Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Bandung - Dosen dan peneliti di Program Studi Sains Atmosfer dan Keplanetan Fakultas Sains Institut Teknologi Sumatera (Itera), Robiatul Muztaba, mengembangkan teleskop robotik berbasis kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) untuk mengidentifikasi bulan sabit baru atau hilal. “Kamera yang dikembangkan sudah bisa mendeteksi bulan sabit secara langsung,” katanya dalam webinar memperingati World Space Week yang digelar Organisasi Riset Penerbangan dan Antariksa Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dituturkan Robiatul, pengembangan teleskop robotik yang dikhususkan untuk pengamatan hilal itu berawal dari jaringan pengamatan bulan secara internasional yang diinisiasi oleh King Abdulaziz Unversity, Arab Saudi. Seluruhnya ada 14 teleskop yang disebar ke berbagai negara, salah satunya ke Itera. Namun, Robiatul menambahkan, karena server belum siap, proyek pengamatan global itu terhenti sementara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Data yang dihimpun disimpan di server kami, nanti ketika berlanjut akan diserahkan ke mereka,” katanya.
Dari keterangan Itera, teleskop robotik yang diterima pada Januari 2021 itu diberi nama OZT-ALTS yang merupakan gabungan akronim nama Rektor Itera yang pertama, yaitu Ofyar Z. Tamin, dan Astelco Lunar Telescope System. Astelco adalah teleskop buatan Jerman yang digunakan perdana untuk mengamati hilal Ramadan di kampus Itera pada 1 April 2022.
Robiatul kemudian memanfaatkan teleskop robotik itu untuk meneliti teknik baru pengamatan bulan dengan menggunakan sistem kecerdasan buatan hingga meraih gelar doktor pada 2023. Penelitiannya berbasis penglihatan komputer dengan memanfaatkan data besar bulan sabit sebagai data latihan untuk kecerdasan buatan.
Dia memasukkan ribuan citra bulan dengan berbagai fase dari hasil tangkapan teleskop robotik di Itera serta institusi lain di luar negeri yang diolah menggunakan algoritme tertentu. Selain itu dilakukan juga pengamatan langsung sambil mengidentifikasi hilal.
Robiatul menyatakan bahwa upayanya itu dilatari oleh kondisi observasi di lokasi yang waktunya sempit untuk mendeteksi bulan sabit baru sampai terbenam dalam hitungan menit. Faktor lain yang menyulitkan pengamatan hilal dengan mata dan teleskop biasa yaitu tingkat kekontrasan bulan sabit yang jauh kalah terang dengan cahaya latar dan sekitarnya.
“Karena itu kita bisa memberikan bantuan untuk mengidentifikasi obyek hilal,” kata Robiatul. Hasil data pengamatan itu kini juga sudah diminta oleh universitas di Abu Dhabi dan India setelah membaca artikel jurnal ilmiahnya.
Sejauh ini, hasil terbaik dari pengamatan lewat teleskop robotik itu adalah hilal di ketinggian 5 derajat dari ufuk. “Belum ada yang kurang dari 3 derajat,” katanya.
Profesor riset astronomi dan astrofisika dari BRIN Thomas Djamaluddin mengingatkan, syarat pengamatan hilal sesuai kesepakatan Menteri Agama Brunei, Indonesia, Malaysia, dan Singapura (MABIMS) adalah minimal ketinggian 3 derajat dan elongasi minimal 6,4 derajat. Jika kurang dari kriteria itu, kata dia, pengamatan hilal bakal terganggu oleh cahaya matahari yang kuat.
"Sistem teleskop robotik untuk pengamatan hilal itu masih harus terus belajar agar semakin akurat mendeteksi hilal yang paling tipis," katanya.
Sekarang, Thomas menambahkan, penggunaan AI masih jadi pertanyaan banyak pihak. Sama halnya dulu ketika penggunaan teleskop dipertanyakan kalangan ulama, juga kacamata, yang digunakan pengamat saat mengintip hilal. “Perkembangan teknologi ini akan mempengaruhi keputusan dari aspek fikih,” ujarnya sambil memprediksi bakal ada diskusi dari kalangan terkait sehingga hasil dari teleskop robotik tidak akan langsung bisa diterima.
Robiatul mengamininya. Meskipun kini sudah bisa mengidentifikasi hilal secara otomatis, pengguna tidak bisa langsung mengambil keputusan melainkan tetap harus melalui sidang isbat. “Data kami hanya masukan atau usulan soal terlihat tidaknya hilal, pengambilan keputusan tetap oleh pemerintah,” kata dia.