagi. Pandangan itu kembali, letih namun penuh
kagum."
Bagi Salam, nilai penelitian dasar seperti itu tak ditentukan
oleh kemungkinan aplikasinya langsung. "Negara Dunia Ketiga
tidak memahami tentang nilai penelitian dasar itu," ujarnya
dalam wawancara dengan majalah South bulan lalu. "Selama
negara-negara kita masih mendambakan pengalihan teknologi dan
bukan pengalihan ilmu, selama itu kita akan tergantung..,"
sambungnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini