SAGU ternyata tidak hanya untuk bubur, mihun, dan papeda, makanan khas Maluku. Ia bisa pula dibikin gula cair minyak (etanol), lem kayu lapis, dan bahan baku tekstil. Keterangan itu bisa didengar pada seminar "Konsultasi Para Ahli untuk Pengembangan Sagu" di BPPT, Jakarta, 16-21 Januari lalu. Sayangnya, itulah, untuk perihal kelebihan-kelebihan sagu harus ada seminar yang paling-paling baru dalam tingkat percobaan. Hal itu diakui Prof. Dr. A.M. Satari, ketua panitia seminar yang disponsori BPPT (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi) dan FAO (Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia) itu. "Tujuan seminar memang hanya untuk mengumpulkan informasi tentang apa yang sudah dilakukan para ahli dari dalam dan luar negeri" katanya. Karena itu, boleh dikata, hampir semua masalah sagu dibicarakan dalam seminar ini. Mulai dari bagaimana memukuli pokok sagu supaya menghasilkan banyak tepung, cara menanamnya, apa gunanya, memasarkannya, dan sebagainya. Hasilnya nanti, menurut Satari yang juga deputi ketua BPPT, akan sangat berguna bagi penelitian di Indonesia. Dan untuk penelitian itu, pemerintah membentuk tim khusus Program Pengembangan Sagu Nasional (PPSN), yang ketuanya tak lain juga Satari. Anggotanya dari berbagai instansi, BPPT, Bulog, perguruan timggi, dan laln-lain. Konon, sudah cukup banyak yang dihasilkan PPSN ini meski semuanya dalam taraf penelitian. Antara lain, pemetaan areal sagu yang mencapai dua juta hektar itu, proyek percobaan pemrosesan sagu di beberapa tempat, percobaan pembuatan etanol, lem kayu lapis, dan sebagainya. Fokus penelitian, menurut Satari, adalah penggunaan sagu untuk industri - bukan makanan. "Sebab, sebagai makanan, sagu tak mampu menyaingi beras dan jagung yang banyak mendapat subsidi tak langsung dari pemerintah," tuturnya. Apalagi, kandungan gizi sagu jauh lebih miskin ketimbang beras dan jagung, sehingga untuk jadi makanan bermutu banyak tambahan yang harus diberikan. Tak heran bila orang-orang Maluku dan Irian lain berpaling ke beras. Di tengah keseriusan mengelola sagu, di Tapanuli Tengah pohon-pohon sagu terpaksa ditebangi karena sebuah peraturan daerah. Alasannya, rumpun sagu yang di kabupaten itu umumnya terletak di sawah, ternyata, menjadi sarang tikus dan akarnya merusakkan saluran irigasi. Pemberantasan tanaman yang menjadi tumpuan hidup banyak penduduk ini - harga rumbianya Rp 75 per lembar dan batangnya Rp 2.000 per m3 dilakukan lima kali, sejak 19 Oktober lalu. Hasilnya, 4.000 batang sagu habis ditebang....
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini