Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Yogyakarta - Pemerhati pendidikan yang juga Dosen Departemen Teknik Elektro dan Teknologi Informasi Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Muhammad Nur Rizal mewanti-wanti soal situasi dunia pendidikan yang kini dikepung produk Artificial Intelligence (AI) atau kecerdasan buatan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Pertumbuhan AI yang pesat dapat memperparah kondisi pendidikan di Indonesia yang stagnan," kata Rizal dalam forum Ng(k)aji Pendidikan: Guru Diambang Misteri Peradaban di Yogyakarta Selasa 17 Desember 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rizal membeberkan, perkembangan atas sinapsis yang sudah dibangun AI, yaitu Rp 175 miliar pada ChatGPT 3.5 dan 1 sampai 1,7 triliun pada ChatGPT 4. Dengan kecepatan dan aksesnya terhadap informasi, AI mampu menjadi asisten yang menggenjot produktivitas manusia.
Rizal menyebut soal AI yang setiap bulannya mampu mencerna hingga triliunan data. Padahal kemampuan otak manusia hanya terbatas pada 1 miliar data jika belajar sepanjang hidup. “Sehingga para guru dan pendidik perlu mengevaluasi cara pengajaran di kelas," kata dia.
"Kalau hanya tentang nilai dan benar atau salah, siswa mungkin lebih baik belajar dengan AI. Sebab mereka lebih pintar dan memiliki segudang informasi yang terkumpul dari akar-akar komputasi," imbuh pendiri Gerakan Sekolah Menyenangkan itu.
Rizal menjelaskan, setelah melihat dampak dari pergantian menteri dan kurikulum yang diprediksi tidak akan begitu signifikan terhadap perkembangan sistem pendidikan di Indonesia ke depan, yang bisa dilakukan salah satunya dengan peningkatan kualitas guru. "Kualitas guru sangat berpengaruh karena paling tahu situasi dan kondisi lapangan, guru adalah kurikulum itu sendiri," kata dia.
Dengan kepungan AI pada dunia pendidikan, Rizal menuturkan, guru jadi punya beban moral lebih, yaitu membentuk murid-murid yang mampu memiliki pemikiran holistik. "Tidak hanya membuat murid jadi sekadar tahu "apa", tetapi juga "bagaimana", dan "mengapa", lewat pemaduan cara berpikir lintas disiplin," kata dia.
Rizal membeberkan arah gerak antara AI dan manusia saling menuju ke satu sama lainnya. Manusia berperilaku seperti robot, sedangkan robot berpikir dan bersikap seperti manusia. "AI tentu akan semakin pintar dengan terus berefleksi dan mengevaluasi kemampuan, sementara manusia bergerak secara monoton,"
"Guru mulai perlu mengenalkan, menumbuhkan kesadaran, dan mempertajam pola pikir anak didiknya," kata Rizal. “Ketika sekolah dan guru tidak dapat memanusiakan siswa, bahayanya adalah mereka dapat mencari pelarian kepada hal yang semu seperti AI."
Padahal, kata Rizal, sudah banyak contoh bahwa Meta AI atau ChatGPT 4.0 dapat menggunakan data training untuk berbohong, terlihat empati dan memberikan kenyamanan terhadap manusia yang sebenarnya mampu mereka dapatkan di sekolah.