ADA suasana khidmat, tatkala Toshio Yamasaki, duta besar Jepang di Indonesia, mengangkat cawan berisi arak tradisional dan mengosongkan isinya sekali tenggak. Memang istimewa: cawan tadi tidak berisi sake, melainkan brem - minuman keras khas Bali. Jenny Dewipadma Saono, yang menyuguhkan minuman, tersenyum simpul. Peristiwa dua pekan lalu di kedutaan besar Jepang di Jakarta itu sudah lama dinantikannya. Dengan khidmat pula sang duta besar menyerahkan diploma Jenny: gelar doktor dari Universitas Pertanian Tokyo, Jepang, untuk disertasi berjudul Studies on Ragi for Brem Wine Fermentation and its Improvement. Minat Jenny terhadap ragi darl brem Bali bangkit dari kenyataan merosotnya citra arak tradisional itu di pasaran ekspor. Pada 1975, brem pernah naik gengsi, menerobos pasar Jepang dan Jerman. Tapi, tiga tahun kemudian, suasana berubah. Mutu brem anjlok: warna yang semula merah menjadi hijau keunguan, rasanya seperti basi, aromanya berbau jamur. Belakangan, konsumen di sana tahu, brem menggunakan pula pewarna murahan. Jenny, 45, pengajar mikrobiologi di IPB Bogor itu, lalu mundar-mandir Denpasar-Solo, menyelidiki brem. Menurut dia dalam kesimpulannya, kesalahan terdapat pada ragi - yang dibuat para pengrajin di Solo. Ragi dibikin dari beras, cabai, lengkuas, lada, adas, kayu manis, gula tebu, jahe, digiling halus, dibubuhi sedikit air, dibentuk bulat kecil, lalu dikeringkan di bawah terik matahari. Menurut penelitian ibu sepasang anak itu, dalam proses pembuatan ragi berbagai mikroba tumbuh sama cepat. Di antaranya asperg,illus, penicilium, dan rhizopus, jenis mikroba yang menyebabkan rasa asam, bau jamur, dan warna kehijauan pada brem. Ada pula cabai yang merangsang pertumbuhan semua mikroba, termasuk yang merusakkan tadi. Padahal, menyisihkan cabai berarti menghambat pertumbuhan mikroba yang dibutuhkan, misalnya endomycopses tibulgera dan amylomyces. Kedua mikroba ini berfungsi menghasilkan pati, cairan, dan gula, dalam proses peragian brem Bali. "Alr dalam pembuatan ragi juga tidak dimasak lebih dulu," tutur Jenny. Dengan proses yang lebih bersih, Jenny kemudian membuat brem Bali dengan kadar alkohol 13,5% - seperti disuguhkan kepada duta besar Jepang itu. Bedanya dengan proses tradisional, Jenny melakukan pengaturan suhu dalam proses peragian. Penelitian, yang dimulai 1979 dan dibiayai Departemen P & K dan lembaga bantuan swasta Jepang (JLCA), inilah yang menghasilkan gelar doktor untuk Jenny, November tahun lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini