BERAPA besarkah risiko kekeliruan identifikasi fisik antara
pesawat terbang sipil dan pesawat terbang militer dan pabrik
yang sama? Pertanyaan ini terasa hangat, terutama setelah
pesawat Jumbo Jet Boeing-747 KAL-007 ditembak jatuh oleh Mig-23
Uni Soviet di atas Pulau Sakhalin, Kamis dua pekan lalu.
Soalnya, Soviet antara lain berdalih, pilot mereka salah mata
menembak pesawat penumpang yang malang itu. Mereka, konon,
menduga pesawat KAL-007 itu sebagai RC-135, milik Angkatan Udara
Amerika Serikat (USAF). Gedung Putih belakangan memang mengaku,
sebuah RC-135 mereka berada di sekitar lokasi penembakan,
beberapa jam sebelum KAL-007 lenyap dari layar radar.
Kalau begitu, betulkah para penerbang Mig-23 itu memang salah
lihat?
Untuk para penerbang berpengalaman, apalagi para penerbang
pesawat militer, kemungkinan mengacaukan B-747 dengan RC-135
agak di luar akal sehat. "Bahkan dalam gelap pun B-747 bisa
langsung dikenali," ujar Kapten Tom Ashwood, bekas pilot USAF
dan bekas Wakil Ketua Asosiasi Penerbang Amerika Serikat (TEMPO,
10 September).
B-747 dan RC-135 memang dibuat oleh perusahaan yang sama, The
Boeing Company. Tapi kedua pesawat itu sangat berbeda satu sama
lain. RC-135 bukan dimodifikasikan dari B-747, melainkan B-707,
dengan penampilan fisik yang mudah ditandai.
Panjang keseluruhan B-707 adalah 46,61 meter, sedangkan B-747
memiliki panjang keseluruhan 70,66 meter. Dari perbedaan panjang
ini saja, lebih 24 meter, seorang pilot berpengalaman hampir
tidak mungkin mengacaukan B-747 dengan RC-135, yang
dimodifikasikan dari B-707.
B-747 memiliki rentangan sayap 59,64 meter, sedangkan B-707
hanya 44,42 meter. Perbedaan rentangan sayap ini mengakibatkan
perbedaan jarak lampu-lampu isyarat pada malam hari. B-747
memiliki panjang badan 68,63 meter, sedangkan B-707 hanya 44,35
meter.
Bekerja sama dengan USAF dan lembaga ruang angkasa Amerika
(NASA), maskapai Boeing memang membuat berbagai jenis pesawat
militer yang dimodifikasikan dari pesawat sipil -- atau
sebaliknya. Di antara pesawat militer itu terdapat bomber B-52,
KC-135, RC-135, dan yang terakhir: serie E-4.
Nah, E-4 inilah yang dimodifikasikan dari B-747. Pada 28
Februari 1973, Divisi Sistem Elektronik USAF menandatangani
kontrak pemesanan dua pesawat E-4A dari perusahaan Boeing,
dengan nilai US$ 59 juta. Pesawat yang akan ditempatkan di bawah
Pos Komando Udara Terdepan (AABNCP) 481B itu dimodifikasikan
dari B-747-200B. Pada 13 Juni tahun itu juga, pesawat E-4A yang
pertama mulai mengangkasa.
Pesawat ini disiapkan untuk mengatasi komunikasi kritis antara
komando nasional dan seluruh wilayah pertahanan udara Amerika
Serikat, bila mendadak negeri itu diserang secara konvensional
maupun nuklir. Dalam keadaan kontrol bumi tidak bisa meluncurkan
ICBM karena dilumpuhkan musuh, E-4-lah yang bakal unjuk gigi. Ia
dapat bekerja di tengah lingkungan yang sudah dihancurkan
senjata nuklir. Catatan tambahan: pesawat ini mampu
terbang tiap hari tiga malam terus-menerus!
Perbedaan yang paling menonjol antara B-747 dan E-4 tampak pada
interiornya. E-4 lebih pantas disebut "pos komando terbang".
Ruang utamanya dibagi enam: kamar kerja Penguasa Komando
Nasional (NCA), ruang konperensi, ruang briefing, kamar kerja
staf tempur, pusat pengawas komunikasi, dan ruang istirahat.
Dari kapasitas dar kemaslahatan pesawat ini bisa disimpulkan,
Amerika Serikat tidak akan mengirimkannya lalu-lalang di atas
wilayah peka musuh, kalau tidak dalam keadaan yang
sungguh-sungguh gawat.
Indonesia sendiri sebetulnya tidak ketinggalan. Sudah sejak 30
April 1981 Boeing mengumumkan, pabriknya menerima pesanan tiga
pesawat khusus dari TNI-AU. Pesawat yang dirancang untuk
pengamatan maritim ini dimodifikasikan dari jenis
Boeing-737-200. Pesanan pertama diserahkan pada Mei 1982, dua
berikutnya masing-masing Juni dan September 1983.
Sebagai pesawat pengamat, kemampuan B-737-200 sebetulnya tidak
kalah jauh daripada AWACS, yang menggunakan B-707-320B. "Pesawat
bermesin turbo ganda ini dipesan berdasarkan kondisi wilayah
Indonesia," ujar sumber TEMrO yang mengetahui. "Seluruh sistem
peralatan terletak di bagian belakang pesawat."
Di antara alat khusus yang dipasang pada pesawat Indonesia ini
ialah Motorola Side Looking Airborne Multimission Radar
(SLAMMR) yang mempunyai resolusi tinggi. Melalui antena bilah
yang direntangkan sepanjang lima meter di punggung pesawat,
layar radar akan menyampaikan isyarat-isyarat yang berhasil
ditangkap. Dari ketinggian hampir 10 km, radar ini mampu meliput
benda yang berada 160 km di maslng-masing sisi pesawat.
Alat adaptor yang dikembangkan Boeing untuk menggabungkan fungsi
peralatan pada pesawat AWACS hampir tidak berbeda dengan
B-737-200. Di antaranya terdapat peralatan sistem avionik (untuk
mengontrol dan mengendalikan pesawat) dengan radar, peralatan
pengolahan data, peralatan komunikasi dan navigasi, serta alat
peraga data, azimut dan identifikasi. Pemancar radar ditempatkan
di ruang muatan bawah bagian belakang, dan dilindungi dengan
sistem pendingin khusus.
Dengan enam orang awak dan sepuluh operator SLAMMR, pesawat ini
juga bisa diubah untuk keperluan transportasi biasa. Ia bisa
menyediakan 14 kursi kelas utama, dan 88 kursi kelas turis.
Namun fungsi utamanya ialah pengamatan. "Apalagi pada 1982 one
ekonomi eksklusif 200 mil laut sudah diakui secara
internasional," ujar sumber TEMPO tadi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini