Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sains

Dosen IPB University Ajak Revolusi Meja Makan, Apa Maksudnya?

Dosen IPB University ini menyebut orang Indonesia rata-rata hanya mengkonsumsi 8 jenis menu makanan saat sarapan dan makan malam, 15 saat siang.

20 Oktober 2020 | 18.46 WIB

Pedagang menata barang dagangannya di lokasi wisata Pasar Kebon Watu Gede di Magelang, Jawa Tengah, 28 Oktober 2018. Tersedian berbagai macam makanan tradisional khas Magelangan seperti tempe-tahu Bacem, tahu kupat, nasi jagung, pepes ikan kali, dawet dan lain-lain. Selain makanan tradisional juga dijual aneka kerajinan dan mainan tradisional. ANTARA FOTO/Anis Efizudin
Perbesar
Pedagang menata barang dagangannya di lokasi wisata Pasar Kebon Watu Gede di Magelang, Jawa Tengah, 28 Oktober 2018. Tersedian berbagai macam makanan tradisional khas Magelangan seperti tempe-tahu Bacem, tahu kupat, nasi jagung, pepes ikan kali, dawet dan lain-lain. Selain makanan tradisional juga dijual aneka kerajinan dan mainan tradisional. ANTARA FOTO/Anis Efizudin

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Seorang dosen IPB University mengajak masyarakat di Indonesia melakukan apa yang disebutnya 'revolusi meja makan' mengantisipasi kelangkaan pangan akibat pandemi Covid-19. Revolusi meja makan yang dimaksudnya adalah diversifikasi pangan yang harus dimulai dari rumah tangga.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Meskipun tidak banyak keluhan yang beredar di masyarakat, kebutuhan pangan selama masa pandemi harus dipersiapkan dengan baik," kata Edi Santosa, dosen di Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, melalui keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Senin 19 Oktober 2020.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Menurut Edi, fenomena yang muncul saat ini adalah masyarakat secara sadar melakukan diversifikasi pangan selama masa isolasi wilayah. Secara alamiah masyarakat disebutnya diversifikasi beras menggunakan pangan lokal yang tersedia di wilayahnya masing-masing.

Menurutnya, hal ini menunjukkan pentingnya peran pangan lokal untuk ketahanan pangan selama masa pandemi Covid-19. Pangan lokal disebutnya tersedia dalam jumlah banyak dan jenisnya juga beragam di tiap wilayah.

Pengetahuan lokal tentang pangan yang sudah ada di masyarakat Indonesia, dia menyarankan, harus ditransformasikan ke dalam kearifan lokal di masyarakat sehingga terbiasa untuk mengkonsumsi pangan khas wilayahnya. "Contoh, masyarakat Jepang rutin membuat perayaan dengan mengkonsumsi pangan lokal yang ada di wilayahnya," ujar dia.

Masyarakat di Indonesia, kata Edi, bisa menirunya pertama-tama dengan membangun memori individual dan memori kolektif. Memori individual dibangun dari kebiasaan makan sehari-hari di masa kecil.

Sedangkan memori kolektif adalah kesadaran dan tanggung jawab yang dibangun di tengah masyarakat. Misalnya dengan menerapkan pembelajaran tentang pangan lokal di institusi pendidikan atau institusi sosial.

Saat ini, Edi menilai, keragaman menu makanan di Indonesia masih rendah meskipun bahan pangan beragam. Dia kembali membandingkan dengan bangsa Jepang. Dalam hal menu sarapan pagi, orang Jepang biasa mengkonsumsi 21 jenis makanan.

Kemudian 20 jenis saat makan siang dan 34 jenis menu pada makan malam.
Sedangkan orang Indonesia rata-rata hanya mengkonsumsi delapan jenis menu makanan saat sarapan, 15 jenis saat makan siang dan delapan jenis pada makan malam. "Strategi revolusi meja makan untuk menguatkan pangan lokal di lingkungan masyarakat," katanya.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus