MASIH perlukah perkawinan bagi seorang perempuan yang berkarier? Judul seminar ini, yang juga membahas angket yang dibuat majalah Femina, mengundang sekitar seratus wanita pekerja (usia 2030 tahun) untuk memadati Gedung Femina, Jalan Rasuna Said, Jakarta Selatan, dua pekan silam. ''Judulnya memang provokatif,'' kata Widarti Gunawan, Pemimpin Redaksi Femina. Hari itu sebagai pembicara Riga Adiwoso Suprapto, Ph.D., pengamat masalah wanita. Juga tampil yang mewakili kelompok pria, Kafi Kurnia, Direktur Peka Consulant. Angket itu disebarkan berkenaan dengan peringatan Hari Kartini kemudian diolah Riga sekaligus menyambut ulang tahun ke-20 majalah itu. Respondennya cenderung mewakili kehidupan perempuan di kota. Mereka berdomisili di Jakarta 39,8%, Surabaya 8,3%, Bandung 8,2%, Yogya 2,8%, Semarang 2,3%. Sisanya, 38,6%, tersebar di luar Pulau Jawa. Setelah mengamati 3.575 angket itu, Riga berkesimpulan bahwa dunia kerja tampaknya kini dianggap sebagai bagian dari kehidupan wanita dan itu didorong oleh keinginannya sendiri. ''Jadi, bukan didorong oleh kebutuhan ekonomi atau pengisi waktu luang seperti diduga beberapa waktu lalu,'' kata staf pengajar di Universitas Indonesia itu. Perubahan ini mempengaruhi pola kebiasaan, gaya hidup, pergaulan, dan sebagainya. Ini juga berpengaruh pada pandangan si wanita bekerja dalam melihat lembaga perkawinan. Menurut analisa Riga, wanita tetap mengganggap seorang suami memiliki posisi penting dalam kehidupannya. Suami punya andil membantu istri dalam menimbang suatu keputusan. Dan positifnya hasil angket menunjukkan penghargaan kepada suami dalam kehidupan rumah tangga. Namun, di sisi lain, harapan para wanita itu, baik yang berkeluarga maupun yang belum atau tidak berkeluarga, adalah suami dapat berbagi tugas dan bertanggung jawab dengan pasangannya. Tercermin pula harapan agar porsi sang suami diperbanyak dalam tugas rumah tangga. Hasil angket itu menunjukkan wanita di kota cenderung menunda perkawinannya hingga di atas usia 21 tahun. Ini dilihat dari persentase usia 1521 tahun hanya 5% yang telah menikah. Dan kecenderungan ini menunjukkan mereka menikah dalam batas usia produktif. Tingkat pendidikan responden, yang lulus SLTA sebanyak 66,4%, akademi 20,2%. Dan si suami yang tamat SLTA sebanyak 22,4%, akademi 18,2%, dan perguruan tinggi 53,6%. Sedangkan responden yang berstatus mahasiswa hanya 0,2%, dan suami berstatus mahasiswa 5,8%. Ini tampak pada responden angket itu: bersekolah tidak bisa seiring dengan menikah. Mereka menyelesaikan sekolahnya lebih dulu, baru masuk dalam kehidupan rumah tangga. ''Pria bisa menikah sambil sekolah,'' kata Riga. Adapun menurut Kafi Kurnia, dari populasi 50,21% wanita di Indonesia, tampak aspirasi yang lebih besar kelomok ini untuk masuk ke dunia karier. Profesi yang dijabat mereka beragam dan berkembang, seperti yang tampak dalam angket, yakni 54,6% tenaga kerja wanita kita memulai kariernya dalam usia 1923 tahun. Alasan mereka berkarier, 50% agar bisa mandiri secara finansial dan nonfinansial, 52% untuk kepercayaan diri, dan 47,6% untuk mendidik anak agar lebih mandiri. Ternyata, partisipasi pria tidak nol. Cuma, wanita menuntut persentase yang lebih besar. Dari data yang disajikan Riga, tampak wanita cenderung sebagai manajer rumah tangga. Ini juga berarti bagi wanita pekerja ada peran ganda, dan sah saja seperti dikemukakan Doktor Yaumil Agoes Achir kepada TEMPO. ''Tapi yang perlu dipertimbangkan oleh para wanita karier, jangan sampai kehilangan atributnya sebagai wanita,'' kata psikolog dan dekan Fakultas Psikologi Universitas Indonesia itu. Perkawinan, menurut Yaumil, tidak ada hubungannya dengan karier, melainkan itu urusan biologis. ''Atribut wanita itu tetap, dan bila mereka berkarier, kenapa harus dipertentangkan?'' ujarnya. Sementara itu, Mely G. Tan, seorang peserta seminar, memberi tanggapan, pokok soal baginya bukan menikah atautidaknya si wanita pekerja, tapi yang perlu dipertanyakan kelanggengan pernikahan itu. Sebab, dalam kehidupan dinamis, di luar rumah dia bisa melihat begitu beragamnya wajah orang. ''Jadi, harus ada sharing, commitment, dan caring,'' kata ahli peneliti utama dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) itu. Untuk itu, sebenarnya ada hal-hal yang seharusnya bisa dirundingkan dalam pembagian tugas di rumah tangga. Seperti disebut Riga, seandainya anak sakit, bukan ayah yang minta izin absen, tapi selalu ibu yang diminta untuk tidak ke kantor. Ini urusan yang bisa saja diatur. Ini apa artinya? Menurut Kafi, wanita Indonesia kini berada di persimpangan jalan. Kehidupan modern telah mengubah sebagian konsep jati diri kaum wanita dan peranannya di masyarakat. Konsep hubungan wanita dan pria boleh juga berubah demi modernisasi. ''Itu sah saja. Namun, kalau konsep berkeluarga disamarkan, barangkali ini suatu kemunduran dari sejarah umat manusia,'' ujarnya. Akhirnya, simaklah wejangan Kafi di ujung makalahnya. Dengan mengandalkan persamaan hak, wanita merasa dibolehkan lebih banyak memilih. ''Ini sah juga. Tapi equality bukanlah sebuah jamuan buffet, di mana kita bebas memilih bagian yang disukai, dan meremehkan sisanya,'' katanya. Ed Zoelverdi dan Sri Indrayati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini