SETELAH bertahun-tahun ditunggu, peluang itu akhirnya datang juga: Soeparmi Soerahya, 61 tahun, mendapat kesempatan membedah kepala komodo. Ini soal penting baginya. Sebab, di mata dosen Fakultas Biologi UGM Yogya ini, komodo adalah makhluk langka yang selalu menyodorkan misteri di balik sosoknya yang sangar tapi tampak bloon itu. Siapakah komodo itu? Soeparmi kini tengah menggauli organ-organ kepala komodo itu di salah satu lab zoologi di UGM. Sekerat preparat otak komodo ia periksa cermat di bawah lensa mikroskop, agar struktur sel otaknya diketahui. Seekor komodo dewasa, 50 kg beratnya, cuma punya sel otak seberat 0,5 gram, 0,00001 persen dari berat badannya. Dibandingkan dengan makhluk lain, otak komodo terhitung mini. Otak manusia punya porsi 2,5% dari berat tubuh. Hewan cerdas lumba-lumba porsinya sekitar 1%, atau 100.000 kali otak komodo. Bahkan, dibandingkan dengan reptil bodoh seperti ular, otak komodo masih jauh di bawahnya. Dengan kata lain, komodo memang bloon. ''Itu indikasi bahwa komodo binatang primitif, purba,'' ujar Soeparmi. Tapi penilaiannya ini masih kontroversial. Studi tentang komodo hewan yang lagi in di kalangan anak-anak sebagai si Komo dalam film boneka serial di TPI pertama kali dilakukan P.A. Ouwens, pakar zoologi Belanda, 1912. Ia membedah anatomi dan morfologi reptil khas Nusa Tenggara Timur itu. Lalu, Ouwens memberi nama Varanus komodoensis, semarga dengan biawak (Varanus salvatore), yang banyak hidup di daerah tropis. Keduanya memang mirip: sama-sama reptil berkaki empat, punya mulut lebar, dan suka menjulurkan lidahnya yang panjang bercabang. Sebagai anggota marga Varanus, komodo dan biawak tak bisa disebut satwa purba, karena perangkat organnya dianggap telah mencapai tahap evolusi yang maju. Oleh Ouwens pula mula pertamanya diketahui bahwa komodo merupakan hewan eksklusif, cuma ada di Kepulauan Komodo, di antara Pulau Sumbawa dan Flores. Soeparmi tak puas dengan teori Ouwens. Dalam risetnya tahun 19821983 untuk mempersiapkan disertasi doktor, ia menemukan bukti, si Komo tak pantas digolongkan dalam marga Varanus. Ia mengusulkan komodo dimasukkan ke dalam marga Mosasaurus. Secara lengkap Soeparmi menamainya Mosa-saurus komodoensis. Apalah artinya sebuah nama? Bagi biolog semacam Soeparmi, soal penamaan spesies itu penting. ''Jangan sampai nama itu menyesatkan,'' tuturnya. Pemberian marga Varanus, misalnya, memberikan identitas bahwa komodo termasuk satwa modern. Sedangkan Mosasaurus jelas termasuk hewan primitif. Kalau dibiarkan, ini bisa memberikan arah yang keliru dalam program konservasi kaum si Komo itu. Soeparmi telah rampung menyusun disertasinya. Tapi ia tak berhasil menembus sidang senat guru besar UGM. Para pengujinya tak setuju Soeparmi memberi nama komodo sebagai Mosasaurus komodoensis. Padahal Soeparmi sudah kerja keras. Ia memeriksa 291 tulang komodo dan membandingkannya dengan tulang biawak. Perbedaan antara komodo dan biawak, kata Soeparmi, sangat besar. Di rahang biawak cuma ada sederet gigi. Pada komodo ada beberapa baris, sehingga setiap gigi menyerupai kumpulan gigi secara teoretis sering diakui sebagai tanda hewan purba. Persendiannya pun berbeda. Lengan-kaki komodo tak bisa melipat rapat seperti biawak. Bentuk engselnya berbeda. Ujung engsel komodo hampir rata bentuknya, sedangkan biawak bulat bak bola. Itu sebabnya lengan-kaki biawak leluasa bergerak, ke kanan-kiri dan depan-belakang, sedangkan komodo tidak. Dan ada sederet bukti lainnya. Maka, Soeparmi menganggap bahwa komodo harus keluar dari marga Varanus. Dan dari studi kepustakaannya, ia mengidentifikasi bahwa ciri-ciri komodo dekat dengan marga Mosasaurus. Yang dicatat Soeparmi, komodo tinggal satu-satunya jenis marga Mosasaurus yang mampu bertahan sampai abad ini. Anggota Mosasaurus lainnya telah musnah 60 juta tahun silam, konon gara-gara muncul zaman es. Gagal di program S-3, Soeparmi tak patah arang. Riset biologis atas hewan langka ini terus dilakukan. Toh ada penghibur. Karyanya diterbitkan oleh Gadjah Mada Press, 1989. Dan diam-diam ada yang sependapat dengannya. Taman Safari di Cisarua, Bogor, misalnya, menyebut komodo sebagai Mosasaurus komodoensis. Toh Soeparmi belum bisa melupakan kegagalan ''si Komo'' dalam sidang senat guru besar sepuluh tahun silam. ''Para promotor dan penguji tak menguasai zoologi,'' keluhnya. Ia menganggap penguji tak punya dasar dalam menggagalkan disertasinya. Prof. Soekarja Somadikarta, ahli zoologi UI, Jakarta, yang menjadi salah satu penguji, tertawa mendengar serangan Soeparmi. Disertasi Soeparmi, kata Soekarja, banyak bolongnya. Salah satunya, Soeparmi cuma membandingkan komodo dengan biawak. ''Mestinya ia mencari pembanding yang representatif,'' katanya. Genus Varanus itu terdiri atas banyak jenis. Lantas, katanya pula, Soeparmi mencari persamaan komodo dengan marga Mosasaurus cuma lewat gambar di buku. Mestinya, ia pergi ke museum zoologi Leiden, yang menyimpan fosil Mosasaurus. ''Agar perbandingannya akurat,'' ujar Soekarja. Dan perbedaan dengan Ouwens itulah mungkin yang membuat ''si Komo'' Soeparmi macet. Putut Trihusodo (Jakarta) dan R. Fadjri (Yogyakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini